NGAMPRAH-DISDIK-(30/9/18) Dunia Pendidikan Kabupaten Bandung Barat telah memiliki empat sekolah dengan status SPK (Satuan Pendidikan Kerjasama). Awalnya sekolah SPK ini berlabel sekolah Internasional. Namun, seiring dengan berubahnya dinamika dunia kependidikan di tanah air, label Internasional tidak boleh lagi disematkan pada sekolah di Indonesia dan harus berubah dengan istilah SPK. Yayasan atau lembaga yang ingin mendirikan SPK harus memiliki modal sekolah berkurikulum nasional dan terakreditasi A. Akreditasi A merupakan bukti bahwa sekolah telah memenuhi delapan standar sekolah sesuai Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Lembaga pendidikan dari luar negeri yang akan diajak bekerjasama pun harus berakreditasi A atau selevel dari negaranya.
Bandung Alliance Intercultural School (BAIS) adalah salah satu SPK di Kabupaten Bandung Barat yang berlokasi di Kota Baru Parahyangan. Saat ini, BAIS menjalin kerjasama dengan NICS (Network of International Christian Schools) Amerika Serikat, sebuah lembaga swadaya masyarakat di Amerika Serikat. BAIS terakreditasi oleh ACSI (Association of Christian School International) dan Western Association of Schools and Colleges (WASC).
“Sesuai Permendikbud Nomor 31 tahun 2014 Satuan Pendidikan Kerjasama (SPK) sebagai Lembaga Pendidikan Indonesia (LPI) harus mencari mitra kerja dengan satuan pendidikan yang sama dari luar negeri atau Lembaga Pendidikan Asing (LPA) yang terakreditasi atau diakui di negaranya” demikian diungkapkan Tiara C. Gusman, salah seorang staf Kemdikbud yang melakukan kunjungan ke BAIS dalam rangka melihat pola kerjasama yang dilakukan BAIS dan NICS pada Kamis, (27/9/18).
Kunjungan tersebut dilakukan selain untuk mengetahui pola kerjasama yang dilakukan BAIS dan NICS juga melihat sejauh mana kesiapan BAIS dalam menghadapi rencana akreditasi yang akan dilaksanakan pada akhir tahun 2018 ini.
“Ada beberapa instrumen pengukuran yang diminta terhadap sekolah, mulai dari wawancara, pengisian cheklist kuisioner, pengecekan fisik dokumen dan virtual dokumen berupa soft copy sebagai syarat kelengkapan untuk proses akreditasi” ungkap Tiara.
Terkait dengan siswa, terutama siswa asing yang mengikuti pembelajaran pada SPK ini, seluruhnya harus memenuhi berbagai regulasi yang berlaku. Seluruh siswa harus memiliki kelengkapan administrasi, di antaranya KITAS dan Izin Belajar.
“Kami berharap selain KITAS (Kartu Ijin Tinggal Terbatas), para siswa WNA juga harus memiliki Izin Belajar dari Kemdikbud yang bisa diurus di gedung E kantor Kemdikbud Jakarta” pungkas Tiara.
Selain Tiara, kunjungan juga melibatkan lembaga independen dari akademisi yang diwakili Bilal Dewansyah dari Unpad. Akreditasi merupakan hal yang wajib dilalui oleh setiap institusi pendidikan di Indonesia. Proses ini dilakukan oleh lembaga independen dengan pendanaan bersumber dari APBN yang disalurkan lewat Badan Penelitian dan Pengembangan Kemdikbud.
Senada dengan Tiara, Bilal Dewansyah mengatakan bahwa SPK juga harus memastikan bahwa anak-anak Indonesia yang bersekolah di sana mendapatkan mata pelajaran Pendidikan Agama, PPKN, dan Bahasa Indonesia. Sedangkan siswa dengan latar belakang kewarganegaraan asing harus mendapatkan pendidikan Bahasa dan Budaya Indonesia.
“Pelaksanaan ketiga mata pelajaran tadi merupakan salah satu syarat mutlak untuk mendapatkan akreditasi. Kurikulum yang digunakan adalah kurikulum standar nasional, boleh ditambahkan kurikulum luar negeri setelah mendapatkan izin dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan” kata Bilal
Dalam sesi wawancara oleh tim, dihadirkan dua kepala BAIS masing-masing Jeremy J. Thomas untuk jenjang Sekolah Dasar dan Charity Sianturi untuk jenjang SMP. Selain itu, turut mendampingi kedua pimpinan BAIS tersebut salah seorang staf kependidikan BAIS, Gledia.
“Saat ini kami memiliki 170 orang siswa dari berbagai jenjang dengan berbagai latar belakang kewarganegaraan. Sebagai contoh siswa jenjang SMP, dari 45 orang siswa hanya 18 orang saja yang berkewarganegaraan Indonesia, begitupun tenaga pengajarnya dari 14 orang guru, lebih dari setengahnya merupakan WNA” ujar Gledia.
Sebagaimana diketahui, tenaga pendidik asing yang bekerja di SPK harus sesuai dengan undang-undang ketenagakerjaan. Bisa berkomunikasi dalam bahasa Indonesia, bekerja sesuai latar belakang pendidikannya dan sekurang-kurangnya sudah lima tahun bekerja dalam bidangnya di negaranya. Hal-hal seperti ini menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam hal ini Kemendikbud untuk meloloskan SPK mendapatkan akreditasi.
“Kami juga masih menemukan beberapa kendala terutama komunikasi dengan pihak Dinas Pendidikan Kabupaten Bandung Barat. Mengingat dalam beberapa hal kami harus mengikuti peraturan yang secara teknis tidak relevan dengan format pendidikan kami di SPK” papar Gledia ketika diminta pendapatnya tentang kendala regulasi pendidikan SPK di Kabupaten bandung Barat.-Bud’S