Oleh: Adhyatnika Geusan Ulun
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al Hasyr (59): 18)
Ujian yang diterima bangsa Indonesia pada penghujung tahun 2018 ini teramat berat. Belum selesai berbagai krisis terselesaikan, kita diuji dengan banyak bencana alam, gempa dan badai tsunami yang memporak-porandakan infrastruktur yang ada di sebagian besar Lombok, disusul kemudian Palu, dan terakhir Banten serta Lampung. Terasa berat penderitaan bangsa ini. Kita dapat merasakan bagaimana menderitanya mereka yang harus kehilangan anak, istri, suami, orang tua, harta benda, semua harapan dan cita-cita dalam waktu sekejap. Penderitaan tersebut sangatlah menyesakan dada bagi setiap manusia yang beriman, betapa Allah telah memperlihatkan sebagian kecil kekuasaan Nya.
Ujian, musibah dan cobaan, atau apapun istilahnya, sesungguhnya harus disikapi dengan sikap terbaik, karena sebagai orang yang beriman kita harus yakin bahwa segala macam yang terjadi pada diri adalah tanda-tanda bahwa Allah menyayangi makhluk yang meyakini- Nya. Makin tinggi keimanan seseorang, maka makin tinggi pula ujian yang diberikan Allah kepadanya.
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?” (QS Al Ankabut (29):2)
Sesungguhnya kewajiban bagi orang yang beriman untuk menyikapi segala bentuk takdir Allah, maka ketika diberikan kenikmatan sekecil apapun pasti akan bersyukur, dan manakala diuji dengan seberat apapun ujian pasti akan disikapi dengan sabar. Syukur dan sabar adalah sikap terbaik yang tidak dapat dipisahkan dari orang yang beriman. Sikap tersebut tidak akan pernah muncul jika dalam diri ini tidak berusaha untuk ber”muhasabah”, satu sikap mengintrospeksi diri atas segala kejadian yang telah menimpa, dan sikap untuk memperbaiki kualitas diri agar mampu lebih survive pada masa yang akan datang.
Sayidina ‘Umar ibnu Khatab, ra. pernah menyatakan: “Hasibu anfusakum qobla an tuhasabu.” Hisablah dirimu sebelum kamu dihisab, ini adalah dialektika seorang mukmin yang ingin meningkatkan kualitas hidup dengan mengintrospeksi diri.
Sesungguhnya yang dimaksud dengan muhasabah menurut salah seorang ulama sufi, Abdillah al-Muhasibi, bahwa setiap Jiwa dihisab dengan akal, dan datangnya hisab itu berasal dari rasa takut akan kekurangan, ketakutan atas sesuatu yang akan merugikan, serta adanya keinginan untuk mendapatkan keuntungan.
Muhasabah sendiri kelak akan mewariskan kualitas berpikir, kecerdasan, dan mendidik diri untuk bersikap terbaik, bersukur atas segala kenikmatan yang telah Allah anugerahkan dan bersabar atas segala ujian yang Allah timpakan.
Ketika menyikapi berbagai macam ujian yang menimpa negeri ini, maka orang yang telah mampu bermuhasabah akan senantiasa teringat peringatan Allah: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Q.S. Al-A’raf (7): 56-58).
Ternyata tanpa disadari manusia-lah yang telah menjadi salah satu penyebab kerusakan yang terjadi di muka bumi. Kekurangpekaan kita lah yang menyebabkan bertubi-tubinya ujian ini terjadi. Pada saat diri lambat untuk muhasabah, hal tersebut dikarenakan hati yang didominasi oleh kekuatan hawa nafsu dan syahwat yang kemudian menguasai akal agar tidak mau membuka diri menjadi pribadi yang beruntuk di hadapan Allah.
Oleh karena itu Muhasabah merupakan kesadaran akal untuk menjaga diri dari pengingkaran nafsu melalui proses pencarian kelebihan dan kekurangan diri. Muhasabah akan menjadi lampu di hati setiap orang yang melaksanakannya. Lampu tersebut akan menerangi setiap langkah ke depan, dan akan menjadi petunjuk arah ke jalan yang diridloi-Nya.
Sesungguhnya hidup di dunia ini hanyalah sementara, sekedar mampir, dan sekedar persinggahan belaka, akhirat yang terbentang luas dihadapan kita adalah tempat sebenarnya, tempat berlabuhnya kapal kehidupan yang hakiki, maka alangkah sayangnya bila kita tak memiliki bekal yang cukup untuk berlabuh di pelabuhan akhirat itu, alangkah ruginya kita bila dunia, tempat yang hanya sementara ini, dijadikan tempat bersenang-senang belaka. Akhirat yang ada di hadapan kita kelak akan menuntut pertanggung jawaban kita, tentang usia dipergunakan untuk apa saja usia kita itu? Tentang anak, telah diajarkan kebaikan apa saja anak kita? Tentang harta, didapat dari manakah harta itu? Tentang jabatan, diperoleh dengan cara apakah jabatan itu? Tentang keluarga, telah dibimbing kemanakah keluarga kita?
Permasalahan itulah yang terbentang di hadapan kita. Namun bagi orang yang beriman, yang di dalam dirinya tertanam suatu niat untuk senantiasa melakukan perbaikan diri menuju kebaikan, yang setiap harinya selalu bertambah, bertambah, dan bertambah nilai kebaikannya, maka dunia ini dijadikannya sebagai ladang yang luas dan subur untuk ditanami segala macam kebaikan dan amal shalih, sehingga tanaman yang disiram dengan ikhlash dipagari dengan syukur dan sabar akan menuai panen pahala di akhirat kelak
Bagaimana mungkin kita menyuruh istri kita untuk taat kepada kita, sementara kita tak pernah memberi teladan yang baik selaku suaminya ? Dan bagaimana mungkin masyarakat menghormati kita, bawahan menuruti kita, atasan sayang kepada kita, jika kita tak pernah memberi contoh yang baik dalam segala perilaku kita.
Maka tahun baru 2019 ini hendaknya menjadi momentum berharga, sebagai titik awal kebangkitan kita menjadi orang yang paling depan dalam hal keteladanan, menjadi pelopor dalam segala bentuk kebaikan, menjadi perintis dalam segala hal perbaikan, menjadi sumber solusi, pemecah masalah, dalam segala bentuk persolanan, menjadi pemersatu disaat terjadi perpecahanan, menjadi ayah yang senantiasa membimbing sholat anaknya, mengajar anaknya mengaji, menuntun istrinya menjadi sholehah, menjadi sumber kebahagiaan keluarga, menjadi bawahan yang disayangi semua teman dan atasan, menjadi atasan yang diteladani sikap, tindak dan perbuatannya.
Memang seperti impian, namun bila di’itikadkan dalam hati, dan diamalkan dalam bentuk perbuatan, akan terciptalah suatu karya nyata yang luar biasa; yakni amal shalih yang akan kita nikmati manisnya di akhirat kelak.
Rasa syukur kita panjatkan, Allah masih memberi kesempatan kepada kita untuk meniti lembaran baru di tahun ini. Hakikatnya tentu Allah Maha Mengetahui maksud Nya, namun yang jelas ini adalah kesempatan kita untuk memeperbaiki kesalahan tahun lalu, dan merubahnya menjadi lebih baik di tahun sekarang ini.
Muhasabah di atas perlu kita lakukan agar hidup kita benar-benar menjadi insan bermanfaat bagi sebanyak-banyaknya umat.
Semoga tahun 2019 menjadi momentum untuk muhasabatun nafsi (evaluasi diri) atas berbagai amal yang telah dilakukan, agar kehidupan lebih baik dan bermakna di hadapan Allah, membuat kita lebih mengkoreksi diri, betapa sering kita melupakan Allah, yang menggenggam hidup dan mati kita, yang menggenggam surga dan neraka, yang memberikan kemulian kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan yang akan menghinakan kepada hambanya yang kufur, yang tak mau bersyukur terhadap apapun bentuk kenikmatan, dan yang tak mau bersabar terhadap apapun bentuk ujian. Semoga kita tergolong hamba-hamba Nya yang senantiasa bersyukur dan bersabar dalam segala keadaan, dan kiranya Allah senantiasa memberikan kekuatan dan ketabahan bagi siapapun kita yang masih diuji dengan segala bentuk penderitaan, semoga penderitaan diganti dengan kebahagiaan. Wallahu a’lam.