Dadang A. Sapardan
(Kabid Pengembangan Kurikulum, Disdik Kab. Bandung Barat)
Beberapa waktu yang lalu berkesempatan untuk menyampaikan materi pada webinar Gerakan Literasi Digital yang diselenggarakan Kemenkominfo. Dalam webinar tersebut, materi yang disampaikan terkait dengan ethic digital. Pada TOR yang disampaikan panitia, ethic digital merupakan salah satu dari empat pilar literasi digital yang dikampanyekan oleh Kemenkominfo. Karena itu, untuk mengisi salah satu materi pada webinar tersebut bahasan yang disampaikan terkait dengan penggunaan bahasa dalam ruang digital. Penggunaan bahasa santun dalam ruang digital sangat penting diperhatikan oleh masyarakat sebagai bagian dalam mewarnai ruang digital.
Kehidupan sudah menapaki era revolusi industri 4.0 dengan fenomena kehidupan yang didominasi pemanfaatan perangkat digital dengan memanfaatkan berbagai aplikasi media sosial. Dengan fenomena tersebut, masyarakat telah diberi kemudahan dalam mengarungi kehidupan karena keberadaan teknologi digital telah mampu memobilisasikan entitas pengetahuan secara cepat, murah, dan masiv.
Masivnya masyarakat dalam memanfaatkan perangkat teknologi digital melalui jaringan media sosial dapat mengarah pada dua sisi yang kontradiktif. Perhubungan melalui media sosial telah memberi kemudahan untuk dapat berkomunikasi dan berbagi informasi dengan pihak lain. Sejalan dengan kemudahan yang diperoleh, ternyata pemanfaatan media sosial mengandung pula resiko masuknya fenomena negatif. Berbagai konten negatif yang berbau ujaran kebencian, fitnah, radikalisme, perjudian, penipuan, pornogafi, hoax, dan lainnya dengan sangat mudah tersebar pada berbagai media sosial—instagram, whatapps, twitter, facebook, dan media sosial lainnya.
Untuk menyikapi menyeruaknya fenomena negatif tersebut, pemerintah melalui Kemendikbud dan Kemenkominfo menerbitkan regulasi yang memberi panduan terkait pemanfaatan perangkat digital oleh masyarakat. Kemdikbud telah menetapkan regulasi Gerakan Literasi Nasional (GLN). Melalui regulasinya, menjadikan literasi digital menjadi kompetensi yang harus dimiliki oleh masyarakat karena literasi digital merupakan kompetensi yang linier dengan kebutuhan kehidupan masa kini dan masa depan. Demikian pula dengan Kemenkominfo telah mengeluarkan kebijakan tentang peta jalan literasi digital 2021-2024. Peta jalan tersebut mengungkapkan secara eksplisit tentang empat pilar yang harus dibangun, yaitu digital skill, digital ethic, digital safety, dan digital culture. Kedua regulasi tersebut, salah satunya mengarah pada upaya untuk memberi pencerahan dan pemahaman kepada masyarakat agar menjadi sosok yang dapat memanfaatkan media sosial secara sehat.
Kenyataan memperlihatkan bahwa cukup banyak kasus yang menyeruak akibat pemanfaatan media sosial. Berbagai kasus tersebut di antaranya terkait dengan penggunaan bahasa yang disebar melalui ruang media sosial. Kasus-kasus tersebut tidak jarang harus berdampak pada pemberian sanksi sosial dan sanksi hukum terhadap pelakunya. Untuk membuktikan bahwa konten yang diunggahnya bersinggungan dengan ranah hukum, para ahli bahasa diminta untuk melakukan analisis. Mereka dituntut untuk melakukan analisis secara komprehensif dan elaboratif guna melihat sejauh mana bahasa yang digunakan mengandung muatan yang mengakibatkan ketersinggungan pada orang lain. Ilmu penganalisisan terhadap penggunaan bahasa—baik bahasa lisan maupun tulis—dari mereka yang terjerat hukum adalah linguistik forensik.
Saat ini, linguistik forensik menjadi ilmu yang cukup menantang karena setiap orang yang terjun pada bidang ini dituntut untuk memiliki kemampuan lingusitik yang komprehensif dengan didukung kemampuan elaboratif yang tinggi terhadap fenomena penggunaan bahasa lisan atau tulis. Hal itu dimungkinkan karena linguistik forensik saat ini bersinggungan dengan keputusan pada ranah hukum yang harus diambil dengan seobyektif mungkin.
Sejalan dengan banyaknya kasus yang memaksa pelakunya untuk berurusan dengan hukum, upaya yang dilakukan oleh setiap pengguna media sosial adalah mengedepankan kehati-hatian dalam menggunggah berbagai konten. Ungkapan bijak yang sering disampaikan adalah saring sebelum sharing. Untuk melakukan penyaringan ini, langkah yang harus dilakukan—terutama oleh pemroduksi konten pada media sosial—adalah mengkaji bahasa penyampaian yang digunakan.
Akan halnya dengan penggunaan bahasa dalam media sosial, baik bahasa lisan maupun bahasa tulis adalah memperhatikan bahasa yang baik dan benar. Pemanfaatan bahasa yang baik dan benar ini merefleksikan kesantunan dalam berekspresi bahasa. Bahasa yang baik adalah ketepatan pengguna bahasa dalam melakukan pemilihan ragam bahasa yang sesuai dengan kebutuhan komunikasi dari penuturnya. Beberapa ragam bahasa yang dapat digunakan sesuai konteks di antaranya bahasa beku, bahasa resmi, bahasa konsultatif, bahasa santai, dan bahasa akrab. Dalam ranah media sosial yang sering digunakan adalah salah satu di antara ketiga ragam bahasa konsultatif, bahasa santai, dan bahasa akrab. Sedangkan bahasa yang benar adalah penggunaan bahasa oleh penutur yang sesuai dengan kaidah kebahasaan yang berlaku. Beberapa kaidah kebahasaan yang merefleksikan penggunaan bahasa yang benar adalah tata bahasa, tata bunyi, kata-kata baku, ejaan resmi, dan kalimat efektif.
Alhasil, guna menyikapi kebebasan berekspresi—tulis dan lisan—dalam media sosial, langkah yang harus dilakukan oleh setiap penggunanya adalah mengedepankan kesantunan dalam berbahasa. Kesantunan berbahasa ini lebih ditekankan kepada setiap orang yang memproduksi konten pada media sosial. ****Disdikkbb-DasARSS.
privilegio sec