Reportase : N. Mimin Rukmini
Libur pulang kampung merupakan tradisi yang tak bisa dikatakan basa-basi. Seperti hal nya sekarang, libur akhir semester ganjil belum terasa afdol bila tidak bertemu sanak saudara, oleh karena itu bagaimanapun kesempatan kala liburan, tetap memburu kampung halaman. Ibarat liburan ke tempat wisata, mengunjungi sanak saudara serasa piknik, relaks sedikit, me-refresh pikiran setelah sekian lama bergelut dengan pekerjaan. Perjalanan pulang kampung, tak lengkap andai tak makan di perjalanan. Bagaimana tidak, enam jam batas normal menempuh perjalanan, setidaknya memerlukan satu kali makan. Otomatis kita mampir di rumah makan langganan atau kesukaan
Antara Garut-Bungbulang, ada satu rumah makan, namanya rumah makan Hikmah yang biasa kami singgahi. Lokasinya strategis di puncak Tanjakan Halimun. Jadi tak salah lagi jika setiap saat banyak pengunjung yang sedang dalam perjalanan, istirahat, shalat, atau makan. Pernah dua atau tiga kali sampai di rumah makan tersebut pukul 24.00 tengah malam, ternyata masih saja ada dua, tiga mobil yang istirahat. Baru pukul 04.00 atau ba’da subuh, kembali ramai mobil angkutan umum, yang akan ke kota. Kami pun meneruskan kembali perjalanan ke kampung halaman. Jarak tempuh kurang lebih tinggal satu koma lima jam lagi.
Selain makanan berat, di rumah makan ini, tersedia pula makanan kudapan dan makanan oleh- oleh khas Garut, seperti dodol, kolontong, opak, dan lain-lain. Keistimewaan rumah makan dan sekaligus tempat istirahat ini adalah rumah makan kejujuran. Betapa tidak, yang biasa kita lakukan di tempat makan, antri ambil makanan langsung bayar di kasir, baru kemudian makan. Di rumah makan ini lain. Antri mengambil makanan, langsung makan, membayarnya nanti kalau mau kembali melanjutkan perjalanan. Dahsyat, bukan? Ala kampung dahulu, masih saling percaya antar penjual dan pembeli.
Sebelum makan, kita disuguhi air teh tawar panas, pelepas dahaga. Suguhan khas Kesundaan karakter diri yang belum terlupakan. Boleh jadi, bukan rumah makan itu saja yang masih menyediakan teh tawar secara gratis, melainkan pula masih banyak rumah makan atau resto atau sejenisnya yang secara gratis menyediakan air teh tawar, hal karakter yang patut diberi acungan jempol. Selanjutnya, tentang kejujuran. Dari sekian jumlah pengunjung, bisa jadi karena pembeli lupa, akhirnya makanan atau jajanan tidak terbayar semua. Atau sorotan negatifnya, bisa saja ada yang sengaja tidak membayar makanan. Seperti yang pernah saya alami, lupa tidak membayar satu jenis makanan, baru dibayar satu tahun kemudian. Sungguh luar biasa!
Menemui saudara di kampung, di zaman digital sekarang akan semakin jarang, dan karena memang peluang bebas dari tugas semakin sempit. Anggota keluarga sibuk dengan tugas masing-masing, baik tugas belajar, maupun tugas pekerjaan. Namun, kita juga tidak perlu berkecil hati karena semakin canggihnya teknologi informasi, hanya dengan HP android bisa langsung melihat wajah dan berbincang dengan saudara. Ups, maaf, kecuali bagi saudara di kampung yang masih sulit signal, tak akan bisa berbincang lewat android.
Zaman boleh berubah, Abad 21, Revolusi Industri 4.0, kita sambut dengan terbuka, tetapi karakter tetap tak boleh tergoyahkan. Kejujuran, tanggung jawab, dan siraturahmi tetap menjadi pengikat karakter diri. Menghubungi saudara boleh melalui android, namun jika ada waktu, mengapa tidak kopi darat atau langsung memburu kampung halaman. Silaturahmi, banyak pelajaran kontekstual yang akan dialami, kejujuran, tanggung jawab, kasih sayang, dan budi pekerti ada di dalamnya. Semoga!