Oleh: Nani Sulyani (Kepala SMPN 3 Saguling)
Konsep “Merdeka Belajar” menjadi viral sejak diluncurkan melalui pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim pada peringatan Hari Guru Nasional (HGN) 2019. Dalam pidatonya, mas menteri mengungkapkan dua poin penting, yaitu perihal merdeka belajar dan guru penggerak. Merdeka belajar diartikan sebagai unit pendidikan yaitu sekolah, guru-guru dan muridnya yang diberi kebebasan untuk berinovasi. Kebebasan untuk belajar dengan mandiri dan kreatif. Untuk mewujudkan hal ini pemerintah telah mendorong melalui berbagai bentuk bantuan, kemudahan birokrasi dan regulasi.
Dikemukakan lebih lanjut, bahwa tidak semua inovasi harus berakhir dengan sukses. Dari berbagai eksperimen yang dicobakan, pada akhirnya akan diketahui formula yang pas untuk sekolah dan lingkungan sekitarnya. Itulah esensi dari inovasi.
Meskipun pernyataan tersebut jelas memberikan kebebasan berinovasi untuk satuan pendidikan, namun pada pelaksanaannya tidaklah mudah. Contohnya adalah pro dan kontra dalam menerjemahkan RPP Merdeka Belajar. Dalam K13, RPP ditulis seca detail dengan menghabiskan berlembar-lembar kertas. Ketika ingin diringkas menjadi selembar kertas (paperless), apakah mungkin? Bagi guru yang belum pernah membuat “action plan”, tentu hal ini menimbulkan kebingungan.
Stabilitas pembelajaran di sekolah kemudian digonjang-ganjingkan oleh fenomena covid- 19 yang mengharuskan pembelajaran menggunakan moda daring. Alhasil, pemerintah makin memantapkan konsep merdeka belajar melalui Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 719 / P / 2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Kurikulum pada Satuan Pendidikan dalam Kondisi Khusus. Satuan pendidikan dalam kondisi khusus dapat menggunakan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan pembelajaran peserta didik.
Pelaksanaan kurikulum pada kondisi khusus bertujuan untuk memberikan fleksibilitas bagi satuan pendidikan untuk menentukan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan pembelajaran peserta didik. Satuan pendidikan pada kondisi khusus dalam pelaksanaan pembelajaran dapat 1) tetap mengacu pada Kurikulum Nasional; 2) menggunakan kurikulum darurat; atau 3) melakukan penyederhanaan kurikulum secara mandiri. Semua jenjang pendidikan pada kondisi khusus dapat memilih dari tiga opsi kurikulum tersebut. Kurikulum pada satuan pendidikan dalam kondisi khusus memberikan kelengkapan bagi sekolah untuk memilih kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan pembelajaran siswanya.
Apakah keputusan ini kemudian mengentaskan semua permasalahan? Tidak juga. Meskipun semangat berinovasi dan kemerdekaan dalam pembelajaran santer digaungkan, tetap saja memunculkan kegalauan para guru dari sisi konten, metoda, moda dan penilaian. Bahkan menjelang berakhirnya masa pembelajaran, keragu-raguan akan sistem penilaian masih menjadi topik pembicaraan.
Kegalauan atau kekhawatiran ini memang tak dipungkiri. Hal ini terjadi karena para guru terbiasa menjadi “user” ketimbang “maker”, khususnya dalam kegiatan evaluasi pembelajaran. Mereka terbiasa menggunakan soal-soal “instan” pada kegiatan PAS. Ibarat menu masakan, mereka belum terbiasa menciptakan resep masakan, akan tetapi mendapatkan makanan siap saji, tinggal menatanya di atas piring untuk disantap para siswanya.
Kegalauan berikutnya adalah apabila ada guru yang masih ‘bandel’ keukeuh ingin menuntaskan materi pembelajaran dalam K13. Niat mulianya sungguh tak terkira, sang guru berdedikasi mengemban Standar Kompetensi Lulusan. Alih-alih sukses, yang ada malah membawa kepada kondisi stress, baik guru maupun siswanya. Padahal, meskipun dalam Permendiknas No. 23/2006 pemerintah telah merumuskan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang harus dicapai peserta didik, melalui proses pembelajaran berbagai mata pelajaran, namun standar ini dapat disederhanakan dan diarahkan untuk penguasaan literasi, numerasi, dan pengembangan karakter siswa.
Melengkapi permendiknas tersebut, dalam tulisan ini, saya ingin memaparkan bahwa dalam Bimbingan dan Konseling (BK) pun ada yang disebut sebagai “Standar Kompetensi Kemandirian Peserta Didik” (SKK) yang menjadi rujukan pelayanan BK di Indonesia.
Standar Kompetensi Kemandirian Peserta Didik (SSK) adalah standar ketercapaian peserta didik yang menyangkut aspek fisik, kognisi, sosial, emosi, moral, dan religius sesuai dengan usia perkembangannya. Penyusunan SSK ini dilandasi keilmuan psikologi perkembangan. Pada jenjang SMP, SSK meliputi : (1) Landasan hidup religius; (2) Landasan perilaku etis; (3) Kematangan emosi; (4) Kematangan intelektual; (5) Kesadaran tanggung jawab sosial; (6) Kesadaran gender; (7) Pengembangan diri; (8) Perilaku kewirausahaan (kemandirian perilaku ekonomis); (9) Wawasan dan kesiapan karier; dan (10) Kematangan hubungan dengan teman sebaya.
Saya contohkan di sini SSK (1) Landasan hidup religius. Tugas perkembangan yang harus dicapai siswa adalah “Mencapai perkembangan diri sebagai remaja yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa”. Untuk mencapai tugas perkembangan ini tidaklah mudah. Umumnya, pada masa anak-anak, peserta didik menerima keyakinan-keyakinn agama secara dogmatis. Namun, sejalan dengan perkembangan kognitifnya, pada masa remaja (SMP) mereka sering mempersoalkan religiusitas yang sebelumnya telah diyakini dan dipegang teguh. Akibatnya, banyak remaja mempersoalkan kembali keyakinan keagamaan mereka, dan mengalami penurunan ibadah akibat keraguan atas keyakinan sebelumnya. Di sisi lain, keraguan ini pada beberapa peserta didik SMP mendorong mereka lebih giat mencari informasi dan menguji kembali kebenaran yang mereka yakini.
Pada SSK (1) aspek religius, layanan BK dimungkinkan dilaksanakan dalam tiga segmen, yaitu KEILMUAN (mengenalkan arti dan tujuan ibadah), AKOMODASI (memotivasi dan mendorong peminatan belajar), TINDAKAN (memberikan tauladan dan mendampingi pelaksanaan ibadah siswa). Pada kurikulum khusus, SSK aspek religius ini dapat berkontribusi, berkolaborasi dan berelaborasi dengan mata pelajaran lain dalam kegiatan evaluasi pembelajaran.
Sebagaimana diketahui, masa pandemi yang belum surut, telah melahirkan permasalahan baru. Kondisi pandemi mungkin telah berdampak menyebabkan keadaan kehilangan anggota keluarga, perceraian, kehilangan mata pencaharian, dan kekerasan dalam rumah tangga. Kondisi ini sangat mungkin menjadi sebuah godaan terhadap lemahnya iman. Oleh sebab itu, maka penguatan religiusitas dapat menjadi alternatif yang disisipkan dalam evaluasi pembelajaran, sekaligus sebagai penguatan pendidikan karakter menuju visi Profil Pelajar Pancasila.
Sumber bacaan
https://gtk.kemdikbud.go.id/read-news/mengenal-konsep-merdeka-belajar-dan-guru-penggerak
https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2020/08/kemendikbud-terbitkan-kurikulum-darurat-pada-satuan-pendidikan-dalam-kondisi-khusus
Panduan Penyelenggaraan Operasional Bimbingan dan Konseling , Kemendikbud Dirjen GTK; 2016