Oleh: Dian Savitri, S.Pd.
(Guru Bahasa Inggris SMPN 5 Cipongkor)
Anak-anak begitu antusias menjawab pertanyaan, ‘Apa itu bencana?’. Sebagian besar menyebut banjir, tanah longsor dan gempa. Beberapa saat kemudian keriuhan memudar ketika orang yang berada di depan mereka bertanya tentang bencana yang disebabkan oleh ulah manusia. Sayup-sayup terdengar suara anak menyebut banjir dan tanah longsor.
Pagi itu siswa baru SMPN 5 Cipongkor mendapatkan materi mitigasi bencana. Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Diharapkan dengan materi ini, anak-anak mendapatkan pengetahuan seputar kebencanaan dan menjadi penerus informasi kepada masyarakat. Pemateri tidak semata-mata menjelaskan secara detil kepada anak-anak, melainkan mengajak diskusi untuk memunculkan sisi kritis mereka. Rupanya sedikit banyak anak-anak memahami penyebab bencana dan cara mengurangi dampak negatifnya. Bahkan mereka tahu bahwa lingkungannya rawan terjadi longsor, baik skala kecil maupun besar. Selain itu, mereka juga perlu mengetahui potensi bencana alam yang ada di kabupaten Bandung Barat, yakni Sesar Lembang. Awalnya mereka tampak bingung mendengar kata ‘sesar’, namun ketika mendengar kata gempa, barulah mereka mengangguk tanda mengerti.
Poin lain yang kerap dilupakan dalam hal kebencanaan adalah siklus bencana. Mungkin kita sering mendengar siaran berita mengenai terlambatnya bantuan kepada korban bencana. Salah satu penyebabnya adalah ketidaksiapan kita dalam menyikapinya. Sepeti diketahui Indonesia dilalui beberapa lempeng yang secara aktif terus bergerak. Sementara pulau Jawa memiliki potensi gempa yang sewaktu-waktu dapat terjadi. Belum lagi potensi bencana banjir, angin puting beliung dan tanah longsor. Sehingga kegiatan seputar sebelum, saat dan setelah bencana perlu dipersiapkan dengan matang. Pada bagian ini, anak-anak sepenuhnya memahami bahwa menjaga kebersihan lingkungan dengan tidak menebang pohon sembarangan, dan melakukan reboisasi di lahan gundul, menjadi upaya mengurangi ancaman bencana.
Setelah memahami berbagai konsep seputar mitigasi bencana, kegiatan pembelajaran dilanjutkan di luar kelas, di halaman sekolah. Melalui permainan ‘Rumah, Tikus, Gempa’ anak-anak dapat membaur dengan teman barunya. Lima menit setelah itu, dilakukan diskusi kelompok dengan jumlah anggota 10 orang. Masing-masing kelompok membawakan nama bencana alam yang berbeda, seperti tanah longsor, letusan gunung berapi, banjir, gempa dan tsunami. Selama 10 menit mereka diminta mendiskusikan pengertian, upaya kesiapsiagaan dan mitigasi bencana yang dapat dilakukan. Pada akhir kegiatan setiap kelompok menunjuk dua orang untuk maju ke depan membacakan hasil diskusi.
Potensi bencana ada di depan mata. Bukan berarti kita berharap menjadi korban bencana alam. Akan tetapi persiapan menghadapi bencana perlu dilakukan dan sebaiknya dimulai sejak dini. Bukan tidak mungkin anak-anak usia sekolah menjadi agen pembawa informasi ke masyarakat. Mereka bisa bercerita kepada keluarga dan tetangga sehingga terbentuklah masyarakat yang siaga menghadapi bencana.
(Editor Newsroom: DD/Adhyatnika GU).
Biodata Penulis
Dian Savitri, lahir 28 tahun yang lalu di Kudus dan sekarang tinggal di Bandung Barat.
Sejak 2017 ditugaskan sebagai Guru Bahasa Inggris di SMPN 5 Cipongkor Bandung Barat. Pernah berkelana ke Ende, Nusa Tenggara Timur sebagai guru Bahasa Inggris (juga) di SMKN 6 Ende. Peran reporter kampus pun pernah dilakoni ketika masih berstatus mahasiswa, dan beberapa kali mengirim liputan kegiatan ke Harian Kompas. Penerjemah (freelance) sejak 2015 sampai sekarang.
IG: @deeansavitri.