OPTIMIS DI TENGAH RASA PESIMIS (Sebuah Refleksi Diri)

“Sebagai salah satu ‘agen of change’ dunia pendidikan mengharuskan untuk bisa mengikuti tuntutan kurikulum. Perlahan namun pasti, harus dilakukan. Langkah nyata dan bergerak mengikuti perubahan, menjadi satu keharusan. Apatis dan alergi terhadap perubahan tidak akan menyelesaikan masalah.”

Full Day School yang diberlakukan di SMPN 1 Cililin saat ini memasuki tahun ke-2. Hal ini membuat Penulis harus ekstra beradaptasi dengan kegiatan pembelajaran yang seharian penuh. Mulai dari pukul 07.00-15.00, harus tetap berada di sekolah untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi sebagai guru. Lima hari di sekolah dengan jam kerja penuh seperti itu memang sesuatu hal yang baru. Diperlukan strategi untuk menyiasatinya secara bijak, karena dengan ritme kerja seperti itu berpengaruh baik secara langsung atau tidak terhadap pola kebiasaan yang dilakukan sehari-hari.

Porsi waktu yang dirasakan lebih panjang di sekolah dibanding sebelum diberlakukannya full day school memang terasa lebih berat. Hal ini dikarenakan beban kerja perhari lebih besar yakni sekitar 8-9 jam perhari. Ditambah dengan tugas tambahan lain yang terkadang membuat Penulis harus merelakan waktu kosong untuk menyelesaikan tugas sekolah di rumah. Tapi semua itu harus dijalani sebagai bentuk tanggung jawab terhadap pekerjaan. Hal itulah yang terkadang harus mengenyampingkan dan menunda urusan keluarga.

Saat ini mulai 17 Nopember-21 Desember 2019, sejumlah sekolah diharuskan mengikuti program Peningkatan Kompetensi Pembelajaran (PKP) tahap II yang digulirkan oleh Pemerintah. Tujuan program tersebut adalah meningkatkan kompetensi siswa melalui pembinaan guru dalam merencanakan, melaksanakan sampai dengan mengevaluasi pembelajaran yang berorientasi pada keterampilan berfikir tingkat tinggi (Higher Order Thinking Skills/HOTS). Kegiatantersebut membuat Penulis harus stay sesuai jadwal yang telah ada. Bukan hanya waktu ekstra yang harus tersedia, namun kesiapan dan keseriusan mengikuti program di atas hingga tuntas.

Ada hal spesial yang menjadi motivasi Penulis. Hal ini terjadi pada hari pertama pembukaan PKP tahap II di SMPN 1 Cihampelas dari Kepala Bidang Pendidikan SMP Disdik KBB, Dadang A. Sapardan, merupakan supply energy luar biasa. Slide akhir yang ditampilkan tertulis “Masalah Utama Kita adalah Mindset yang Terpenjara”. Sesi ini membuat Penulis untuk bisa membenahi diri, membebaskan diri dari paradigma lama dan beralih ke pola pikir baru sesuai tuntutan kurikulum. Student center dengan aspek sikap yang menjadi prioritas menjadi  hal yang senantiasa harus dimunculkan dalam proses pembelajaran dan itu menjadi acuan penting bagi guru. Satu hal penting yang harus menjadi bagian dari proses pembelajaran adalah penguatan pendidikan karakter yang harus dimunculkan baik dalam bentuk pembiasaan maupun dalam proses pembelajaran.

Seperti diketahui, sebagai salah satu ‘agen of change’ dunia pendidikan mengharuskan untuk bisa mengikuti tuntutan kurikulum. Perlahan namun pasti harus dilakukan. Langkah nyata dan bergerak mengikuti perubahan, menjadi satu keharusan. Apatis dan alergi terhadap perubahan tidak akan menyelesaikan masalah.

Istilah disrupting yang dipresentasi oleh Dadang A Sapardan membuka mata bahwa itulah realita kita hari ini. Semuanya telah bergeser, berganti pada sesuatu yang berbau aplikasi elektronik. Hingga kita pun sebagai guru harus bisa menyesuaikannya. E-learning sebagai salah satu lompatan yang harus kita jajagi. Mau tidak mau, suka tidak suka kita harus mencoba mengenal dan berteman dengannya. Hingga  anak-anak bisa survive di abad 21.

Bahwa kita hidup bukan di zaman dimana guru kita dulu mengajar. Kita hidup dengan tuntutan zaman berbeda. Era digital saat ini membuat kita terperangah terhadap perubahan yang begitu cepat. Perkembangan IPTEK yang demikian dahsyat membuat kita berada di zaman yang serba elektronik. Bukan lagi saatnya dimana guru sebagai satu-satunya sumber belajar. Hari ini, kita harus mengakui bahwa untuk hal-hal tertentu siswa lebih mahir dan pintar hingga kita banyak belajar dari mereka. Google, youtube dan media lainnya menjadi salah satu acuan mereka untuk menjawab pertanyaan yang mereka tidak  tahu/ tidak mengerti. Itulah fenomena yang terjadi hari ini, hingga kita selaku guru harus berada di dalamnya.

Namun demikian, satu hal yang tak boleh dilupakan bahwa peran guru tak akan tergantikan dengan kemahiran teknologi secanggih apapun. Bahwa guru sebagai teladan bagi anak, pembentuk watak/kepribadian, penyelenggara pembelajaran yang bermutu tak akan berubah sampai kapanpun. Hingga kita harus senantiasa menjaga sikap dan prilaku dimana pun berada. Bahwa kita harus menjadi transfer of value dengan menerapkan nilai-nilai baik dalam kehidupan. Akhirnya, semua energy positive di atas, yang hadir dari manapun dan sebesar apapun, menjadi sumber kekuatan bagi Penulis untuk bisa berfikiran positif terhadap segala kebijakan dan perubahan baru yang diberlakukan. Rasa pesimis yang sempat hadir berubah menjadi rasa optimis untuk bisa menjalankan semua yang mesti dilakukan hingga tujuan yang diharapkan, bisa tercapai. ***

Editor: Adhyatnika GU

Oleh: Elis Lisnawati (Guru IPS SMPN 1 Cililin)