Ema Damayanti, M.Pd
(SMPN 2 Cililin)
Menelusuri filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara memang selalu menarik. Salah satu contoh konsep Ki Hajar tentang “menghamba kepada anak” tentunya juga menjadi sebuah perenungan yang tidak jarang mendapat penolakan dari orang yang baru mendengarkan tentang konsep tersebut.
Misalnya seperti pernyataan berikut, “Rasanya tidak masuk akal jika seorang guru harus menghamba pada seorang anak. Apakah guru akan memberikan kebebasan pada anak berbuat sekendaknya?, apakah ketika siswa berbuat keburukan, berprilaku tidak sopan kita biarkan saja?”
Menghamba pada anak dimaknai sebagai rasa penghargaan guru terhadap siswa sebagai manusia yang memiliki kodrat bawaan dari sang pencipta dan juga terlahir dari zaman yang dinamis. Siswa bisa merasa, berpikir, berkreasi sesuai dengan bakat dan minatnya. Tapi, juga berhak memiliki kebahagiaan dari proses belajarnya, bukan rasa terpenjara ketika mengikuti pembelajaran atau ketika mendapatkan didikan.
Memberi kebebasan, kemerdekaan pada anak dalam proses pendidikan bukan berarti bebas tanpa tuntunan. Akan tetapi, guru memerdekakan anak dari segala pilihan hidupnya sesuai potensi yang dimilikinya bukan atas kehendak guru menjadi manusia seperti dalam gambaran ideal guru dan orangtua.
Dengan demikian, tugas guru bukan membentuk siswa tapi menuntun. Guru menjadi fasilitator untuk memunculkan dan mengembangkan segala potensi yang dimiliki siswa yang pastinya memiliki banyak perbedaan pada setiap siswa atau istilah Howard Garder memiliki perbedaan gaya belajar. Tugas guru hanya memberikan teladan (Ing ngarso song tulodo), memberikan semangat dalam proses siswa belajar (Ing madyo mangun karso) dan memberikan dorongan untuk siswa agar menemukan potensi dirinya ( Tut Wuri Handayani)
Akan tetapi, kenyataannya ketika guru berhadapan lansung dengan siswa, konsep pemikiran KHD pun sering mendapatkan beberapa tantangan. Contohnya dalam kurikulum pendidikan di Indonesia saat ini, ada 12 Mata Pelajaran yang haris dikuasai siswa. Secara logika, tidak mungkin bagi siswa akan menyukai semua mapel tersebut, apalagi dengan gaya mengajar guru yang statis. Timbul pertanyaan, “Bagaimana memberikan kemerdekaan belajar, sementara siswa harus mempelajari mapel yang tidak disukainya?”
Hal yang memungkinkan bisa dilakukan guru adalah merencanakan pembelajaran yang bisa menarik minat siswa. Siswa saat ini adalah siswa yang hidup dengan handphone, games, idola K-Pop, anime, tiktok dll. Guru tidak bisa “Menutup mata” dengan hal itu. Oleh karena itu, penulis mencoba melakukan perencanaan pembelajaran yang berupaya memunculkan potensi siswa tersebut.
Pada pembelajaran teks Eksposisi, guru mengawali pembelajaran daring dengan meminta siswa menuliskan konsep teks eksposisi dengan beragam cara yang bisa mereka pilih. Siswa boleh mengirimkan catatan manual berupa tulisan tangan yang menarik, bisa dalam bentuk infografis menggunakan aplikasi, atau berupa video yang diupload di youtube atau pun menggunakan media tiktok.
Hasilnya luar biasa, dalam waktu singkat siswa mampu membuat video dan juga tiktok yang menarik terkait teks eksposisi tersebut. Guru hanya memberikan masukan agar tulisan yang dimunculkan diberi waktu lebih lama agar bisa dibaca dengan detil.
Hasil video yang dibuat siswa tersebut bisa dievaluasi oleh guru untuk mengukur pemahaman mereka terhadap konsep teks eksposisi dan guru dapat memberikan penguatan.
Penulis mendapatkan pengalaman bahwa hasil karya siswa tidak lepas dari Korean Wave atau Hallyu, latar musik video dan foto-foto yang dipakai siswa dalam membuat video teks Eksposisi hampir semua menggunakan lagu BTS.
Oleh karena itu, di dalam merencanakan pembelajaran kedepan dalam teks Eksposisi, guru akan memberikan contoh esai (Tulisan teks eksposisi) terkait Hallyu tersebut yaitu tulisan Heri Nurdiansyah, guru SMP Al Irsyad Padalarang Bandung Barat yang dimuat di Surat Kabar Harian, Pikiran Rakyat 27 Oktober 2021 yang berjudul, “Gelombang Korea dan Sumpah Pemuda” Hal tersebut bertujuan agar teks yang dibicarakan lebih menarik perhatian siswa sehingga mereka tertarik membaca.
Teringat dengan pernyataan KHD bahwa anak didik harus diajarkan tentang wawasan kebangsaan sejak dini, agar mereka tetap “berpijak” pada budaya bangsa. terkait hal itu, penulis tidak akan melakukan penolakan terhadap kesukaan anak didik terhadap BTS.
Akan tetapi, pendidik akan mencoba mengarahkan kesukaan mereka ke arah yang positif yaitu mengikuti semangat Korea dalam mempublikasikan budaya mereka supaya dikenal dunia. Harapannya, di akhir pembelajaran siswa dapat menuliskan atau memberikan ide mereka dalam bentuk teks eksposisi tentang tema membumikan budaya Indonesia ala BTS.
Profol Penulis:
Ema Damayanti, M. Pd. Merupakan Guru SMP Negeri 2 Cililin. Saat ini tinggal di Warung awi Cililin. Pernah menulis beberapa buku antologi dan 2 buku tunggal yang berjudul, “Embun di Atas Daun Teh” dan “Jangan Lagi ditelan Paus” Penulis juga merupakan salah satu Koordinator TMBB (Tantangsn Membaca Bandung Barat) di SR4.