Oleh : BUDHI SLAMET SAEPUDIN, S.Sos
(Pelaksana Bidang SMP Dinas Pendidikan KBB)
Tahun 2018 merupakan tahun politik. Pelaksanaan Pilkada serantak untuk memilih bupati dan walikota di 171 daerah telah menaikan tensi perpolitikan di tanah air. Tensi semakin meningkat manakala penetapan calon presiden dan calon wakil presiden telah ditetapkan oleh KPU. Tahun politik ini akan terus bergulir hingga tahun 2019 di mana kita akan melaksanakan pesta demokrasi terbesar di Indonesia yaitu Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden. Kalau tidak ada aral melintang, Rabu 17 April 2019 secara serentak Pemilu akan digelar di seluruh wilayah Indonesia.
Menurut data Komisi Pemilihan Umum (KPU), ada 187 juta pemilih yang telah masuk Daftar Pemilihan Tetap (DPT) untuk Pemilu 2019 mendatang. Selain itu, ada 14 partai politik yang sudah ditetapkan sebagai peserta Pemilu yang akan bertarung memenangkan hati rakyat. Di Jawa Barat sendiri tercatat sebanyak 32,6 juta penduduk yang sudah masuk DPT, 16,4 juta jiwa merupakan pemilih laki-laki dan 16,2 juta merupakan pemilih perempuan. Mereka akan dilayani oleh 137.401 TPS yang tersebar di seluruh wilayah Jawa Barat. Untuk Bandung Barat sendiri, mengacu pada DPT Pilkada 2018 kemarin, terdaftar 1,1 juta DPT dan diperkirakan naik 2% di Pemilu 2019 mendatang.
Di tahun politik ini, kehidupan sosial masyarakat diwarnai hiruk pikuk kampanye dan sosialisasi berbagai macam program kepartaian. Serial debat di televisi dan semarak pemasangan spanduk serta baliho memenuhi setiap sudut jalan. Bukan hanya di dunia nyata, perang opini pun telah lama gencar terjadi di dunia maya. Analogi cebong dan kampret merupakan sebuah fenomena perang opini yang muncul saat kedua kubu capres dan cawapres mengerucut ke dua bakal calon yang berseteru. Pusaran tahun politik ini benar-benar menguras energi dan perhatian kita selaku ASN.
Lantas, bagaimana kita selaku ASN menyikapi pusaran tahun politik ini? Merujuk UU No. 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan PP No. 53 Tahun 2010 tentang disiplin PNS dengan jelas menggariskan netralitas ASN dalam berpolitik guna mewujudkan Aparatur Sipil Negara yang memiliki integritas, profesional, netral dan bebas intervensi politik, bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta mampu memberikan pelayanan publik bagi masyarakat dan menjadi perekat persatuan dan kesatuan bangsa. Bagaimanapun juga, suara ASN yang mencapai 4,37 jt jiwa (Data BPS 2017) belum termasuk para pensiunan, tetap menjadi kue lezat yang menjadi rebutan bagi berbagai partai politik serta capres dan cawapres.
Sejarah menunjukan bagaimana politik pernah mengeksploitasi dengan intens suara PNS sebagai lumbung suara partainya. Masa-masa kelam itu kini sudah berlalu, sekarang saatnya ASN menjadi kaum yang mampu berfikir jernih dalam menentukan pilihan hati nuraninya, memberi warna kepada lingkungannya dan penyejuk dalam setiap ucapan, serta menjadi perekat persatuan dan kesatuan bangsa. Bukan saatnya kita berdebat kusir dan masih terkungkung hegemoni sektarian, kesukuan, kekerabatan, dan hal-hal yang memandulkan demokrasi di negeri ini.
Secara pribadi, setiap ASN sejatinya tetap memiliki hak untuk memilih caleg dan capres/cawapres yang dikehendakinya. Netralitas hanyalah menyentuh perilaku, tindakan, dan statement kita di depan publik. Dalam level masyarakat Indonesia, ASN memiliki tempat tersendiri dan dipandang sebagai kaum intelektual, penggerak mesin pemerintahan di negeri ini, dan menjadi panutan serta runutan bagi masyarakat kebanyakan. Seorang ASN, tentu secara regulasi terikat aturan dan haruslah bersikap netral dalam menyikapi semua ini. Tulisan ini tidak menyoal kita harus memilih nomor berapa atau pasangan capres/cawapres yang mana, tetapi berusaha menyamakan persepsi bahwa caleg atau pasangan capres/cawapres yang kita pilih hendaklah benar-benar orang pilihan yang diyakini bisa mewakili keinginan dan harapan kita, bertanggung jawab, mengemban amanat rakyat, dan menepati janji atas semua program yang pernah dikampanyekan.
Marilah kita renungkan sejenak esensi kita selaku masyarakat dalam Pemilu nanti. Kita akan mendelegasikan seluruh keinginan dan harapan hidup kita kepada para caleg dan capres/cawapres yang akan kita pilih. Selalu ada harapan dan perubahan baru ketika kita menyongsong waktu pencoblosan. Di bilik suara semua ada di tangan kita, di sini kita berdaulat atas hak suara kita, tak ada intervensi dan tidak ada tekanan, yang ada hanya “Aku dan pilihanku”. Kurang dari lima menit waktu kita memberikan suara, tetapi memberi perubahan dan arah kehidupan bangsa untuk lima tahun ke depan. Marilah kita memilih secara jernih sesuai hati nurani kita, demi masa depan negeri ini yang lebih baik, sekarang dan selamanya.
Mantap! Memilih secara jernih, agar bangsa berkelanjutan dalam kancah kepribadian yang literat, moderat! Trimakasih Kang! Keren, informatif dan inspiratif!
hatur nuhun bu