Andri Rahmansah
(SMPN 3 Ngamprah)
Beberapa waktu lalu, warganet dihebohkan oleh ujaran wakil rakyat yang meminta petinggi kejaksaan dilengserkan setelah menggunakan salah satu bahasa daerah dalam sebuah rapat. Era digital seperti dewasa ini semakin menggulirkan arus informasi begitu deras. Dengan cepat video tersebut beredar di masyarakat. Sontak hal itu menjadi viral mengingat sudah masuk pada wilayah suku bangsa tertentu yang sebetulnya harus kita jaga. Bhineka tunggal ika merupakan pengejawantahan sikap toleransi yang kita bangun bersama dan berkseninambungan. Seperti kita ketahui bahwa suku, agama, dan ras menjadi hal yang sangat sensitif. Karena itu, ketiganya harus dijunjung tinggi dan dihormati oleh setiap individu kapan pun dan di mana pun.
Penggunaan bahasa daerah tertentu dalam sebuah situasi komunikasi tertentu merupakan hal yang diangap wajar. Dalam ilmu linguistik atau ilmu yang mengkaji bahasa, situasi seperti itu bisa dikategorikan sebagai campur kode atau alih kode. Ada banyak tujuan seseorang menggunakan cara seperti itu. Misalnya, penutur ingin lebih mengakrabkan diri, bisa juga ingin menyampaikan pesan yang tidak atau belum ditemukan terjemahannya dalam bahasa Indonesia, dan sebaginya. Sebagai contoh, Anda yang memiliki garis keturunan Sunda dan sangat interest memancing tentu sudah tidak asing lagi dengan clom giriwil keunyeud. Istilah itu digunakan saat melemparkan umpan dan langsung disambar oleh ikan. Selidik punya selidik, ternyata istilah itu tidak memiliki terjemahan yang pas dalam bahasa Indonesia. Pada kondisi seperti itu penutur lebih senang menggunakan istilah tadi daripada memakasakan diri dengan menggunakan terjemahan bahasa Indonesia yang kurang sreg. Namun demikian, istilah tersebut memiliki padanan yang pas dalam bahasa Inggris, yaitu strike. Itulah secuil keunikan bahasa daerah. Keunikan tersebut semestinya semakin memperkaya khazanah wawasan kita sehingga bisa menjadi stock knowledge yang berharga.
Lantas mengapa ujaran itu mengusik suku daerah tertentu? Barangkali ujaran itu diduga memenuhi unsur harm potential, yaitu berpotensi menyakiti. Ujaran itu pun tentu saja bukan hanya mengusik penutur asli daerah itu tetapi juga setiap orang yang memiliki garis keturunan suku tersebut. Hal itu terbukti dari ragam aksi yang meminta ybs segera meminta maaf atas ucapan yang telah dilakukannya. Meme nyinyir hingga sarkasme yang ditujukan kepada ybs mulai bergeliat di dumay. Baliho besar yang berisi tulisan ybs merupakan musuh suku tersebut terpampang di beberapa kawasan tertentu. Di dunia nyata tak kalah hebohnya. Aksi sekelompok orang yang mengeluarkan ilmu kebal terhadap senjata tajam pun membuat bulu kuduk merinding. Terlihat orang yang sedang beraksi tak terkena luka sedikit pun walau anggota tubuhnya disayat oleh parang. Begitulah kira-kita reaksi sekolompok orang setelah wilayah garis keturunan yang mereka miliki terusik.
Kegaduhan terjadi karena ybs enggan meminta maaf. Setelah mendapat tekanan dari berbagai pihak, ybs meminta maaf. Sejatinya mengakui bahkan menyadari kesalahan serta meminta maaf memang akhlak mulia. Karena itu, kita tak bisa menemukannya secara sembarang. Ada satu hal yang menggelitik, yaitu ybs memberikan saran agar dalam rapat tidak menggunakan bahasa daerah tertentu, tetapi ybs juga melafalkan kata ujug-ujug. Bukankah kata tersebut merupakan kata asli daerah tersebut? Oleh karena itu, ketika suku, agama, dan ras dijadikan topik pembicaraan, penutur harus memahami norma yang berlaku sehingga pembicaraannya selalu on the trak dan naudzubillah min dzalik tidak “keseo lidah.” Bila “keseo lidah,” maka penutur harus siap dengan risiko yang akan menghampirinya. Tentu itu bukan bagian takdir, melainkan sebuah pilihan. Berbeda halnya dengan usia kronologis saat manusia dilahirkan. Seseorang dilahirkan di Bandung, Cimahi, atau di penjuru negara lain itulah bagian takdir yang telah ditetapkan untuk dirinya. Kita tak pernah meminta jadi orang dengan garis keturunan tertentu. Lain halnya dengan perilaku seorang guru yang berjuang memenuhi target kurikulum dengan rajin masuk kelas atau mangkir tanpa alasan yang tak bisa dipertanggungjawabkan. Itulah yang sering kita kenal dengan sebutan pilihan. Karena itu, kita memang hidup di antara takdir dan pilihan.
Tidak menjadikan ketiga hal tersebut sebagai bahan candaan juga termasuk salah satu cara agar “selamat.” Maklum kita sering dengar lidah tak bertulang. Saking lunaknya sadar atau tidak, kadang lisan kita menjadi loss. Sementara itu, dalam kearifan lokal budaya Sunda dikenal ngaragap angeun sorangan. Istilah itu mengingatkan kita agar selalu mempertimbangkan segala sesuatu itu secara matang. Konsep yang mengedepankan bagaimana bila menimpa diri sendiri itu semoga bisa terpatri dalam diri. Jika mengatakan X, kira-kira kita sendiri enak atau tidak mendengarnya; nyaman atau tidak; sopan atau tidak, dan sebagainya. Di media sosial kita sering mendengar thinking before posting. Kita selalu diajari agar mempertimbangakan postingan yang akan disebarkan dari segi baik buruknya, bermanfaat atau tidak, dan atau membuat gaduh atau menentramkan orang yang membacanya. Media sosial memang seperti pisau bermata dua. Itu semua kembali pada si pengguna.
Kita bisa menjadikan peristiwa itu sebagai pelajaran. Orang sering mengatakan ambil hikmahnya. Hikmah sendiri memiliki beragam makna. Makna hikmah yang penulis temukan adalah sebagai berikut.
Ilmu yang diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Ilmu yang semakin mendekatkan diri kepada Allah
Kemampuan untuk memahami rahasia-rahasia yang terkandung dalam ajaran islam.
(Amiruddin, 2018: 45)
Selain itu, pendidikan karakter yang sempat digembar-gemborkan atau yang kini digulirkan profil pelajar panasila, misalnya, bisa menjadi pintu masuk untuk memahat karakter peserta didik. Sebagai pendidik, kita pun bisa membingkai pesan penting dari kejadian tersebut dengan menyematkan saat giat tatap muka. Karakter ternyata bukan hanya hafalan semata, tetapi juga bisa diambil dari realita. Realita ini tentu bisa diakses oleh semua orang, termasuk siswa mengingat dewasa ini hampir semua orang memiliki handphone pintar.
Senada dengan hal tersebut, dalam kurikulum kondisi khusus, tepatnya dalam mapel bahasa Indonesia kelas IX terdapat KD mengidentifikasi informasi berupa kritik, sanggahan, atau pujian dari teks tanggapan (lingkungan hidup, kondisi sosial, dan/atau keragaman budaya, dll) yang didengar dan/atau dibaca. Barangkali peristiwa tersebut bisa dikemas sebagai materi ajar yang cukup menarik karena up to date. Dengan begitu, diharapkan pembelajaran bisa bermakna.
Seperti kita ketahui, sirkulasi informasi yang sangat cepat membuat kejadian seperti itu tersimpan rapi di beragam platform media sosial. Salah satunya adalah youtube. Tentu kejadian itu menjadi bagian jejak digital. Di sinilah peran kita agar selalu mengingatkan diri sendiri dan orang lain tentang pentingnya “mengamankan” jejak digital. Kita pernah mendengar atau bahkan mengucapkan jejak digital itu kejam, Jendral.
Hal lain yang bersifat penting, urgent, dan mendesak yang bisa kita lakukan adalah berdo’a. Berdo’a itu senjatanya orang beriman. Selain wujud cinta kepada Sang Pencipta, berdo’a menjadi kebutuhan setiap insan. Oleh karena itu, hendaknya kita senantiasa berdo’a agar Allah Swt. selalu membimbing lisan kita sehingga menghasilkan tutur kata yang baik. Aamiin Yaa Robbal’alamiin.
Ketika mulai mengingat juga mengenal asal usul diri, peran yang harus diambil, kepada siapa harus mengabdi, termasuk meyakini bahwa suatu saat hidup akan berakhir, maka sejatinya kita telah mengaplikasikan nilai-nilai kearifan lokal yang orang tua kita wariskan, yakni purwadaksi.
Referensi: Amiruddin, Aam. 2018. Al Qur’an Tajwid Warna Al Mu’asir. Bandung: CV. Khazanah Intelektual.
Profil Penulis: Andri Rahmansah berprofesi sebagai guru di SMPN 3 Ngamprah sejak 1 Januari 2011
Kita harus menghargai Bahasa,Suku,Adat di daerah tertentu karena Negara kita berlandaskan Bhineka Tunggal Ika (meskipun kita berbeda-beda tetapi tetap satu tujuan)