Oleh: Adhyatnika Geusan Ulun
“…‘Habis Gelap Terbitlah Terang’ bukan hanya sekedar retorika belaka, tetapi lebih kepada spirit optimisme yang dibangun Kartini untuk semua anak bangsa. Ungkapan ini mengandung makna yang mendalam. Kartini yang merupakan cucu dari seorang kyai mengingatkan setiap anak bangsa bahwa kebodohan hanya akan dibebaskan dengan ilmu. Hal ini sesuai dengan sabda Baginda Rasul SAW yang menegaskan bahwa’ Ilmu adalah Cahaya, dan Bodoh adalah Kegelapan’…”
Pejuang Emansipasi Wanita
Sudah menjadi tradisi di Indonesia, setiap 21 April diperingati sebagai Hari Kartini. Momen tersebut dirayakan oleh seluruh lapisan masyarakat negeri ini dengan aneka pernak-pernik budaya. Mulai dari jenjang pendidikan usia dini hingga tingkat tinggi, bahkan sebagian besar perkantoran pemerintah dan swasta menggunakan atribut dan busana kedaerahan. Sungguh hal positif yang seharusnya terus berlangsung. Karena bangsa besar adalah yang menghargai jasa para pahlawannya. Tidak banyak yang mengetahui kiprah Ibu Kartini dalam memperjuangkan pendidikan di Indonesia secara utuh. Sebagian generasi bangsa ini ‘hanya’ mengenal tokoh ini sebagai pejuang emansipasi kaumnya saja. Tidak jarang di antara mereka sering membandingkan dengan sepak terjang para pejuang wanita yang lebih dahsyat dibandingkan Kartini. Hal ini dikarenakan persepsi sebagian menganggap bahwa pejuang adalah identik dengan mengangkat senjata dan bertempur melawan kolonialisme.
Situasi di atas sebenarnya pernah terjadi pada awal pergerakan kebangsaan Indonesia di permulaan abad 20. Tidak sedikit di antara generasi sebelumnya ‘mengerdilkan’ peran Kartini sebagai simbol perjuangan bangsa. Hal ini bukan tanpa alasan. Umumnya terjebak dalam paradigma bahwa wilayah peran Kartini hanya sebatas Rembang dan Jepara saja. Dan hal ini diperkuat karena belum ditemukannya bukti otentik yang mengungkapkan pemikiran Kartini sebagai pejuang kebangsaan. Selain itu kumpulan pucuk suratnya kental di tataran konseptual yang sulit diterjamahkan ke dalam dunia pergerakan saat itu.
Ibu Nasionalisme
Dewasa ini, saat kemajuan sain berkembang pesat, termasuk ketika buah pemikiran Kartini berhasil diterjemahkan dan bukan hanya sekedar tafsiran, menjadi bukti kuat bahwa ide tokoh ini membuatnya layak ditempatkan sebagai Ibu Nasionalisme sejati.
Kumpulan surat Kartini “Door Duisternis Tot Licht “ yang di-translate menjadi ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’ yang diterbitkan pada tahun 1911 di Belanda, mengungkapkan kedahsyatan ide Kartini tentang pendidikan Bumi Putera. Karya monumental inilah yang mendorong Perhimpunan Indonesia (PI) di Belanda menggelar diskusi di tahun yang sama untuk membahas sejumlah konsep kebangsaan Kartini. Bahkan, Notosoeroto, tokoh PI, memberi judul pidatonya dengan “Buah Pikiran Raden Ajeng Kartini sebagai Pedoman Perhimpunan Hindia”. Dia menyebutkan bahwa nasionalisme Kartini sebagai bukan nasionalisme yang sempit, bukan peniruan unsur asing dengan sikap memandang rendah diri sendiri, melainkan membangun terus di atas dasar sendiri yang baik, menuju cita-cita manusia yang lazim. (Harry A. Poeze, 2008).
Hal tersebut menunjukan betapa besarnya pengaruh pemikiran Kartini yang berjuang untuk menegakan emansipasi di bumi pertiwi. Tidaklah berlebihan jika Siti Soemandiri dalam bagian penutup ‘Kartini Sebuah Biografi (1979) menyebutkan bahwa ‘Kartini menduduki tempat khusus dalam Sejarah Indonesia Modern sebagai Ibu Nasionalisme.”
Adalah menarik saat tulisan Kartini kepada Nellie van Kol pada 1901 yang mengungkapkan bahwa terdapat dua tujuannya, yakni turut memajukan bangsa dan merintis jalan bagi kaum perempuan menuju keadaan yang lebih baik, yang sepadan dengan martabat manusia. Ini pun sebagai bukti bahwa konsep tentang kebangsaan Kartini jauh dari praduga selama ini yang mengisyaratkan bahwa perjuangan hanya sebatas kaumnya saja.
Hal tersebut pun pernah diungkapkan Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo melalui tulisannya di surat kabar De Expres milik Douwes Dekker, menunjukkan bahwa emansipasi Kartini bukan hanya untuk kaum perempuan. Dr. Tjipto mengungkapkan bahwa setiap surat Kartini selalu menyatakan kerinduan untuk melihat rakyatnya bangkit dari keadaan tidur pulas yang telah beratus-ratus tahun mencekam mereka.
Begitu mengispirasinya ide Kartini, sehingga membuat Dr. Tjipto mendirikan RA. Kartini Club, sebuah kelompok diskusi pada 1912, yang melahirkan tokoh Dr. Soetomo. Begitupun dengan Douwes Dekker yang menjadikan kumpulan naskah Kartini ke dalam ideologi partainya sebagai “Sinar terang yang melawan kegelapan, peradaban yang melawan tirani, dan budak koloni yang membayar pajak melawan kerajaan penjajah pemungut pajak”. Meskipun hal ini harus dibayar mahal dengan dibredel korannya oleh pemerintah karena dianggap terlalu radikal, dan harus menerima sangsi diasingkan ke Belanda.
RA. Kartini club, sebagaimana tokoh yang diusungnya, berusia singkat, diramu kembali oleh mereka sekembalinya dari Belanda bersama Sukarno, Abdoel Moeis, Ishaq Tjokrohadisoerjo, dan Anwari di Bandung pada 1925. Kelompok diskusi ini mengambil nama baru Algemene Studie Club, menjadi salah satu embrio gerakan anti-kolonialisme di Indonesia.
Optimisme Kartini
Sekelumit kisah di atas, sejatinya harus merubah persepsi generasi saat ini. Sesungguhnya ketokohan Kartini dan perjuangan dalam membangunkan bangsa yang ‘pulas tidur’ini terus berlaku hingga sekarang. Pemikirannya yang jauh menembus batas sejarah peradaban manusia, menunjukan betapa seorang pahlawan tidak selamanya harus mengangkat senjata dan berperang.
Dalam kontek sekarang, idenya tentang kesetaraan dalam memperoleh hak pendidikan, sesunggunya menjadi spirit “education for all’ di zaman modern ini. Pilar pendidikan UNESCO tentang ‘Learnig to know, Leaning to do, Learning to be, dan Learning to live together, telah dibahas dalam surat-surat Kartini yang mengungkapkan bahwa tujuan utama pendidikan adalah bukan hanya sekedar transfer ilmu saja, tetapi lebih kepada tranformasi nilai yang menjadi landasan pendidikan karakter di era sekarang.
Oleh Karena itu, ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’ bukan hanya sekedar retorika belaka, tetapi lebih kepada spirit optimisme yang dibangun Kartini untuk semua anak bangsa. Ungkapan ini mengandung makna yang mendalam. Kartini yang merupakan cucu dari seorang kyai mengingatkan setiap anak bangsa bahwa kebodohan hanya akan dibebaskan dengan ilmu. Hal ini sesuai dengan sabda Baginda Rasul SAW yang menegaskan bahwa Ilmu adalah Cahaya, dan Bodoh adalah Kegelapan.
Menarik saat mengupas tentang keberadaan ‘Gelap’dan ‘Terang’ yang dimaknai sebagai istilah subjektif yang digunakan untuk mendeskripsikan saat mengukur foton atau partikel dasar cahaya secara visual. Tetapi eksistensi ke duanya memang ada, digunakan sebagai pembanding antara dua keadaan yang kontradiktif. Hal ini menjadi salah satu bukti kuat keluasan daya nalar Kartini dalam membandingkan keadaan manusia saat dijajah kebodohan dengan situasi saat berada dalam alam kemerdekaan berpikir. Sehingga dapat dimaknai bahwa ‘Gelap’ gulitanya pemikiran manusia adalah saat jauh dari ilmu, sedangkan benderangnya cahaya pemikiran adalah saat dekat dengan ilmu. Saat ‘Gelap’ menghilang, dipastikan ‘Terang’ datang. Itulah optimisme yang dibangkitkan Kartini kepada bangsanya.
Spirit Kartini
Pemikiran Kartini sesungguhnya terus berlaku hingga sekarang. Dalam keadaan apapun. ‘Gelap’nya keadaan saat ini harus diyakini akan berganti ‘Terang’, jika optimisme terus dibangun dalam diri. Tentu keyakinan ini telah ada di setiap insan beragama. Tetapi optimisme sering sulit dimaknai sebagai salah satu bentuk ikhtiar nyata. Sikap inilah yang harusnya digelorakan setiap orang beriman.
Optimisme semakna dengan istilah sabar dalam keyakinan agama. Sabar bukan dimaknai sebagai sesuatu yang pasif. Tetapi harus diartikan satu respon positif dalam menyikapi satu keadaan. Oleh karenanya, setiap individu harus terus berusaha untuk meyakinkan diri agar terus berbaik sangka terhadap setiap kepastian Tuhan, dengan tetap berikhtiar memperbaiki diri dan berbuat hal yang bermanfaat.
Akhirnya, dalam masa swakarantina akibat musibah Corona yang ‘merusak’ sendi-sendi kehidupan saat ini, semangat Hari Kartini harus menjadi spirit ekstra bagi setiap anak bangsa untuk tidak pernah takut akan keadaan ‘Gelap’, karena ‘Terang’ akan kembali terbit, dengan terus membangun semangat optimisme. Semoga sikap inilah yang akan menjadi energi dalam menatap masa depan dengan usaha dan karya nyata yang jauh lebih baik.***
Sumber Bacaan: tirto.id – Sosial Budaya, Wikipedia, dan sumber lainnya.
Profil Penulis:
Adhyatnika Geusan Ulun, lahir 6 Agustus 1971 di Bandung. Tinggal di Kota Cimahi. Guru Bahasa Inggris di SMPN 1 Cipongkor Bandung Barat sejak 1999. Pengurus MGMP Bahasa Inggris Kab. Bandung Barat. Alumnus West Java Teacher Program di Adelaide South Australia, 2013. Penulis buku anak, remaja dan dakwah. Editor NEWSROOM, tim peliput berita Dinas Pendidikan Bandung Barat. Jurnalis GUNEMAN Majalah Pendidikan Prov. Jawa Barat. Pengisi acara KULTUM Studio East Radio 88.1 FM Bandung. Redaktur Buletin Dakwah Qolbun Salim Cimahi. Kontributor berbagai Media Masa Dakwah. Sering menjadi juri di even-even keagamaan. Adhyatnika.gu@gmail.com., Ig.@adhyatnika geusan ulun.