Dadang A. Sapardan
(Kabid Kurikulum & Bahasa, Disdik Kab. Bandung Barat)
Pada minggu-minggu ini, keberadaan guru kembali terusik oleh pernyataan seorang pengamat pendidikan yang mengungkapkan bahwa guru Indonesia antikritik, maunya gaji besar, tunjangan banyak tapi kualitasnya rendah. Statement tersebut diungkapkannya memang sudah cukup lama, tapi pada minggu-minggu ini diangkat lagi dan disebar pada berbagai media sosial—Whatsapp, Facebook, dan Instagram—sehingga melahirkan keriuhan, terutama di kalangan guru. Berbagai komentar sebagai argumen jawaban untuk mematahkan pernyataan berbau kritikan tersebut diungkapkan oleh para guru yang tidak jarang dibarengi dengan nuansa emosional.
Menelaah pernyataannya, Letupan statement yang diungkapkan tersebut dilatarbelakangi oleh dua hal sebagai penyebabnya, yaitu capaian score Programme for International Student Assessment (PISA) dari siswa Indonesia yang menjadi sampel serta persentase serapan anggaran pendidikan.
Kedua hal itulah yang melahirkan pernyataan sehingga guru dianggap antikritik dan maunya mendapat gaji besar tetapi kualitasnya rendah.
PISA yang merupakan program Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) mengukur kemampuan siswa jenjang pendidikan menengah. Selama ini, capaian score PISA menjadi indikator yang merefleksikan keberhasilan tata kelola pendidikan dan menjadi rujukan sebagian besar negara tentang penerapan konsep pendidikan masing-masing. Pengukuran PISA dilakukan sebagai evaluasi terhadap kinerja siswa pada jenjang pendidikan menengah, terutama terhadap tiga bidang utama, yaitu matematika, sains, dan literasi. Capaian score PISA untuk siswa Indonesia selama ini berada di peringkat bawah. Capaian paling akhir berada pada peringkat ke dua dari bawah.
Belum lagi, dipicu oleh kenyataan tentang penganggaran pendidikan. Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan, lebih kurang 60% dana pendidikan terserap untuk gaji dan tunjangan guru. Tunjangan guru mengarah pada pemberian tunjangan profesi guru (TPG) yang merupakan tindak lanjut dari pelaksanaan sertifikasi guru. Namun, besarnya anggaran TPG yang diberikan tersebut tidak berbanding lurus dengan prestasi siswa yang menjadikan capaian score PISA sebagai indikatornya.
Terlepas dari pandangan yang disampaikan tersebut, upaya yang dilakukan adalah melakukan pematahan secara elegan akan kebenaran pernyataannya. Langkah yang dilakukan adalah melakukan refleksi diri sebagai bentuk evaluasi terhadap berbagai kelemahan yang dimiliki. Langkah ini dipandang lebih bijaksana ketimbang melakukan counter dengan memproduksi argmentasi yang dapat memperkeruh suasana.
Membahas sosok guru seakan tidak akan pernah habis-habisnya. Berbagai bahasan dan telaahan dari berbagai sudut pandang diungkapkan oleh berbagai pihak yang selama ini berkonsentrasi terhadap perkembangan ranah pendidikan. Bahasan yang diungkapkan menempatkan guru sebagai core-nya dengan melihat guru dari berbagai sisi. Posisi guru memang termasuk sangat seksi untuk menjadi objek bahasan karena dalam ranah pendidikan, eksistensi guru menjadi sosok yang sangat sentral. Guru telah terposisikan menjadi tulang punggung keberhasilan pendidikan.
Dalam pandangan sempit, keberhasilan pembelajaran dipengaruhi oleh beberapa faktor yang mewarnainya, di antaranya guru, siswa, tujuan pembelajaran, bahan ajar, metode pembelajaran, serta fasilitas sarana dan prasana. Optimalisasi faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi keberhasilan pembelajaran yang direfleksikan dengan hasil belajar siswa sebagai output-nya.
Sekalipun demikian, banyak sekali pandangan yang mengungkapkan bahwa eksistensi guru menempati posisi yang begitu strategis. Posisinya yang strategis tersebut diperkuat dengan adanya adagium bahwa kualitas pendidikan tidak akan melebihi kualitas dari guru. Adagium tersebut menjadi sebuah keyakinan para pemerhati pendidikan serta penentu kebijakan pendidikan, sehingga manjadi bagian dari kebijakan yang diterapkan Kemendikbud sebagai pemegang otoritas keberlangsungan pendidikan.
Dalam kapasitas sebagai pemegang otoritas pendidikan, Kemendikbud terus-menerus melakukan berbagai upaya guna mendorong peningkatan kompetensi guru yang diyakini akan menjadi pemicu peningkatan kualitas pendidikan. Berbagai treatment diterapkan guna meningkatkan kompetensi sehingga mereka menjadi sosok yang memiliki kompetensi profesional, pedagogik, kepribadian, dan sosial. Salah satu langkahnya dikemas dalam konsep Merdeka Belajar.
Sebagai lembaga pendidikan formal, sekolah/madrasah secara sistematis dan terstruktur mengimplementasikan berbagai program bimbingan, pengajaran, dan/atau pelatihan untuk setiap siswanya. Implementasi program tersebut menempatkan guru sebagai pen-treatment dalam upaya membantu para siswa agar mampu mengembangkan kepemilikan potensinya secara optimal. Berbagai program dirancang sedemikian rupa dalam kemasan kegiatan kurikuler.
Berbagai kemasan kegiatan kurikuler menjadi bagian dari tugas harian para guru. Hal itu dimungkinkan karena di pundak para guru disematkan tugas untuk mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi. Tugas tersebut menjadi rangkaian aktivitas guru yang mesti dan senantiasa harus dilakukan secara sistematis dan terstruktur.
Akan halnya dengan pandangan dalam bentuk kritik yang disampaikan,—sekalipun kritikan tersebut merupakan bentuk aktualisasi dari statement lama yang diungkapkan—upaya yang patut dilakukan adalah melakukan penguatan terhadap empat kompetensi guru—profesional, pedagogik, kepribadian, dan sosial. Penguatan akan keempat kompetensi guru inilah yang dapat menjadi pematah atas kritik yang disampaikan.
Karena itu, perlu terbangun kebersamaan dari seluruh unsur stakeholder pendidikan guna terus-menerus berkonsentrasi dalam upaya mengoptimalkan performa guru, terutama berkaitan dengan keempat kompetensi tersebut. **** Disdikkbb-DasARSS.