Oleh: Sri Sunarti, S.Pd., M.Pd.
(SMPN 1 Sindangkerta)
Kesadaran akan penerapan disiplin masih berdasarkan motivasi ekstrinsik, di mana pembiasaan positif yang diterapkan bukan disiplin positif, namun masih menganut reward dan punishment. Komunikasi yang dibangun masih satu arah, peran atau kontrol guru belum sampai pada tahap manajer melainkan sebagai hakim bagi murid.
Bagaimana mendisiplinkan peserta didik bermula dari kesadaran, dan menumbuhkan motivasi intrinsik? Kemudian, bagaimana disiplin dan budaya poisitif yang sudah ada dan menonjol dapat tumbuh dan berkembang menjadi karakter semua warga sekolah, dan bagaimana budaya positif di sekolah yang harus dikembangkan guru untuk mewujudkan karakter atau Profil Pelajar Pancasila? Salah satu penerapan disiplin positif, yaitu dengan adanya kesepakatan kelas, dan budaya positif bisa dibangun melalui Gerakan Literasi Sekolah (GLS).
Dalam mewujudkan visi sekolah, erat kaitannya bagaimana seluruh pemangku kepentingan dalam hal ini seluruh warga sekolah bersinergi saling menguatkan dan menumbuhkan karakter positif melalui pembiasaan-pembiasaan positif. Bagaimana menumbuhkan budaya positif di kelas, sehingga menjadi budaya positif di sekolah dan menjadi visi sekolah.
Strategi yang dapat dilakukan untuk menerapkan disiplin positif di sekolah, yaitu dengan disusunnya kesepakatan kelas, dan strategi yang dapat dilakukan untuk menumbuhkembangkan budaya positif di sekolah dengan memanfaatkan sumber yang dimiliki, di antaranya mengaktifkan kegiatan literasi sekolah, sehingga akan berpengaruh pada pola dan kebiasaan dalam belajar.
Dalam dunia pendidikan, membaca merupakan salah satu kegiatan yang sangat penting. Dengan membaca akan diperoleh berbagai informasi dan pengetahuan baru. Sekolah sebagai lembaga formal memiliki peran penting dalam menanamkan budaya dan karakter baik kepada peserta didik. Salah satu pembelajaran yang menanamkan budaya dan karakter kepada peserta didik yakni diberi pengenalan dan pemahaman dalam mencari sumber pengetahuan dan informasi dengan cara berliterasi.
Seperti diketahui, gerakan literasi menumbuhkembangkan budi pekerti peserta didik melalui pembudayaan ekosistem literasi sekolah yang diwujudkan dalam GLS, agar mereka menjadi pembelajar sepanjang hayat. Adapun program GLS diterapkan melalui tiga tahapan, yaitu tahap pembiasaan, tahap pengembangan, dan tahap pembelajaran.
Saat ini, kemampuan literasi siswa masih rendah. Hal tersebut dapat dilihat dari kegiatan siswa yang lebih gemar bermain gadget daripada membaca buku atau bacaan yang lainnya. Selain itu, siswa cenderung bertanya sebelum membaca, padahal hal yang ditanyakan sudah diberikan informasi secara lengkap. Maka dari itu, minat siswa dalam hal membaca perlu ditingkatkan, salah satunya dengan mengembangkan gerakan literasi.
Budaya Positif dengan Literasi dan Kontrak Belajar
Berdasarkan hal di atas, untuk penerapan budaya positif melalui kesepakatan kelas dan pembiasaan literasi siswa SMP Negeri 1 Sindangkerta, maka penulis mengambil langkah tindakan ini dengan menyosialisasikan kesepakatan kelas dan program literasi kepada warga sekolah. Kemudian penulis berkolaborasi dengan siswa dalam menyusun dan menyepakati kesepakatan kelas.
Selanjutnya, penulis mengajak rekan guru berkolaborasi untuk menyusun kesepakatan kelas dan melaksanakan kegiatan literasi setiap 15 menit sebelum memulai jam pelajaran. Tujuan utamanya untuk menumbuhkan minat membaca murid dan memiliki budi pekerti luhur yang senantiasa tertanam dalam jiwanya karakter yang baik melalui ketaatan pada kesepakatan kelas dan berkomitmen untuk melaksanakan pembiasaan dalam berliterasi, serta memiliki pengetahuan dan ketrampilan dalam membaca, melihat, menyimak, menulis, dan berbicara sehingga proses pembelajaran dapat menarik perhatian dan minat murid dalam belajar.
Dalam kegiatan literasi ini guru dan murid juga dapat memanfaatkan pojok baca dan perpustakaan yang telah disediakan disekolah dengan memanfaatkan waktu luang untuk dapat membaca buku-buku nonpelajaran misalkan buku cerita rakyat, buku cerita bergambar dan buku mata pelajaran lainnya sehingga dapat menambah wawasan, ketrampilan dan pengetahuan dalam membaca.
Berikutnya, dalam rangka menumbuhkembangkan disiplin positif dan budaya positif yang sudah ada di sekolah, penulis mengajak semua pemangku kepentingan untuk senantiasa melestarikan dan menjaga hal-hal baik dan positif agar terus mengakar dan menyeluruh ke semua warga sekolah.
Dalam mengembangkan disiplin positif di sekolah, kami membuat kontrak belajar, dulu biasanya disebut kesepakatan kelas. Biasanya kami menyepakati kontrak belajar setiap awal pertemuan perdana, yaitu awal tahun pelajaran. Berbeda dengan tahun pelajaran yang lalu, di mana kondisi pandemi memaksa kami untuk belajar dari rumah dalam jaringan. Maka kesepakatan kelas tidak diaktifkan. Penulis berinisiatif mulai saat ini kesepakatan kelas akan disusun dan disepakati kembali.
Langkah pertama dalam menyusun kesepakatan kelas, yaitu memberikan pertanyaan pemantik, dimana dalam pertanyaan itu akan muncul harapan-harapan yang diimpikan peserta didik dalam proses pembelajaran. Harapan-harapan tersebut dibuat dalam bentuk tanggapan.
Hasil tanggapan tersebut yang akan direspon kembali oleh mereka yang akan menjadi draft kesepakatan kelas. Mereka merespon, guru sebagai kontrol kelas mengarahkan bagaimana agar keinginan-keinginan yang mereka tuangkan dapat diwujudkan. Tentunya dengan bekerja sama menentukan formula dari kesepakatan kelas, agar memudahkan semua yang terlibat dalam pelaksanaannya.
Berikutnya, dalam menumbuhkembangkan budaya positif, kami mengaktifkan Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Kegiatan GLS ini dilakukan dalam tiga tahapan yaitu tahap pembiasaan, tahap pengembangan, dan tahap pembelajaran.
Pada tahap pembiasaan, sekolah mengadakan kegiatan wajib membaca buku non-pelajaran selama 15 menit (membaca senyap) setiap hari Selasa, Rabu, dan Kamis sebelum pembelajaran dimulai. Kemudian, pada tahap pengembangan yang dilakukan, yaitu adanya kegiatan lanjutan dengan memberi tanggapan dari buku yang telah dibaca. Peserta didik diminta untuk membuat reviu dari buku yang telah mereka baca dengan model AIH, Y-Chart, ataupun Fishbone.
Dalam pengembangan literasi, sekolah mengikuti program TMBB (Tantangan Membaca Bandung Barat). Kegiatan ini mengubah sikap peserta didik yang tadinya malu-malu dan tidak percaya diri, menjadi cukup berani dalam menyampaikan cerita.
Cara mengubah sikap dari peserta didik tak lain, dikarenakan adanya motivasi dari guru sebelum kegiatan pembelajaran berlangsung. Untuk tahap pembelajaran peserta didik diminta untuk membaca buku pengetahuan umum, atau buku-buku yang dikaitkan dengan mata pelajaran.
Tolok Ukur Program
Yang menjadi tolok ukur program, yaitu: 1) tersusunnya kesepakatan kelas; 2) terwujudnya kegiatan Gerakan Literasi Sekolah (GLS); 3) terwujudnya peserta didik yang memiliki sifat disiplin dan konsisten terhadap kesepakatan kelas; 4) terciptanya peserta didik yang literat; dan, terciptanya kolaborasi antara peserta didik, guru, dan orang tua peserta didik, sebelum, selama, dan setelah proses pembelajaran daring berlangsung.
Adapun linimasa tindakan yang dilakukan penulis adalah menyosialisasikan budaya positif kepada semua pemangku kepentingan di sekolah. Kemudian, memfasilitasi kesepakatan kelas dan kesepakatan aturan sekolah. Selanjutnya, membudayakan kebiasaan positif di sekolah yaitu dengan pelaksaan gerakan literasi sekolah, dan melaksanakan evaluasi dan refleksi pada kegiatan aksi nyata.
Penulis menyadari program yang dijalankan harus mendapatkan dukungan dari semua pihak. Oleh karena itu, dukungan dari Kepala Sekolah, wali kelas, guru, tim GLS, tenaga kependidikan, murid, dan komite yang terlibat dalam pelaksanaan GLS sangat dibutuhkan.
Selanjutnya, dalam pelaksanaan program, penulis menetapkan bahwa seluruh warga sekolah ikut berperan aktif. Sehingga program dapat terlaksana sesuai dengan harapan semua pihak.
Capaian
Respon peserta didik tentu saja merasa senang dan apresiatif ketika mereka diajak berdiskusi untuk membuat kesepakatan kelas. Mereka bersemangat melakukan perubahan aturan-aturan kelas. Selain itu, mereka bersemangat untuk menyepakati draft kesepakatan, karena motivasi intrinsik untuk menjadi lebih baik.
Sementara itu, tantanganyang dihadapi penulis adalah ketika ada masih terdapat suara sumbang yang enggan memberikan suara, dan tidak mau menuliskan hasil kesepakatan di papan tulis. Ada juga yang tidak memberikan respon tanggapan meski terhadap respon antar teman.
Barangkali yang tidak memberikan suaranya masih bingung, tapi ada yang hanya merespon tanggapan temannya saja. Tantangan lainnya, adalah mengontrol kelas agar kondusif dan fokus dalam kegiatan positif.
Berikutnya, dampak positif yang menonjol dalam pembiasaan GLS adalah siswa mulai terlihat antusias dan bersemangat pada saat guru memberikan kesempatan untuk bercerita dari hasil bacaanya. Dampak lain adalah mulai teralihkanya perhatian siswa dari gawai elektronik ke buku bacaan. Hal ini dapat menumbuhkan kreativitas dan kemampuan berinovasi.
Simpulan
Proses kegiatan aksi nyata ini belum seratus persen terlaksana sesuai dengan rancangan karena terbentur dengan agenda dan kelender pendidikan di mana pada saat target pelaksanaan aksi nyata adalah menjelang waktu libur semester ganjil. Di satu sisi, kesepakatan kelas bisa terlaksana dengan baik, maka tingkat pelanggaran tata tertib akan berkurang, dan peserta didik memiliki rasa disiplin yang tinggi yang berasal dari diri sendiri, bukan karena takut dihukum atau berbuat baik karena ingin diberi reward.
Kemudian GLS juga belum sepenuhnya dapat dilaksanakan. Pelaksanaan GLS hanya terbatas pada peserta didik yang mengikuti TMBB saja. Mereka tetap membaca dan mereviu buku baik selama waktu menjelang pembagian rapor ataupun selama liburan sekolah berlangsung.
Ke depan, program tersebut akan diteruskan untuk menyambut tahun pelajaran baru, untuk berkolaborasi membuat kesepakatan kelas yang berpusat pada murid. Lalu, GLS akan diaktifkan kembali dengan adanya pemilihan duta literasi sekolah. Tahapan refleksi akhir semester akan dijadikan acuan pelaksanaan pembelajaran di semester berikutnya. Dengan mengagendakan kegiatan sharing dan kolaborasi bersama antar guru mata pelajaran. ***
Profil Penulis
Sri Sunarti, lahir 11 Mei 1972 di Jakarta. Masa balita penulis tinggal di Jakarta. Sekarang penulis tinggal di Sindangkerta Kabupaten Bandung Barat. Penulis adalah guru Bahasa Inggris di SMP Negeri 1 Sindangkerta Kecamatan Sindangkerta. Pengalaman penulis selama 25 tahun menjadi guru diantaranya adalah penulis pernah membuat sebuah film pembelajaran tentang teks Procedure dan media pembelajaran berupa Multi Media Interaktif tentang pembelajaran teks Descriptive yang dilatih dan didanai oleh Balai Pengembangan Teknologi Pendidikan (BPTP) Provinsi Jawa Barat. Penulis juga menulis beberapa essay, beberapa PTK dan best Practice, penulis buku antologi cerpen Perlindungan Guru “Kuceritakan Kisahku Disini”, penulis antologi puisi SMPN 1 Sindangkerta, penulis artikel Perlindungan Guru “Jejak Langkah Menuju The Sunan”. Penulis juga pernah mengikuti Short Course ke Adelaide, Australia selama 21 hari. Pengalaman dalam organisasi diantaranya adalah pengurus Pramuka Kwarran Kecamatan Sindangkerta, Ketua MGMP Bahasa Inggris SR 5, bendahara MGMP Bahasa Inggris Kabupaten Bandung Barat, dan Ketua Komunitas Praktisi “RANCAGE” di Kecamatan Sindangkerta. Email: srisupendi@gmail.com Fb: Sri Sunarti IG: Sunarti.sri
Pewarta: Adhyatnika Geusan Ulun-Newsroom Tim Peliput Berita Pendidikan Bandung Barat
.