Oleh: Andri Rahmansah, S. Pd.
Berbahasa bukan hanya meluncurkan kata-kata, melainkan juga melakukan tindakan sesuatu. Ini sering kita kenal dengan spech act. Dengan bahasa, manusia bisa mengungkapkan pikiran dan perasaannya. Misalnya, di pasar kita sering mendengar, “Yang jauh mendekat, yang dekat merapat” atau kita (dengan beragam usia) sering disapa Kakak saat jelajah mata di sebuah tempat perbelanjaan. “Ayo, Kakak. Boleh liat-liat dulu, Kakak.” Ujaran seperti itu menunjukkan bahwa dengan berbahasa, seseorang sedang melakukan sesuatu. Pada kondisi seperti itu, penutur sedang membujuk orang lain melakukan sesuatu.
Sekaitan dengan hal itu, sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa berdiri sendiri dalam mengarungi kehidupannya. Mau tidak mau; suka tidak suka, pasti manusia akan selalu beriringan dengan manusia lainnya. Karena itu, berbahasa pun menjadi alat aktualisasi diri. Seperti yang kita ketahui, kadang di beranda medsos tertulis alhamdulillah, baik SW (baca: Status WA), story IG, maupun facebook. Tentu yang paling mengetahui caption tersebut hanya yang bersangkutan dengan Tuhannya.
Penggunaan bahasa sangat beragam. Hal itu bergantung pada kepentingan, hubungan atau relasi antarpenutur, situasi dan kondisi saat bahasa itu digunakan. Meskipun esensi komunikasi adalah keterpahaman isi pesan, berbahasa tidak bisa lepas dari nilai rasa. Misalnya, kata mantan lebih berterima daripada bekas. Kita sering mendengar atau melafalkan mantan presiden, atau mantan bupati. Bahkan, saking banyak kenangannya, kata itu dijadikan sebagai sebuah lagu, yaitu “Mantan Terindah.” Barangkali tak ada satupun yang terancam wajahnya ketika mendengar kata-kata tersebut. Boleh jadi pula kata tersebut merupakan wujud penghormatan kepada seseroang. Mari kita tengok kalimat berikut! Mantan Presiden RI kesatu berkata, “Satukan kata dengan perbuatan.” Namun demikian, karena bahasa terikat konteks, ada hal tabu yang tidak boleh diucapkan bila dipadankan dengan kata mantan. Misalnya, mantan anak dan mantan guru. Hal itu harus menjadi atensi bersama mengingat tidak ada bekas anak dan juga tentu tidak ada bekas guru. Itu artinya sampai kapan pun anak itu menjadi tidak ada bekasnya. Hal tersebut terbukti dengan salah satu riwayat yang mengatakan bahwa salah satu amal yang takkan terputus adalah anak soleh yang selalu mendo’akan kedua orang tuanya. Hal yang mengembirakan dalam riwayat itu adalah tidak disebutkan harus selalu anak kandung. Dengan demikian, anak didik pun bisa menjadi wasilah datangnya do’a yang meluncur dari lisannya, semoga! Berbahagialah bapak/ibu yang berprofesi sebagai guru karena salah satu pintu surga ada di depan mata, insya allah. Kondisi yang tak jauh berbeda adalah mantan guru. Sejatinya tak ada mantan guru. Dalam salah satu percakapan berbahasa Sunda pernah terdengar, “Itu urut guru urang.” Selain tak enak didengar, rasanya ada yang keliru dalam penggunaan kata tersebut. Barangkali penutur bermaksud mengatakan itu guru SD/SMP/SMA saya.
Senada dengan hal tersebut, kita pasti merasa risih bila mendengar kata anjing berseliweran apalagi jika terjadi di lingkungan pendidikan. Sepertinya meluncur dengan deras tanpa batas. Ketika refleks, lansung meluncur kata tersebut. Lantas, bolehkah kita mengucapkan kata anjing? Tentu jawabanya adalah bergantung pada rujukan dan konteksnya. Jika merujuk pada binatang berkaki empat dan sering mengonggong, maka memang sepantasnya kita menyebut binatang tersebut dengan anjing. Namun, secara deskriptif, kata anjing bisa berubah makna menjadi ‘cacian, sapaan akrab, dan wujud exited.’ Itu semua bergantung pada konteks dan tentu kedekatan emosional di antara penutur dan mitra tutur. Misalnya, di sebuah terminal atau bahkan di lingkungan pendidikan pun, kadang terdengar kata anjing. Pada kondisi seperti itu kata anjing berubah makna menjadi ‘sapaan akrab.’ Di antara mereka tak ada yang tersinggung atau bahkan marah karena memang mereka memiliki kedekatan emosional yang erat atau bahasa sederhananya mereka sudah akrab. Anda yang tidak memiliki kedekatan emosional seperti itu jangan pernah sekali-kali menggunakan kata tersebut sebagai sapaan akrab. Selain akan mengancam wajah (baca: mempermalukan mereka), juga akan mengancam keselamatan Anda sendiri. Karena itu, sebelum berkata, berpikirlah terlebih dahulu; saring before sharing.
Mengingat bahasa memiliki dua sisi, yaitu deskriptif (penggunaan bahasa yang secara alamiah terjadi di lingkungan tertentu) dan preskriptif (penggunaan bahasa yang benar sesuai kaidah bahasa), maka kita juga harus menyadari bahwa kata anjing hanya bisa digunakan jika merujuk pada binatang mengingat dunia pendidikan harus mewujudkan insan yang berakhlakul karimah. Salah satu indikatornya adalah terlihat dari aspek berbahasa. Sekaitan dengan akhlak mulia, dalam pendidikan agama diajarkan qaulan ma`rufa. Secara bahasa arti ma’rufa adalah baik dan diterima oleh nilai-nilai yang berlaku di masyarakat (Shihab, 2000:125). Ucapan yang baik adalah ucapan yang diterima sebagai sesuatu yang baik dalam pandangan masyarakat lingkungan penutur. Karena itu, salah satu indikator qaulan ma’rufa adalah menentramkan jiwa, meneduhkan hati, dan tidak membuat orang lain kehilangan muka atau dalam bahasa Sunda sering terdengar tiis ceuli heurang panon. Jika bermaksud bercanda, pastikan sesuai konteks, di antara penutur dan mitra tutur memiliki stock knowledge yang sama, dan yang paling utama adalah Anda memiliki kedekatan emosional yang erat juga rekat.
Senada dengan hal tersebut, dalam salah satu riwayat, Nabi Muhammad SAW pernah mengatakan bahwa muslim yang baik adalah muslim yang mampu menjaga lisan dan tangannya dari keburukan. Ini isyarat bahwa jauh-jauh hari Nabi sudah mengingatkan umatnya agar selalu bisa menjaga lisan dan tangan. Hal itu masih sangat relevan dengan keadaan saat ini. Seperti kita ketahui tidak sedikit orang celaka karena lisannya. Pejabat publik hingga publik figur pun pernah terseret kasus hukum yang berawal dari lisan. Pepatah mengatakan mulutmu harimaumu. Ini menjadi alarm bahwa kadang dari lisan meluncur beragam hal, dari basa-basi hingga caci-maki hingga masuk ke wilayah privasi. Tak jarang dengan dalih canda, seseorang masuk pada wilyah privasi orang lain hingga terancam kehilangan muka (malu). Sejatinya tak semua yang diketahui mesti diungkapkan. Setiap individu punya wilayah privasi yang mesti dihargai. Kecanggihan teknologi pun mendorong kita berkomentar dengan menggunakan jari-jemari walau dalam keadaan berbeda jarak, ruang, dan waktu. Karena itu, semoga jari-jemari ini bisa selalu terbimbing dalam kebaikan.
Dalam situasi yang berbeda, saat mati lampu, misalnya, kita sering mendengar atau bahkan mengucapkan kata aliran. Sekilas tak ada masalah dengan penggunaan kata tersebut mengingat pada umumnya kata itu sering meluncur secara refleks saat kondisi demikian. Selain itu, masyarakat Indonesia yang cenderung permisif semakin menguatkan penggunaan kata aliran saat keadaan mati lampu. Mari kita telisik secara semantik!
Kata aliran bermakna ‘sesuatu yang mengalir (tentang hawa, air, listrik), sungai kecil; selokan, saluran untuk benda cair mengalir (seperti pipa air), haluan (KBBI, 2008: 41). Berdasarkan hal tersebut, pengunaan kata aliran saat terjadi mati lampu, ternyata sudah jauh dari makna yang melekat pada kata itu atau sudah bertolak belakang. Justru dengan mengatakan aliran seharusnya bukan mati lampu, melainkan dalam keadaan menyala karena ada arus yang mengalir, yaitu arus listrik. Dengan demikian, mati lampu bukan aliran!
Kondisi yang tak jauh berbeda terjadi dalam konteks pembelajaran di dalam kelas. Kita sering mendengar atau mengucapkan check list ketika melakukan penilaian. “Silakan chek list,” ujar seorang guru. Dalam Bahasa Inggris, check list bermakna ‘lihat daftar atau daftar periksa.’ Jadi, check list hanya berupa daftar yang harus diperiksa bisa berupa informasi verbal dan nonverbal. Dalam situasi lain, kata list bisa digabung dengan black sehingga menjadi black list yang bermakna ‘daftar hitam.’ Pada situasi pembelaran seperti itu, sebetulnya siswa bukan hanya diperintah untuk melihat jumlah yang benar, tetapi juga harus menuliskan jumlah jawaban yang benar dari setiap pembahasan yang telah dilakukan. Jika hal itu yang dimaksud, maka dalam bahasa Indonesia ada kata centang. Centang adalah tanda koreksi seperti huruf v atau tanda cawang (KBBI, 2008: 260). Oleh karena, mari kita centang! Namun, bagi penutur yang bahasa ibunya adalah bahasa Sunda, kata itu merupakan kata yang “menggelitik.” Tak sedikit yang langsung menertawakannya. Bahasa pertama tampak begitu meresap sehingga menjadi cadangan pengetahuan yang dimilikinya. Secara alamiah, mereka langsung ingin menjitak kepala temannya sembari bercanda. Ya, begitulah bila bahasa ibu yang mereka dapatkan adalah bahasa Sunda. Itulah sepercik dinamika berbahasa. Berbahasa pun bisa menggiring manusia menuju keselamatan, baik di dunia maupun di akhirat, semoga!
Aamiin Yaa Robbal’alamiin.
Referensi:
- Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat. Jakarta; Gramedia
- Shihab, Quraisy. 2000. Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al Qur’an. Jakarta: Lentera Hati.
Profil Penulis: Andri Rahmansah berprofesi sebagai guru di SMPN 3 Ngamprah sejak 1 Januari 2011.