Dadang A. Sapardan
(Kabid Pengembangan Kurikulum, Disdik Kab. Bandung Barat)
Pendahuluan
Gerakan Literasi Nasional (GLN) adalah gerakan pendidikan yang mengarah pada upaya pemberian pemahaman terhadap warga untuk menjadi sosok literat. Sekalipun Gerakan ini didasari oleh lahirnya regulasi dari Kemendikbud, tetapi penggerak keberlangsungan gerakan ini tidak dapat menihilkan peran berbagai pemangku kepentingan. Berbagai pihak—pegiat literasi, akademisi, organisasi profesi, dunia usaha, kementerian/lembaga, serta pihak lainnya—dituntut untuk dapat terlibat secara aktif dalam mengimplementasikan program ini.
Kepemilikan kompetensi literasi oleh seluruh warga harus mendapat perhatian dan dorongan serius. Perhatian atau dorongan yang dapat dilakukan adalah pengemasan program literasi dengan muara untuk memberi pemahaman tentang pentingnya kepemilikan kompetensi literasi dalam menghadapi kehidupan ini. Melalui pengemasan program literasi yang baik, setiap warga dimungkinkan memiliki modal dasar untuk melakukan pengembangan wawasan keilmuan yang akan bermanfaat dalam menyikapi kehidupan mereka. Dengan kata lain, kepemilikan kompetensi literasi menjadi sangat urgent dalam upaya menyiapkan setiap warga agar dapat survive dalam menghadapi kehidupannya.
Literasi digital merupakan salah satu dari keenam kompetensi literasi—selain literasi baca tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi finansial, serta literasi budaya dan kewarganegaraan. Kepemilikan kompetensi literasi digital merupakan tuntutan yang harus dimiliki pada era revolusi industri 4.0. Dengan demikian, akselerasi kepemilikan kompetensi ini harus terus dilakukan oleh berbagai pihak yang memiliki perhatian besar terhadap penyiapan sumber daya manusia masa kini dan masa depan.
Kenyataan memperlihatkan bahwa ruang digital saat ini diserbu banyak konten yang bisa dikonsumsi oleh setiap penggunanya. Konten yang mewarnai ruang digital tersebut sangat heterogen. Tidak hanya konten positif saja yang tampil pada ruang ini, tetapi tidak sedikit pula konten negatif yang bisa ditemukan dengan mudah pada ruang digital. Keberadaan konten negatif tersebut tidak jarang, menyinggung unsur suku, agama, ras, antargolongan, dan privasi individu. Bahkan, berbagai konten berbau berita bohong, ujaran kebencian, radikalisme, perjudian, penipuan, pornogafi, hoax, dan lainnya sangat banyak berseliweran di ruang digital. Bertaburannya konten negatif pada ruang digital tersebut sangat mengkhawatirkan banyak pihak karena dimungkinkan akan manjadi candu yang dapat merusak tatanan ekosistem kehidupan ini.
Keberadaan konten negatif yang mewarnai ruang digital tersebut hanya bisa ditangkal dengan membangun kesadaran akan bahayanya konten tersebut bagi kehidupan individual dan kolektif, terutama bagi keajegan tatanan ekosistem kehidupan yang selama ini telah dibangun. Kesadaran ini perlu digaungkan, di antaranya dengan memanfaatkan berbagai pemangku kepentingan bersama elemen masyarakat lain yang memiliki perhatian besar terhadap pemberian pendidikan terhadap warga masyarakat.
Warga Literat Digital
Sampai saat ini kehidupan manusia sudah berada pada era revolusi industri 4.0 dengan fenomena pemanfaatan teknologi digital yang mampu memobilisasikan entitas pengetahuan secara cepat, murah, dan masiv. Era ini melahirkan fenomena disrupsi pada sebagian besar pranata kehidupan masyarakat. Berbagai pola kehidupan yang selama puluhan tahun begitu mendominasi, secara terpaksa harus tergantikan dengan pemanfaatan teknologi digital sebagai medianya. Era revolusi industri 4.0 melahirkan lompatan besar teknologi dengan adanya symptom pemanfaatan teknologi digital secara masiv dan optimal pada berbagai elemen masyarakat.
Berkenaan dengan hal tersebut, adalah tugas dan tanggung jawab berbagai pihak yang care terhadap keberlangsungan kehidupan ini untuk dapat merespon fenomena era revolusi industri 4.0. Langkah yang harus dilakukan adalah mendorong setiap warga agar menjadi sosok literat digital. Dengan tampilan sosok literat digital, dimungkinkan hingar-bingar dengan berbagai hal yang tidak begitu penting pada ruang digital akan relatif terkurangi.
Literasi merupakan istilah yang merujuk pada seperangkat kemampuan dan keterampilan individu dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung, dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Dari pengertian tersebut, literasi tidak dimaknai secara sempit yang mengarah pada kemampuan reseptif semata, tetapi mengarah pula pada kemampuan produktif. Tampilan kemampuan produktif dapat direalisasikan setelah seseorang melewati tahapan kemampuan reseptif. Untuk sampai pada kondisi demikian, tidak dapat lahir atas inisiatif pribadi semata, tetapi dapat terlahir dari pemberian ruang dan waktu yang sangat luas melalui penerapan berbagai program strategis.
Literasi digital dimaknai sebagai pengetahuan dan kecakapan untuk menggunakan media digital, alat-alat komunikasi, atau jaringan dalam menemukan, mengevaluasi, menggunakan, membuat informasi, dan memanfaatkan secara sehat, bijak, cerdas, cermat, tepat, dan patuh hukum dalam rangka membina komunikasi dan interaksi dalam kehidupan sehari-hari.
Dari paparan di atas dapat ditarik konklusi bahwa literasi digital mengarah pada dua domain. Kedua domain tersebut yaitu kompetensi mengoperasionalkan perangkat digital (tecnological literacy) serta Kompetensi memroses informasi dari perangkat digital secara optimal (information literacy). Kedua domain inilah yang harus menjadi perhatian berbagai pihak terhadap keberlangsungan program literasi digital.
Setiap warga perlu memahami bahwa literasi digital merupakan kompetensi penting yang dituntut untuk dapat berpartisipasi aktif dalam era kehidupan saat ini. Namun, di balik tuntutan tersebut harus pula terbangun kesadarannya bahwa mereka memiliki tanggung jawab terhadap pemanfaatan perangkat digital untuk berinteraksi dalam kehidupan kesehariannya. Dalam upaya memupuk keterbangunan tanggung jawab setiap warga, barangkali pemahaman akan rumusan peta jalan literasi digital 2021-2024 bisa menjadi rujukan. Dalam rumusan peta jalan tersebut secara eksplisit mengungkapkan empat pilar yang harus dibangun pada diri setiap warga, yaitu digital skill, digital ethic, digital safety, dan digital culture.
Sejauh ini, permasalahan yang paling mendominasi dalam ruang digital, terkait dengan kompetensi pemrosesan informasi. Kompetensi ini bila dikaitkan dengan keempat pilar literasi digital, bersinergis dengan digital ethic, digital safety, dan digital culture. Barangkali, langkah cepat yang harus dilakukan adalah mengupayakan program yang memberi pemahaman terhadap pemrosesan informasi. Penerapan langkah ini tentu tidak pula mengesampingkan program pengoperasionan perangkat digital.
Upaya pengimplementasian program guna memberi pemahaman terhadap setiap warga akan kemampuan memproses informasi menjadi pekerjaan rumah bagi berbagai setiap pemangku kepentingan. Dengan penerapan berbagai program secara masiv, dimungkinkan akan dapat mengurangi hingar-bingar pada ruang digital, sehingga energi yang selama ini dicurahkan untuk menyikapinya dapat dialihkan pada berbagai aktivitas lain yang lebih bermakna dan bermanfaat.
Melalui keterbangunan kompetensi literasi digital akan tercipta tatanan kehidupan masyarakat dengan pola pikir dan pandangan yang kritis dan kreatif. Setiap orang tidak akan dengan mudah termakan oleh isu provokatif, menjadi korban informasi hoaks, atau korban penipuan yang berbasis digital. Dengan kompetensi literasi digital, kehidupan sosial dan budaya akan cenderung lebih aman dan kondusif.
Simpulan
Kepemilikan kompetensi literasi digital pada setiap warga harus mendapat perhatian serius sehingga setiap pemangku kepentingan—pegiat literasi, akademisi, organisasi profesi, dunia usaha, kementerian/lembaga, serta pihak lainnya—diharapkan dapat menyusun berbagai program dengan nuansa pengembangan literasi digital. Hal itu perlu dilakukan karena pemahaman warga akan kompetensi literasi digital, terutama kemampuan memproses informasi masih sangat minim.
Saat ini ruang digital dipenuhi dengan berbagai berbagai konten berbau berita bohong, ujaran kebencian, radikalisme, perjudian, penipuan, pornogafi, hoax, dan lainnya. Banyaknya konten negatif pada ruang digital tersebut sangat mengkhawatirkan karena akan manjadi candu yang dapat merusak tatanan ekosistem kehidupan ini.
Dengan demikian, para pemangku kepentingan dituntut untuk melakukan upaya nyata guna mendorong lahirnya kepemilikan kompetensi literasi digital. Melalui keterbangunan kompetensi literasi digital akan tercipta tatanan kehidupan masyarakat dengan pola pikir dan pandangan yang kritis dan kreatif. Setiap warga tidak akan dengan mudah termakan oleh isu provokatif, menjadi korban informasi hoaks, atau korban penipuan yang berbasis digital. ****Disdikkbb-DasARSS.
Informasi ini bagus