Oleh: Abdul Cholik (Guru IPS SMPN 2 Padalarang)
Kata neraka bagi yang beragama merupakan sesuatu yang menakutkan, karena akan berhubungan dengan pembalasan atas dosa-dosa. Istilah ini identik dengan api. Panas dan menghancurkan adalah bagian dari sifat api. Darinya dosa-dosa akan dipanaskan dan dihancurkan di dalam neraka. Tidak ada yang bisa terlepas dari dosa, kecuali bagi yang memperoleh kata suci.
Dalam bahasa Inggris, panas tersebut ditulis menjadi hot. Sebagai misal hot water diartikan menjadi air panas. Dalam dunia pendidikan dikenal kata HOTS yang terdengar hampir sama dengan kata yang berarti panas tadi. Tetapi makna tersebut sangat berbeda. HOTS di dunia pendidikan merupakan akronim dari Higher Order Thinking Skills, bermakna tatanan yang lebih tinggi dalam keterampilan berpikir.
Dalam buku berjudul Taxonomy of Educational Objectives: The Classsification of Educational Goal (1956) karya Benjamin S. Bloom mulai dikenal istilah HOTS. Dalam taksonomi diurutkan dari tingkat terendah sampai tertinggi. Konsep Bloom inilah inilah yang menjadikan tujuan akhir dari sebuah proses belajar mengajar (PBM). Tentu saja HOTS ini merupakan bagian dari ranah pengetahuan atau kognitif yang muncul dalam Taksonomi Bloom. Tujuannya adalah untuk mengasah keterampilan berpikir di sekitar pengetahuan. Dalam perkembangan terakhir, urutan taksonomi ini adalah: (1) mengingat (remembering), (2) memahami (understanding), (3) mengaplikasikan (applying), (4) menganalisa (analyzing), (5) mengevaluasi (evaluating) dan (6) mencipta (creating).
Tiga bagian pertama merupakan kemampuan berpikir tingkat rendah (LOTS). Di bagian ini, hanya dituntut cukup bisa mengetahui, memahami serta menerapkannya tentang materi atau ilmu yang dipelajarinya. Sedangkan pada tiga bagian terakhir merupakan kemampuan berpikir tingkat tinggi (HOTS), karena dalam bagian ini dituntut keterampilan menganalisa dan mengevaluasi suatu ilmu serta mampu membuat atau menciptakan sesuatu yang berhubungan dengan ilmu yang dipelajarinya.
Dari dulu keenam tingkatan pengetahuan di atas sudah dikenal. Namun dalam proses pelaksanaanya tidak dikenalkan ‘sehebat’ zaman sekarang. Hal ini tidak terlepas dari perkembangan zaman. Di Kurikulum 2013, PBM harus mengandung proses Mengamati, Menanya, Mengumpulkan Informasi, Menalar Dan Mengomunikasikan. Kelima proses ini sangat diharapkan ketercapaian proses keterampilan berpikir yang sangat tinggi.
Dihubungkan dengan proses pembelajaran abad 21, secara sederhana diartikan bahwa proses pembelajaran itu harus menampakan kecakapan seperti; (1) komunikasi (communication), (2) bekerja sama (Collaboration), (3) berpikir kritis (Critical Thinking) dan (4) kreatif (Creative).
Tidaklah salah jika PBM harus mengandung proses yang memberikan latihan kepada yang sedang belajar untuk mengembangkan keterampilan daya berpikir tingkat tinggi. Siswa tidak sekedar dituntut untuk cukup mengetahui dan memahami, tapi mampu menganalisa dan mengevaluasi, serta mencipta. Tiga terakhir inilah HOTS bisa terwujud bila terjadi proses pembelajaran yang menggambarkan kecakapan berkomunikas (bisa adu pikiran, tanya jawab atau menyampaikan pendapat), adanya kerjasama dalam sebuah kelompok (bisa kelompok belajar atau kelompok kelas), melatih berpikir kritis (bisa dengan mengajukan pertanyaan atau membuat catatan tentang sesuatu sesuai dengan ilmu yang didapatnya), dan kreatif dalam membuat sesuatu (baik berupa barang atau gagasan dari ilmu yang telah diperolehnya).
Di sinilah dituntut kreativitas yang lebih dari seorang guru untuk mewujudkan kualitas proses pembelajaran yang sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Keterampilan proses menjadi suatu keharusan dimiliki seorang guru. Sehingga bisa memberikan sesuatu yang bermakna dari hasil belajar. Belajar tidak lagi berpusat pada guru, tetapi siswa harus lebih aktif melakukan proses pembelajaran. Guru berperan tidak lagi sebagai sumber belajar, tetapi sebagai fasilitator berjalannya PBM. Sangat pantas apabila guru harus lebih banyak membaca dan belajar, karena hal ini merupakan tuntutan zaman. Guru tidak lagi cukup menggunakan ‘kecakapan duduk, dengar dan catat’.
Menurut Mulyasa, (2006) ada delapan keterampilan yang harus dimiliki oleh guru untuk menciptakan pembelajaran yang kreatif yaitu, (1) keterampilan bertanya, (2) keterampilan memberikan penguatan, (3) keterampilan mengadakan variasi, (4) keterampilan menjelaskan, (5) keterampilan membuka dan menutup pelajaran, (6) keterampilan membimbing diskusi, (7) keterampilan mengelola kelas, dan (8) keterampilan mengajar kelompok dan perorangan.
Bisa jadi ini merupakan ‘neraka’. Sesuatu yang panas dan membuat tidak nyaman. Bukan karena sebuah dosa, tapi dikarenakan kebiasaan yang sudah sangat lama dilakukan, dan menjadi sebuah kebiasaan. Dengan kebiasaan ini, seolah kita mendapatkan ‘surga’ kesenangan dan kenyamanan dalam bekerja. Tetapi zaman menuntut lain, tuntutan untuk mengoptimalkan semua yang ada pada kita agar terjadi keseimbangan antara pikir, raga dan rasa.Sepertinya semua tuntutan tersebut tidak sepanas ‘api neraka’ karena kita siap untuk mengikuti dan melakukan perubahan sesuai dengan tuntutan itu.
Akhirnya, apakah kita akan tetap dalam zonasi kenyamanan seperti dulu, atau kita mengikuti perubahan, sehingga mendapatkan hasil yang sangat memuaskan?***
Editor: Adhyatnika GU
Profil Penulis
Abdul Cholik, lahir di Bandung 1971. Setelah lulus dari SPGN 1 Cimahi melanjutkan kuliah di IKIP Bandung dan lulus tahun 1996. Dari tahun 1998 mengampu mata pelajaran IPS di SMPN 2 Padalarang. Tulisan yang pernah ditulis mulai dari Latihan Soal Ebtanas (2000), Intisari Materi Ebtanas (2000), Buku Pengetahuan Sejarah (2004), IPS Terpadu (2005), Atlas Sejarah Indonesia (2008), Memahami IPS Kelas 1, 2 dan 3 (2009), IPS Kelas VII (2014), dan Buku Masa Depan Mapel IPS Kelas VII (2018). Aktif dalam kegiatan sosialisasi perubahan kurikulum sejak KBK, KTSP dan KURTILAS, baik tingkat nasional, provinsi dan kabupaten.
Saya siap untuk berubah pa. InsyaAllah.. Walaupun banyak tantanganya dan hambatan, saya mau mengembangkan ke literasi digitalnya pa sebagai salah satu sumber bekajar.