Dadang A. Sapardan
(Kabid Kurikulum & Bahasa, Disdik Kab. Bandung Barat)
Pada satu waktu, seorang kerabat mengungkapkan kekecewaan dan kekesalan atas sikap temannya yang menelikung atau sejalan dengan peribahasa, menggunting dalam lipatan. Teman kerabat yang selama beberapa waktu bersikap dan berperangai baik ternyata berubah drastis dan memperlihatkan karakter yang sebenarnya. Sikap dan perangai baik yang selama ini diperlihatkan hanyalah kemasan atau kamulflase untuk mengelabui kerabat. Tanpa disadari oleh kerabat, temannya itu memainkan strategi jitu untuk memporak-porandakan harapan yang sudah dibangun sejak lama.
Kehidupan diwarnai dengan heterogenitas sikap dan perilaku setiap anggota ekosistem di dalamnya. Heterogenitas ini yang menjadi pelahir dinamika dan riak gelombang kehidupan sehingga kehidupan benar-benar terwarnai dengan keberagaman. Heterogenitas ini pula yang menjadi tantangan setiap anggota ekosistem untuk dapat menyikapinya dengan bijak dan strategis, sehingga tidak menjadi biang penjerumusan pada ranah yang kurang baik dan kurang menguntungkan.
Ketika pandangan dipersempit untuk menilik pada sisi karakter manusia, dalam fenomena keseharian dapat ditemukan beragam sikap dan perilaku yang biasa dipertontonkan. Bisa saja sikap dan perilaku yang berada di hadapan merupakan karakter sebenarnya dan tidak dibuat-buat. Namun, bisa pula karakter yang dipertontonkan karakter yang dibuat-buat dan penuh tipu muslihat—bentuk kamuflase yang ditumpangi dengan muatan terselubung.
Menyikapi fenomena demikian, yang dibutuhkan adalah kejelian dan kehati-hatian dalam menyelami lebih dalam terhadap tampilan sikap dan perilaku dari orang-orang di sekeliling. Dengan adanya kejelian dan kehati-hatian tersebut dimungkinkan, karakter kamulflase dari orang di sekeliling dapat terdeteksi sedini mungkin. Keterdeksian sejak dini ini bisa menjadi sinyal penyiapan staretegi tepat agar tidak mengakibatkan kerugian besar dan fatal. Dengan kata lian, kejelian atas pendeteksian dapat menghindarkan diri dari kelengahan.
Sikap dan perilaku demikian dalam wacana kehidupan kita, biasa dipadankan dengan binatang melata dengan nama bunglon. Seperti diketahui, bunglon merupakan binatang yang memiliki kepiawaian dan kelebihan bisa mengubah warna kulit, sesuai dengan warna tempat yang dtempatinya. Ketika berada di pohon, binatang ini berubah menjadi hijau, seperti layaknya pohon. Begitu pula ketika di tanah, warna binatang ini bisa berubah sesuai warna tanah yang ditempatinya.
Lebih jelas lagi, mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, bunglon dimaknai sebagai kadal yang hidup di pohon, dapat bertukar warna menurut tempatnya. Selain itu, dimaknai pula sebagai orang yang tidak tetap pendiriannya (memihak ke sana sini asal menguntungkan dirinya).
Orang dengan karakter selalu mencari kesempatan, dalam konteks kehidupan keseharian, biasa disebut membunglon. Orang yang dengan sebutan membunglon ini merupakan tipikal yang tidak memiliki keajegan pendirian. Pendiriannya akan diungkapkan dan diperlihatkan secara situasional demi mencari keuntungan sendiri.
Sikap membunglon, memang bukan sesuatu yang baru dalam kehidupan ini. Mengacu pada sejarah Islam, bagaimana Sayidina Umar terbunuh oleh orang yang sebenarnya selama beberapa waktu berselang cukup dekat dan cukup dipercaya. Begitu pula dengan Sayidina Ustman yang terbunuh oleh mereka membunglon dan menyebar finah di sana-sini.
Pada kenyataan kehidupan, sikap membunglon tidaklah terjadi pada satu atau dua ranah kehidupan, tetapi bisa terjadi dalam berbagai ranah kehidupan. Sikap ini begitu kentara jelas dalam ranah politik, sebagai sikap strategis yang diterapkan untuk merengkuh syahwat politik. Dalam ranah kehidupan sosial, ekonomi, dan lainnya, sikap ini tidak jarang dipertontonkan pula oleh orang-orang yang bersyahwat besar untuk menjadi penguasa dalam ranah dimaksud.
Karena itulah, kejelian dan kehati-hatian perlu dikedepankan, manakala sudah menemukan gelagat tipikal orang dengan karakter membunglon di sekitar kehidupan ini. ****Disdikkbb-DasARSS.