PAHLAWAN DI HATIKU

Oleh : Dra. Nani Sulyani, M.Ds
Kepala Sekolah SMPN 3 Saguling

Setiap tanggal sepuluh November kita memperingati hari pahlawan dengan beragam cara. Ada yang dengan menyelenggarakan lomba nyanyi, lomba baca puisi, tabur bunga ke makam pahlawan, hingga pagelaran drama kolosal di Surabaya, yang memakan beberapa korban jiwa.

Pendeknya, baik kegiatan yang sederhana, maupun yang spektakuler dan menyedot anggaran  cukup besar, tujuannya sama yaitu demi mempertahankan nilai-nilai perjuangan para pahlawan. Selain itu, untuk jadi pengingat anak-cucu bahwa berdirinya negara kita bukan pemberian penjajah, namun hasil perjuangan para pahlawan dan wajib dipertahankan keberadaaannya oleh kita hingga akhir hayat.

Integritas dan nilai-nilai kejuangan memang perlu terus ditekankan kepada kita, sehingga terintegrasi menjadi sebuah karakter bangsa. Terutama kepada generasi muda yang rentang usianya semakin jauh dari peristiwa  perobekan bendera Belanda di Hotel Yamato dan puncak pertempuran arek-arek Suroboyo di Surabaya pada 10 November 1945. Sebuah perisiwa heroik yang kemudian ditandai sebagai peringatan hari pahlawan di Indonesia setiap tahunnya.

Dalam pengertian yang luas, kata pahlawan berarti orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran; pejuang yang gagah berani. Merujuk pada keterangan ini, tidak lantas, bahwa pahlawan harus selalu dikaitkan dengan senjata dan situasi peperangan. Intinya, siapa pun orangnya, ketika memenuhi kriteria tersebut, maka boleh disebut pahlawan. Untuk itulah, kemudian dalam perkembangan selanjutnya,  disematkan nama pahlawan dalam berbagai bidang.

Bagi saya, Susi Susanti adalah pahlawan dan legenda bulu tangkis Indonesia. Begitu juga Mak Eroh, penerima hadiah Kalpataru tahun 2004, wanita perkasa yang membuka jalur air sungai Cilutung untuk mengairi pesawahan di sekitarnya dengan sebilah belincong. Ki Hajar Dewantara, R.A Kartini, Rd. Dewi Sartika, siapa lagi? Masih banyak.

Dalam berita di sebuah harian ibu kota, saya membaca sebuah judul:’ Inilah 31 pahlawan kita di Asian Games.’ Menarik, bukan? Para atlet diperlakukan layaknya pahlawan yang telah sukses menghancurkan musuh di medan perang. Disambut dengan sorak-sorai dan yel-yel kegembiraan. Jika merujuk pada pengertian di atas yang dikutip dari KBBI, maka hal tersebut menjadi sah. Siapa pun yang berjuang demi kebenaran.  Maka pada akhirnya,  bisa saja, di setiap moment/event  akan lahir pahlawan baru baik dalam kancah internasional, maupun lokal.

Betulkah? Jika demikian, maka siapa saja yang berpeluang menjadi pahlawan, kita? Ya.  Termasuk anak didik kita? Ya. Untuk sebuah gagasan,  mungkin  ini adalah hal baru dan belum terbiasa dilakukan. Menganugerahi  orang biasa saja menjadi seorang pahlawan, tidak kah akan melabrak aturan?

Mari simak pernyataan Raeni, sarjana dari Universitas Negeri Semarang  (UNES), yang beberapa waktu lalu sempat viral, karena ia adalah anak seorang tukang becak.  Raeni kemudian melanjutkan pendidikan jenjang S2 dan S3 di London dengan beasiswa LPDP. Ketika ditanya, siapa pahlawan di hatinya, jawabannya adalah ayahnya.

Siapa pahlawan anda? Siapa pahlawan saya? Pengalaman spiritual yang kita alami, akan menimbulkan kesan mendalam dan biasanya memunculkan sosok pahlawan di hati kita.

Beberapa hari lalu saya mendapatkan kiriman quotes dari seorang kawan: “Selamat Hari Pahlawan. Setiap kita adalah pahlawan,  jika kita mampu memberi manfaat dan nilai tambah untuk orang sekitar kita dan lingkungan kita.”

Sederhana, namun bernas, bukan?

Selamat hari pahlawan. Jangan lupa untuk bersyukur, bahwa kita adalah pahlawan bagi para murid. Menjadi tugas kita untuk membuat mereka pun menjadi pahlawan untuk orang lain di sekitarnya.

Ah, ya, hampir lupa. Driver ojol juga salah satu pahlawan yang mengantar saya ke Saguling.

 

Langit Lembang, November  2018.