Dadang A. Sapardan
(Kabid Kurikulum & Bahasa, Disdik Kab. Bandung Barat)
Beberapa waktu yang lalu sempat bertemu dan ngobrol ringan dengan seorang teman yang bekerja pada satuan kerja perangkat daerah (SKPD) lain—SKPD yang menangani ketenagakerjaan. Dalam obrolan tersebut terungkap bahwa berdasarkan informasi dari beberapa perusahaan yang mempekerjaan pemuda daerah, kelemahan yang dimiliki mereka adalah attitude. Karena itu, dalam obrolan tersebut disepakati untuk mendiskusikan lebih lanjut dan secara mendalam terkait upaya penyiapan setiap lulusan sekolah/madrasah agar dalam proses pembelajaran melakukan penguatan attitude yang baik.
Sudah lebih dari setahun lamanya kebijakan pendidikan diterapkan dengan melarang implementasi PTM di sekolah/madrasah. Pelaksanaan pembelajaran yang saat ini ditolelir hanya sebatas pembelajaran dari rumah atau cara lain yang diapandang aman bagi kesehatan semua pihak. Kebijakan tersebut dilakukan karena pandemi Covid-19 terus merebak dengan cepat sehingga mengkhawatirkan berbagai pihak.
Penerapan kebijakan tersebut dilatarbelakangi dengan upaya penerapan dua prinsip utama. Kesehatan dan keselamatan menjadi prioritas utama dalam penetapan kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan. Namun, setiap siswa harus tetap mendapat pendidikan sebagai upaya untuk membangun tumbuh kembang dan hak anak selama pandemi Covid-19. Kedua prinsip tersebut diterapkan oleh semua pihak, terutama stakeholder dalam kebijakan pendidikan.
Pelaksanaan PJJ dengan rumah sebagai basis pelaksanaan pembelajarannya telah menimbulkan berbagai permasalahan penyerta. Sampai sejauh ini, tidak sedikit ditemukan siswa yang mengalami putus sekolah/madrasah dengan berbagai alasan, terutama keterpaksaan mereka untuk membantu perekonomian keluarga yang juga terdampak pandemi Covid-19. Terbangunnya persepsi masyarakat, terutama para orang tua siswa bahwa peran sekolah/madrasah belum terlaksana secara optimal dalam pelaksanaan PJJ, sehingga tampilan prestasi siswa tidak sesuai dengan ekspektasi yang diharapkan. Pelaksanaan PJJ dengan dua pilihan moda—daring atau luring—semakin memperlebar jurang perbedaan capaian prestasi siswa, sehingga prestasi hasil belajar siswa dari kalangan tertentu yang memiliki fasilitas PJJ moda daring berbeda cukup signifikan dengan siswa yang hanya melaksanakan PJJ moda luring. Pelaksanaan PJJ tidak seefektif pelaksanaan PTMterutama terkait dengan kontrol guru terhadap pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan siswasehingga bisa berakibat pada lahirnya learning loss.
Karena kurangnya kontrol yang dilakukan oleh guru, bahkan oleh orang tua siswa sekalipun, terjadi berbagai penyimpangan perilaku siswa yang ditandai dengan peningkatan kuantitas pernikahan dini, eksploitasi anak perempuan, kehamilan remaja, dan kenakalan remaja. Bahkan, dalam situasi seperti ini, tidak sedikit siswa yang siswa terjebak pada kondisi kekerasan—fenomena yang tidak dengan mudah terdeteksi sekolah/madrasahbaik di rumah maupun di lingkungan sekitar kehidupan siswa.
Berbagai permasalahan yang dikemukakan di atas, di antaranya berkenaan dengan tampilan attitude (sikap) siswa hasil proses pembelajaran dengan pola PJJ. Sampai sejauh ini, belum ada—kalaupun sudah ada, tetapi belum banyak—penelitian terhadap tampilan attitude siswa yang mendapat treatment pembelajaran dengan pola PJJ. Namun, informasi yang berbau keluhan dari perusahaan tentang kelemahan tampilan attitude tenaga kerja harus menjadi perhatian semua pihak, terutama para stakeholder pendidikan.
Penguatan attitude siswa harus terus dilakukan dalam berbagai program pendidikan di sekolah/madrasah, sehingga pasca proses pembelajaran dapat menampilkan sosok output dengan attitude yang sesuai dengan harapan semua pihak, termasuk harapan yang disematkan perusahaan sebagai lembaga penyerap tenaga kerja.
Dalam konteks pendidikan, standar kelulusan telah mengamanatkan bahwa setiap output sekolah/madrasah harus menggambarkan sebagai sosok yang memiliki kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Karena itu, penguatan sikap, keterampilan, dan pengetahuan menjadi core implementasi pembelajaran yang selama ini dilaksanakan oleh setiap sekolah/madrasah. Dengan demikian, pelaksanaan pembelajaran jangan sampai terlalu berat pada capaian kompetensi pengetahuan semata—seperti yang selama ini disinyalir terjadi pada beberapa sekolah/madrasah.
Bagaimana penguatan kompetensi atittude, sandaran pelaksanaannya termuat pada Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). Dalam regulasi tersebut diungkapkan secara tersurat bahwa PPK adalah gerakan pendidikan di bawah tanggung jawab satuan pendidikan untuk memperkuat karakter peserta didik melalui harmonisasi olah hati, olah rasa, olah pikir, dan olah raga dengan pelibatan dan kerja sama antara satuan pendidikan, keluarga, dan masyarakat sebagai bagian dari Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM).
Dalam Visi pendidikan Indonesia tersurat pula bahwa proses pendidikan mengarah pada mewujudkan Indonesia maju yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian melalui terciptanya Pelajar Pancasila yang bernalar kritis, kreatif, mandiri, beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia, bergotong royong, dan berkebhinekaan global. Visi tersebut begitu sarat dengan muatan attitude yang harus dicapai oleh setiap output sekolah/madrasah.
Dengan demikian, dalam situasi yang kurang menguntungkan seperti saat ini—pelaksanaan pembelajaran harus dilakukan dari rumah dengan pola PJJ—penguatan attitude harus tetap menjadi perhatian semua pihak. Langkah yang perlu dilakukan adalah membangun komunikasi di antara tripusat pendidikan—sekolah, keluarga, dan masyarakat—untuk bersama-sama bertanggung jawab atas tampilan attitude setiap siswa.
Alhasil, dalam situasi ini sekolah/madrasah harus menjadi inisiator keterbangunan attitude siswa dengan mengajak dan bergandengan tangan bersama keluarga/orang tua siswa dan masyarakat. **** Disdikkbb-DasARSS.
Sebagaimana para ahli menyatakan bahwa PJJ berimbas kepada hilangnya pengalaman belajar.
Pengalaman belajar dalam hal ini bukan saja tentang materi pelajaran, tetapi juga bagaimana pengalaman berhubungan dengan antar teman dan guru sebagai pihak yang dituakan. Sehingga dalam komentar di medsos, sering terjadi anak muda mencaci lawan bicaranya yang nota bene adalah orang yang lebih tua.
Dimasyarakat seharusnya karang taruna ikut juga andil bagaimana agar anggotanya memiliki sikap yang baik.
Mohon maaf bila ada salah kata.