Oleh: Euis Lesmini Djuanda
(Kepala SMP Negeri 5 Gununghalu)
Memutuskan untuk menjadi kepala sekolah, tentu bukan keputusan yang bisa diambil secara instan dalam waktu semalam. Berbagai pertimbangan baik secara profesional maupun pribadi tentu menjadi bagian yang tidak terpisahkan sebelum memantapkan pilihan untuk menjadi kepala sekolah.
Pada umumnya, para calon kepala sekolah berangkat dari guru guru yang sudah cukup lama berkecimpung dan aktif sebagai pembantu kepala sekolah (PKS). Sebagian dari para PKS ini sudah berpengalaman dalam menjalankan tugasnya sebagai PKS Kurikulum, Kesiswaan, Sarana Prasarana maupun Hubungan Masyarakat. Perjalanan dan dinamika tugas tugas ini menjadi aset yang sangat membantu pada saat guru tersebut menduduki perannya sebagai kepala sekolah. Tentu saja, didukung juga oleh kompetensi lainnya, yakni: kompetensi profesional, pedagogik, sosial dan kepribadian juga manajerial. Dalam mempersiapkan para kepala sekolah baru ini pun, diberikan diklat setara 320 Jam Pelajaran untuk bekal kelak saat bertugas.
Pengalaman saat menjadi PKS, Diklat, dan berbagai informasi yang diperoleh oleh kepala sekolah baru, ternyata tidak serta merta membuat perjalan tugas ini menjadi mulus dan mudah. Awal awal kepemimpinan, kepala sekolah dianalogikan seperti diberi panggung kosong yang harus diisi, dipersiapkan dan diyakinkan bahwa susunan dan keberlangsungan acara dipanggung berjalan sesuai rencana. Disinilah, ternyata, the show has just begun. Dimulailah persiapan itu dengan membangun chemistry dengan guru, staf, komite sekolah dan stakeholder lain yang baru kita temui. Dihadapkanlah dengan pembinaan guru dan staf dengan tingkat kompetensi, loyalitas dan kedisiplinan yang beragam. Mempelajari dan menganalisa kultur sekolah yang harus terus dijaga atau yang perlu disesuaikan. Dan tentu, masih banyak hal non- teknis lain, misalnya jarak dan waktu tempuh yang harus dijalani untuk menuju sekolah. Sehingga, tidak jarang para kepala sekolah baru ini terpaksa mengambil peran ‘doktor’ (mondok di kantor).
Tantangan ini, ternyata menjadi dinamika yang harus dilalui sehingga memperkaya pengalaman dan kepercayaan diri seorang kepala sekolah baru. Namun, membangun rasa percaya diri ini ternyata perlu didukung oleh faktor faktor lain.
Mendez (2021) dalam artikelnya Smart Growth for New School Leaders, menemukan empat strategi yang dapat membantu para kepala sekolah baru saat mengemban tugas barunya.
1. TEMAN YANG KRITIS
Sebuah pepatah Afrika menyatakan, “Jika Anda ingin cepat, pergi sendiri; tetapi jika Anda ingin pergi jauh, pergilah bersama. “Teman yang kritis” – adalah teman yang dapat memberikan nasihat yang baik yang mampu melihat dari sudut pandang yang berbeda dan objektif. Komunikasi yang baik dengan teman/kolega seperti ini dapat mendukung kita dengan memberi umpan balik yang jelas dan penuh perhatian. Seorang teman yang kritis sangat mengetahui potensi kita dan ingin melihat kita maju dan sukses. Selain itu, seorang teman yang kritis memberi kita bimbingan dan petunjuk sebelum kita bertindak atas dasar pemikiran kita atau mengambil keputusan. Teman seperti ini, tidak harus selalu mengatakan setuju dengan semua yang kita katakan atau pikirkan; sebaliknya, mereka memberi dukungan penuh yang bijaksana yang dibutuhkan untuk memilih jalan kita sendiri dan percaya diri dengan keputusan yang kita ambil.
2. JADILAH FIGUR YANG REFLEKTIF
Kita perlu tahu ke mana kita untuk memahami kemana tujuan. Siapa pun yang baru menduduki posisi kepemimpinan tidak akan langsung paham cara memimpin secara dalam waktu singkat— ini adalah rangkaian/proses pembelajaran — dan kita bisa jadi akan membuat kesalahan dalam menjalankan proses tersebut. Luangkan waktu untuk merenungkan proses yang sedang dijalani, terutama pada situasi dimana kita harus mengambil keputusan yang rumit; Berlatihlah tidak tergesa gesa agar punya waktu untuk merefleksikan situasi sehingga tidak mengambil keputusan tanpa pertimbangan yang matang.
Membuat jurnal/catatan penting untuk mencatat peristiwa dan situasi penting yang akan membantu mengetahui dan mengikuti perasaan kita, yang berujung pada sebuah solusi. Kemampuan ini datang seiring dengan waktu, latihan, dan refleksi berkelanjutan.
3. KETIKA MENGHADAPI KEGAGALAN
Ketika kita menerima kegagalan secara legowo, ternyata kegagalan dapat membawa kita menuju pemahaman tentang potensi diri yang kita miliki. Gagal untuk maju berarti kita sedang belajar dari kesalahan kita — walaupun sikap ini biasanya sulit untuk dilakukan oleh orang orang yang bersifat perfeksionis. Seringkali, kita merasa down saat kita terkalahkan oleh hal hal yang remeh, atau mati matian agar bisa sukses memimpin seperti kepala sekolah lain. Padahal, selayaknya kita meyakinkan diri sendiri akan sebuah prinsip dalam hidup: “Saya adalah saya, dan tidak ada yang bisa mengubahnya.”Artinya, setiap kepala sekolah memiliki kekhasan dan cara, juga seni yang mungkin berbeda antara satu dan lainnya. Refleksi ini memungkinkan kita juga untuk mengembangkan mentalitas agar tidak membuang waktu untuk memikirkan hal hal yang tidak perlu.
4. DENGARKAN KATA HATI
Sebagai seorang pemimpin, tanggung jawab kita adalah mendukung dan memimpin upaya yang akan menghasilkan prestasi siswa; namun, kita juga harus fokus pada membangun dan memperkuat komunikasi. Belajar mengandalkan naluri kita. Jika ada sesuatu yang aneh, coba cari tahu alasannya. Mendengarkan hati dan mempercayai naluri telah memungkinkan kita untuk memahami, mendukung, dan terhubung tidak hanya dengan siswa tetapi juga dengan seluruh warga sekolah.
Menjadi pemimpin pendidikan memiliki banyak tantangan, dan belajar mengetahui kemana arah perjuangan adalah bagian penting dari proses tersebut. Merefleksikan pekerjaan kita hari ini serta hasil dari keputusan kita juga merupakan inti dari proses tersebut. Dan meskipun kegagalan itu sendiri kadang mengecewakan, tetapi menafakuri apa itu kegagalan akan menjadi hal yang penting. Terakhir, percayalah pada naluri Anda untuk menunjukkan arah jalan yang akan ditempuh.***
Sangat luar biasa