Oleh: Achmad Jumaydi. S,Pd. Gr
(SMPN 4 CIpongkor)
Proyek kemanusiaan jangka panjang yang digelorakan lembaga sekolah, menjadi misi utama para ahli pendidikan untuk membangun peradaban bangsa. Guru memegang estafet terakhir dalam misi ini. Walaupun, kita tahu, guru dengan segala problematika yang melingkupinya, masih menjadi ujung tombak dalam membangun konstruksi moral masa depan anak didik.
Guru dahulu dengan guru masa kini tentu mengalami rentang zaman yang panjang sehingga nilai-nilai dasar yang disematkan padanya kini terdistorsi. Dahulu guru menempati strata paling tinggi dalam culture sosial. Di zaman dulu, seorang guru haruslah berkasta Brahmin, artinya seorang Raja sekalipun harus tunduk dan mencium kaki guru. Hal tersebut menunjukan bahwa ilmu sangat dihargai dan dijunjung tinggi oleh peradaban. Itulah mengapa orang yang berilmu harus memiliki nilai-nilai dasar karakter yang kuat. Guru haruslah Jujur, bijaksana, berwawasan luas, juga harus beradab. Selain itu,. guru harus bisa membaca masa depan anak didiknya. Sayangnya nilai-nilai itu semua kurang dilestarikan dalam pribadi seorang guru hari ini.
Terlepas dari semua di atas, kita tidak bisa membendung zaman dan menghalau segala perubahan yang terus bergerak tanpa henti. Di zaman modern ini, guru merupakan sebuah profesi. Profesi ini bisa diukur tidak hanya dari keilmuan yang dimiliki, melainkan juga perlu adanya pengakuan yang sah dari lembaga yang berwenang akan hal itu. Akhirnya, lagi-lagi di zaman ini, kita sulit sekali memisahkan antara profesi dan finansial. Seseorang ketika menekuni profesi, tentu untuk mendapatkan finansial. Sementara finansial akan mengukur sejauhmana profesi itu layak disematkan pada statusnya.
Kendati demikian, guru tetaplah guru, bagaimanapun kondisinya hari ini. Yang bisa kita lakukan sebagai guru adalah tetap memihak pada aspek humaniora anak sehingga beban kerja yang melembaga itu tidak melunturkan esensi dan predikat dari guru itu sendiri. Setidaknya ada beberapa hal yang membuat program pendidikan karakter yang sedang digaungkan oleh banyak satuan pendidikan ini kurang berjalan dengan maksimal jika kaitannya dengan guru sebagai garda terdepan yang mengawal jalannya proyek masa depan ini.
Kompetensi Guru Dipertanyakan
Bagi sarjana lulusan ilmu keguruan tentu tidak asing dengan ilmu pedagogi. Pedagogi ini tidak semata-mata cara beretorika dan membuat RPP semata. Jauh penting dari hal itu, pedagogi haruslah terkait dengan bagaimana cara guru mendeteksi kebutuhan anak didik dalam proses belajarnya, dan pembelajaran apa yang dibutuhkan anak di masa sekarang. Selain itu, guru juga harus bisa menjadi motivator, membangun kelas, dan mengawal psikologis perkembangan anak selama belajar. Sayangnya kompetensi-kompetensi semacam itu kurang dibangun dalam pribadi guru hari ini. Kebanyakan guru hari ini bahkan tidak mengerti untuk apa guna dan manfaatnya materi yang ia ajarkan pada siswa di dalam kelasnya. Itulah sebabnya di zaman sekarang menjadi guru itu sangat mudah. Karena kemampuan dasar dalam mengasesmen psikologi anak, belum menjadi tolak ukur untuk profesi guru.
Guru adalah Pendidik bukan Administrator
Beban administrasi yang harus dipikul oleh guru saat ini terlalu banyak. Silabus, RPP, Prota, Promes, dan administrasi lainnya harus dibuat setiap tahunnya. Sehingga terciptalah Buku I dan Buku 2 yang tersimpan rapih di atas meja sang guru. Masalah intinya bukan disitu, namun apakah administrasi mengajar yang dibuat berjilid-jilid itu, yang menghabiskan kertas berrim-rim banyaknya itu, yang menguras banyak energi dan memecah konsentrasi itu masih relevan dengan kebutuhan proses mengajar guru? Apakah hal itu menyentuh esensi dalam proses pembelajaran anak? Sudah bukan menjadi barang aneh lagi ketika setelah dibuat administrasi mengajar, kemudian dinilai oleh kepala sekolah dan setelahnya menjadi pajangan di atas meja? Ketika guru harus menempatkan diri sebagai administrator dan melakukan effort besar dalam menjalaninya, lantas bagaimana nasib anak di dalam kelas? Karakter apa yang akan dibangun dengan membiarkan anak di dalam kelas tanpa dibimbing oleh sang guru?
Kesejahteraan Guru Memprihatinkan
Hal ini menjadi sesuatu yang sangat klasik. Sesuatu yang menjadi problem mendasar yang dihadapi oleh guru hari ini. Kita tidak membahas guru yang berstatus PNS dan PPPK. tapi guru yang berstatus honorer. Hidup di zaman ini dengan kebutuhan yang sangat tinggi, mengandalkan finansial dari hanya menjadi guru honorer akan sangat miris. Terutama honorer-yang berada di daerah-daerah terpencil. Mereka harus mengajar dengan beban administrasi yang sama seperti guru pada umumnya tetapi dengan perlakuan finansial yang sangat rendah. Bagaimana tidak, dalam sebulan penghasilan guru honorer masih ada yang berkisar 100 ribuan saja setiap bulannya. Jika kita perhatikan lebih detil lagi ada kausalitas yang sulit dipisahkan. Dimana penghargaan guru honorer yang rendah itu, secara kondisi akan balik lagi pada poin pertama, dimana mereka dibayar murah karena kompetensi guru honorer yang kebanyakan tidak jelas.
Penyebaran Guru Tidak Merata
Indonesia dengan populasi manusia sebesar 267,7 juta jiwa dari Sabang hingga Merauke yang berjarak sekitar 1,91 juta kilometer. Dari daratan yang luas itu Indonesia memiliki 2.719.712 guru, yang sayangnya penyebarannya tidak merata. Jumlah guru yang sedikit itu harus bisa mengakomodasi belajar siswa yang berjumlah 45.357.157 orang, dimana hampir 70% pelajar itu berada di daerah luar pulau jawa yang terisolir. Masalah yang menyempurnakan kasus ini adalah, kebanyakan guru hanya tersentralisasi di Pulau Jawa. Sementara Pulau Kalimantan, Sulawesi, Papua dan sebagian kecil Pulau Sumatera, serta pulau-pulau kecil di sekitarnya kurang mendapatkan pasokan guru. Tentu ini menjadi PR besar pemerintah dalam menjalankan misi membangun karakter siswa di daerah-daerah pinggiran di Indonesia.
Manusia Terbaik yang Kurang Terjaring karena Mekanisme Rekruitmen
Masalah penyebaran guru bukan satu-satunya menjadi kendala dalam memenuhi kebutuhan guru di sekolah. Rekruitmen ASN untuk guru yang berkualitas masih terkendala dengan alat ukur berupa soal. Padahal, dalam menyaring guru berkualitas perlu secara holistik, artinya karakter seorang guru yang berkualitas tidak hanya diukur dari tingkat kognitif saja. Perlu adanya alat ukur dalam menentukan kepribadian seseorang yang akan direkrut menjadi guru secara sosial dan idealismenya. Prosedur untuk melihat sejauhmana track record pendaftar guru, kurang begitu menjadi acuan dalam menjaring guru yang berkualitas. Tidak aneh jika pada praktiknya ‘banyak guru yang bukan guru’ artinya, ketika seseorang menjalani profesi sebagai guru, hati dan perasaannya bukan di situ. Pada akhirnya, guru menjadi profesi alternatif yang disandang ketika kejaran profesi yang diinginkan tidak terpenuhi.
Tentu saja permasalahan yang dikemukakan di atas bukan untuk mendeskreditkan pihak tertentu. Namun, hal ini merupakan sebuah kritik besar bagi kita bersama selaku insan pendidikan. Guru yang bertindak sebagai eksekutor dan para pemangku kebijakan sebagai konseptor, agar kiranya mampu bersinergis dan mampu menjalin hubungan kordinasi yang baik. Pendidikan karakter yang dicanangkan bersama ini bisa berjalan dengan baik melalui peran guru yang berkualitas.
Profil Penulis
Achmad Jumaydi, lahir 15 Agustus 1989 di Sukabumi. Saat ini berdomisili di Cililin Bandung Barat menempuh pendidikan terakhir di UPI Bandung bidang studi Pendidikan Seni Rupa (2007). Mengikuti program SM3T (Sarjana Mendidik di daerah terdepan, terluar dan tertinggal) di Aceh Timur (2013). Mengikuti Pendidikan Profesi Guru berasrama selama satu tahun di UNJ (2015,) Mengampu Pelajaran SBK dan Prakarya. Penulis merupakan PKS kesiswaan di SMPN 4 Cipongkor. Aktif dalam kegiatan literasi di KBB. Menjadi Duta Kepemudaan di Subud Youth Activities International (SYAI) yang diselenggarakan di Jerman (2018).
Editor: Adhyatnika Geusan Ulun-Newsroom