Oleh: Nining Suryaningsih
(Guru Perintis SMPN 2 Padalarang)
Kembali, aku menjadi guru pembimbing Tantang Baca. Kali ini bukan untuk tingkat propinsi, namun kabupaten. Ya, sejak WJLRC (West Java Leader’s Reading Challenge) berakhir di tahun 2017, Kabupaten Bandung Barat dengan sigap melanjutkannya. Walau tak seheboh pelaksanaan di propinsi yang melibatkan 1300 SD dan SMP, program Tantang Baca di Kabupaten Bandung Barat yang diberi nama TMBB atau Tantangan Membaca Bandung Barat ini diikuti cukup banyak sekolah. Selain belasan sekolah yang pernah menjadi peserta WJLRC, TMBB pertama ini diramaikan oleh puluhan sekolah lain yang berani mengawali. Namanya mengawali, pasti tak seperti sekolah yang sudah menjalankan untuk kedua atau ketiga kali.
Siswa bimbinganku kali ini adalah mereka yang pernah menjadi peserta WJLRC tahun sebelumnya. Hal ini menjadi tantangan tersendiri. Sebagai pembimbing, tentu saja aku tak ingin kehilangan gairah mereka hanya gara-gara aku tidak kreatif dalam membimbing dan mengarahkan mereka mencapai target membaca minimal empat belas buku dalam tujuh bulan. Memang, tidak seperti di WJLRC yang menargetkan peserta membaca minimal dua puluh buku dalam sepuluh bulan, TMBB ‘hanya’ diadakan selama tujuh bulan, sejak Februari hingga Agustus 2018.
Kegiatan presentasi adalah kegiatan favoritku setiap kali aku didaulat menjadi pembimbing. Bukan hanya aku suka melihat mereka merangkai kata dengan sikap malu atau ragu saat presentasi, namun isi bacaan yang mereka sampaikan dalam sebuah kesimpulanmenarik minatku untuk mengenal lebih auh tema-tema favorit bacaan ABG (Anak Baru Gede) itu. Aku pun mencoba menyeimbangkan diri dengan ikut membaca dan mereview buku-buku konsumsi remaja. Tema cinta sering mendominasi pilihan cerita. Dan sebagai seorang emak yang memiliki putri seusia mereka aku pun mulai sering berdiskusi dengan si bungsu tentang tema-tema novel remaja.
Setelah ditunjuki buku-buku koleksinya, putriku itu sering mengajakku mendiskusikan isinya. Terang saja aku kelabakan. Harap maklum, selain mengajar di enam kelas aku juga masih tercatat sebagai editor naskah buku guru yang diterbitkan sebuah penerbitan indie. Jadi ceritanya aku tuh merasa sok sibuk gitu hingga buju yang kujanjikan akan kutamatkan dalam seminggu bisa molor hingga dua atau tiga minggu. Jangan tanya bagaimana reaksi Aghnia, putriku.
Seiring berjalannya waktu, aku mulai menyukai kegiatan membaca novel remaja. Hal ini semakin menguat setelah suatu ketika aku mengedit sebuah novel yang ditulis seorang guru di Karawang Jawa Barat. Walau judulnya diambil dari nama tokoh cerita aku yakin itu adalah cerita dan pengalaman pengarangnya. Sejak itu aku sering menikmati mengedit novel dengan keuntungan kudapatkan, aku bisa menyelesaikan ‘pekerjaan’ di penerbitan dan aku bisa berpartisipasi dalam membuat review bacaan sebagai kewajiban guru pembimgbing, dan mempresentasikannya juga sebagai bagian dari tanggung jawabku memberi contoh presentasi yang baik dan benar saat sesi presentasi di kelompok.
Dari cerita-cerita yang diangkat saat presentasi aku jadi merasa ABG kembali. Cerita-cerita yang para siswa presentasikan sering mengundang debat tak berkesudahan, setelah kami merasa ‘baper’ atau terbawa perasaan. Apa pasal? Karena kami larut dalam diskusi dan tanya jawab pasca presentasi, mempertanyakan tidak hanya isi tetapi juga bagaimana bila itu terjadi pada kami. Tuh kan …? Gimana gurunya gak lupa kalau usia sudah empat puluh tiga? Hahaha ….
Nah, ‘diskusi’ tentang tema dari buku itu ternyata berefek pada sikap mereka yang jadi lebih terbuka menyampaikan segala rasa (alah …). Lama kelamaan, sesi presentasi menjadi ajang curhat alias curahan hati. Apalagi kalau bukan tentang cinta tak bertepi atau terkadang bertepuk sebelah tangan yang mereka alami? Ah, mengapa aku jadi baper meneruskan tulisan ini? Hihihi ….