Dadang A. Sapardan
(Kabid Pengembangan Kurikulum, Disdik Kab. Bandung Barat)
Pada beberapa kesempatan luang sering diisi dengan diskusi atau tepatnya obrolan ringan bersama beberapa teman yang memiliki perhatian terhadap perkembangan pendidikan. Diskusi yang berlangsung tidak jarang mengarah pada dimensi tujuan keberlangsungan pendidikan yang diimplementasikan sampai tataran teknis dengan sekolah sebagai ujung tombaknya. Dari obrolan ringan tersebut yang paling mengkhawatirkan adalah pemahaman tentang kiprah yang dilakukan oleh setiap stakeholder pendidikan. Tidak jarang ditemui bahwa para stakeholder pendidikan belum memahami secara komprehensif tentang arah dari kiprah yang dilakukannya pada ranah pendidikan.
Membicarakan pendidikan, seakan tidak akan pernah habis-habisnya. Banyak sekali opini bahkan kajian yang dilontarkan oleh berbagai pihak tentang fenomena pendidikan yang berlangsung di negeri ini. Tidak jarang, mereka mengaitkan potret keberhasilan implementasi kebijakan pendidikan melalui capaian hasil komparasi dengan kebijakan yang diterapkan negara lain. Terkait dengan itu, acuan yang belakang ini dijadikan dasar adalah capaian score Programme for International Student Assessment (PISA) dari siswa Indonesia yang menjadi sampelnya. Score siswa pada PISA sampai sejauh ini belum memperlihatkan hasil yang menggembirakan semua pihak.
PISA yang merupakan program Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Program ini menjadi alat pengukuran kemampuan siswa pada jenjang pendidikan menengah. Selama ini, capaian score PISA telah menjadi indikator yang merefleksikan keberhasilan penerapan kebijakan pendidikan dan menjadi rujukan sebagian besar negara tentang efektifitas dan efisiensi penerapan kebijakan pendidikan pada masing-masing negara. Pengukuran PISA dilakukan sebagai evaluasi terhadap kinerja siswa—sebagai muara dari penerapan berbagai kebijakan dan program pendidikan—pada jenjang pendidikan menengah yang menjadi sampelnya. Evaluasi terutama dilakukan terhadap tiga bidang utama, yaitu matematika, sains, dan literasi. Namun, capaian score PISA untuk siswa Indonesia sejauh ini belum memperlihatkan posisi yang menggembirakan, posisinya selalu berada di peringkat bawah. Capaian score PISA paling akhir, berada pada peringkat ke dua dari bawah.
Dalam kapasitas sebagai pemegang otoritas kebijakan pendidikan, Kemdikbud terus-menerus melakukan berbagai kajian dalam upaya mendorong peningkatan kualitas pendidikan. Berbagai treatment diterapkan guna meningkatkan kompetensi siswa sehingga mereka menjadi output dalam jangka pendekbahkan outcomes dalam jangka panjangyang bisa merepresentasikan keberhasilan penerapan kebijakan dengan salah satu indikatornya adalah capaian score PISA yang menggembirakan.
Dalam penerapan kebijakannya, Kemdikbud telah menetapkan visi pendidikan Indonesia yang harus dicapai pada beberapa waktu mendatang. Dalam visi tersebut tersurat bahwa proses pendidikan mengarah pada mewujudkan Indonesia maju yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian melalui terciptanya Pelajar Pancasila yang bernalar kritis, kreatif, mandiri, beriman, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia, bergotong royong, dan berkebhinekaan global.
Visi tersebutlah yang harus menjadi pegangan seluruh stakeholder pendidikan pada tataran kebijakan dan tataran teknis. Dalam konteks ini, tataran teknis bisa di alamatkan pada sekolah sebagai lembaga yang berhadapan dan bersinggungan dengan siswa. Dengan demikian, berbagai rancangan program harus diimplementasikan dalam upaya mengarahkan pada capaian visi dimaksud. Dalam konteks persekolahan, sebagai lembaga pendidikan formal, secara sistematis dan terstruktur mengimplementasikan berbagai program bimbingan, pengajaran, dan/atau pelatihan untuk setiap siswanya. Implementasi program tersebut dalam upaya membantu para siswa agar mampu mengembangkan kepemilikan potensinya secara optimal sehingga menjadi bekal yang akan bermanfaat dalam kehidupan mereka. Berbagai program dirancang sedemikian rupa oleh sekolah dalam kemasan kegiatan kurikuler—intrakurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler.
Lahirnya visi pendidikan Indonesia merupakan respons atas fenomena kehidupan yang tengah masuk pada era revolusi industri 4.0. Era ini menuntut perubahan pada berbagai dimensi kehidupan manusia, termasuk dimensi pendidikan yang menjadi ranah strategis dan paling depan dalam pengembangan sumber daya manusia. Pendidikan harus mampu menjawab tantangan perubahan yang merupakan konsekwensi revolusi industri 4.0—melalui penerapan kebijakan pendidikan yang prospektif.
Sejalan dengan itu, persekolahan sebagai lembaga teknis penerapan kebijakan pendidikan harus mampu menjawab tantangan era kehidupan ini, sehingga treatment yang diberikan pada siswa mengarah pada upaya yang memiliki linieritas dengan fenomena kehidupan yang terjadi. Refleksi dari lahirnya respons atas fenomena tersebut yang direalisasikan dengan visi pendidikan Indonesia adalah penetapan visi sekolah yang memiliki linieritas dengan visi pendidikan Indonesia. Visi yang disusun sekolah minimal harus menyentuh pada penyiapan masyarakat belajar untuk mampu belajar sepanjang hayat (long life education) yang yang bernalar kritis, kreatif, mandiri, beriman, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia, bergotong royong, dan berkebhinekaan global sebagai refleksi dari tampilan Pelajar Pancasila.
Karena itu, sekolah harus mempu memandang fenomena kehidupan kekinian dan masa depan dengan menerjemahkannya melalui visi sekolah yang memiliki linieritas dengan era revolusi industri 4.0 dan visi pendidikan Indonesia. **** Disdikkbb-DasARSS.