Artikel: Dra. Hj. Yeti Resmiati, M.M
(Kepala SMPN 2 Parongpong)
Bukan hal yang mudah untuk mendayung rumah tangga. Diperlukan kesiapan diri yang matang untuk mengarungi samudra kehidupan rumah tangga nan luas dan panjang.
Cegah Pernikahan Dini
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 yang merupakan perubahan atas Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 membatasi umur pasangan bisa menikah apabila laki- laki dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun. Namun, idealnya usia pernikahan di Indonesia adalah 25 tahun untuk laki- laki, dan 21 tahun untuk perempuan.Di bawàh usia tersebut akan disebut dengan pernikahan dini.
Pernikahan dini merupakan pernikahan yang berlangsung ketika pasangan atau salah satu pasangan dikategorikan sebagai anak- anak atau remaja. United Nations Childrens Fund (Unicef) mengkategorikan bahwa pernikahan dini sebagai pernikahan yang dilaksanakan sebelum berusia 18 tahun.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2021 angka perkawinan anak di Indonesia berada pada angka 9,23%. Angka ini memang mengalami penurunan dari tahun sebelumnya. Namun, langkah untuk pencegahan pernikahan dini ini harus terus diupayakan dan diihtiarkan dengan berbagai cara sehingga tidak terjadi pernikahan dini yang menjadi momok dan beban bagi sebagian besar kehidupan di masyarakat.
Menurut Irma Darmawati, M. Kep. SP., Kep. Kom., dalam kegiatan sosialisasi penyuluhannya tentang Kesehatan Reproduksi pada Remaja yang bertema
“Remaja Sehat Capai Impian dan Cita-Cita” yang memfokuskan pada penggunaan aplikasi smart phone “PEDE” (Pencegahan Pernikahan Dini), bahwa Indonesia merupakan negara dengan angka pernikahan dini tertinggi ke delapan di dunia dan berada di rangking ke-2 di ASEAN setelah Kamboja.
Dengan demikian, pernikahan dini akan berdampak buruk, bukan saja untuk kesehatan juga untuk perkembangan psikis remaja. Dari segi kesehatan, pernikahan dini rentan akan menimbulkan keguguran, kelahiran prematur, pendarahan, hingga kematian ibu dan bayi.
Sementara itu, dari segi psikis pernikahan dini bisa mengakibatkan terjadinya ketidakstabilan emosi pada remaja.Hal ini menjadikan rentan, sehingga menyebabkan KDRT dan menimbulkan korban jiwa yang terjadi sebahagian besar dalam kehidupan di masyarakat.
Kegiatan sosialisasi tentang PEDE (Pencegahan Pernikahan Dini) perlu terus dilakukan dan digaungkan dalam penyuluhan – penyuluhan di masyarakat. Sosialisasi – sosialisasi khususna di tingkat Lembaga-lembaga Pendidikan baik di Tingkat SMP, SMA ataupun SMK.
Hal ini memang penting untuk dilakukan karena masa remaja merupakan masa yang paling indah tetapi merupakan masa yang paling rawan dan menakutkan bagi sebagian besar para orang tua. Bahkan, merupakan masa yang paling peka dan sensitif atau labil. Masa yang merupakan saat yang paling rentan, dan susceptible. Jiwa-jiwanya yang penuh bergairah dan penuh dengan berbagai semangat.
Jika kurang mendapatkan bimbingan, penjaringan, diarahkan, diperhatikan, dikawal, dan dituntun, maka akan memiliki resiko terperosok dalam hal-hal negatif dan hal- hal yang tidak diinginkan. Maka, perlu usaha dan peran serta para pendidik di sekolah dan orang tua di rumah untuk selalu memberikan pemahaman, dan bimbingan, apresiasi, interpretasi, serta selalu mengingatkan kepada mereka putra putrinya di rumah.
Mereka harus mampu agar memupuk dan mengembangkan potensi dirinya sehingga terhindar dari pernikahan yang belum saatnya ini atau disebut pernikahan dini. Potensi diri adalah kemampuan individu yang masih tersimpan untuk melakukan usaha yang maksimal. Potensi diri dapat berkembang ke arah yang baik melalui bakat atau pun usaha belajar dan kerja keras sehingga potensi dapat ditunjukkan melalui aksi, karena setiap individu memiliki potensi diri. (KBBI 2022).
Setiap remaja harus memiliki kepercayaan dan kemampuan diri. Bahwa apapun masalah yang akan terjadi nanti jika melakukan pernikahan dini, maka akan siapkah dan bisakah mampu mengatasi permasalahan dengan baik? Tetapi janganlah kita mengecilkan potensi diri dengan membunuh rasa percaya diri kamu sendiri, sebab hal ini akan sangat merugikan diri sendiri. Kita harus mampu mengapresiasi, mampu mempertimbangkan, mamou memenungkan, dan mampu menimbang- nimbang kelebihan dan kekurangaan kita jika pernikahan dini dilakukan.
Sebagaima pendapat para ahli, di antaranya yang disampaikan oleh Dosen Jurusan Keperawatan FPOK UPI Bandung yang mengapresiasi hasil penelitiannya. Mereka mengungkapkan hal yang sama bahwa bahwa di sebuah Desa yang bernama Desa Ciwaruga termasuk desa yang rawan dalam kasus pernikahan dini. Beliau juga berpendapat jika kegiatan sosialisasi dan penyuluhan Pernikahan Dini bagi Remaja terus dilakukan dan disampaikan di setiap sekolah ataupun di masyarakat, melalui kepala-kepala desa ataupun Kepala Daerah Kecamatan (Camat), setidaknya akan mendapatkan solusi praktis dan efektif dalam melakukan pencegahan pernikahan dini bagi setiap remaja.
Dengan kegiatan penyuluhan- penyuluhan ataupun berbagai sosialisasi Pencegahan Pernikahan Dini, diharapkan seluruh peserta didik dari mulai tingkat SMP sampai perguruan tinggi, setidaknya dapat memahami dan dapat mengikuti pemaparan materi yang disampaikan para nara sumber ataupun para pendidiknya dengan sebaik – baiknya.
Maraknya pernikahan remaja di kalangan masyarakat belakangan ini disebabkan beberapa faktor, di antaranya karena kemiskinan akibat Virus Covid -19, adanya Sekolah Daring, dan tidak adanya jaminan sosial bagi keluarga.
Dalam kondisi tersebut, wajar bagi orang tua jika lebih memilih pragmatis menikahkan usia dini agar tidak menjadi beban tanpa memikirkan akibat yang akan dihadapi. Padahal pernikahan dini bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan dengan hanya bersenang-senang. Di dalamnya terdapat berbagai gelombang dan badai yang kadang-kadang sulit untuk diarungi dan dilalui karena “dalam perhitungan cinta pernikahan, satu ditambah satu sama dengan tak terhingga”. Maka, pernikahan bukan hanya dibutuhkan kesiapan secara materi dan fisik, tetapi juga dibutuhkan kesiapan secara mental.
Mereka yang melakukan perkawinan di bawah usia 18 tahun adalah pernikahan tidak wajar, kaku, kurang manusiawi. Penyebabnya adalah usianya belum matang. Selain itu, organ intim, dan reproduksinya, sedang berkembang, serta mentalnya yang masih belum stabil , berfluktuasi, goyah, dan masih rapuh.
Siimpulan
Dengan demikian peran serta para pendidik di setiap lembaga pendidikan, para kepala desa, dan kepala daerah (Camat) menjadi lebih hidup dan memukau, manakalan melakukan berbagai upaya untuk memutus mata rantai pernikahan dini. Salah satunya dengan melakukan penyuluhan-penyuluhan dan sosialisasi secara maksi kepada masyarakat awam. Mereka harus berperan secara optimal dan lebih intensif, intens, lebih mebdalam dan sungguh-sungguh untuk memberikan penyuluhan dan sosialisasi kepada sekolah, dan orang tua, serta masyarakat.
Selain itu, juga dapat dilakukan melalui forum- forum dialog atau pertemuan dari tenaga kesehatan/Puskesmas-Puskesmas yang ada di daerah melalui sosialisasi dan penerangan mengenai dampak pernikahan dini melalui penyuluhan-penyuluhan tentang kesehatan.
Pada akhirnya, mereka akan memiliki pengetahuan, pemahaman, dan pengalaman, serta wawasan baru mengenai dampak yang akan mereka alami jika terjebak dalam pernikahan dini suatu saat nanti jika sudah dewasa.
Semoga dengan kegiatan ini, para peserta didik dan orang tua, serta masyarakat dapat menjadi duta-duta kecil yang akan menjalankan dan membagi ilmu dan pengalamannya kepada putra putrinya atau sesamanya sebagai tutor sebaya, serta lingkungan masyarakatnya.
Harapan yang paling besar adalah peserta didik akan memiliki keyakinan dan keteguhan untuk terus melanjutkan pendidikan sampai pada saatnya nanti akan menjadi generasi penerus bangsa yang sehat dan berakhlak mulia. Aamiin Yaa Rabbal Aalamiin. ***
Penulis adalah Kepala SMPN 2 Parongpong Bandung Barat-Pewarta: Adhyatnika Geusan Ulun-Newsroom TimPeliput Berita Pendidikan Bandung Barat.