Oleh : BUDHI SLAMET SAEPUDIN, S.Sos
(Pelaksana Bidang SMP Dinas Pendidikan KBB)
“Jatuh bangunnya negara ini, sangat tergantung dari bangsa ini sendiri. Makin pudar persatuan dan kepedulian, Indonesia hanyalah sekedar nama dan gambar seuntaian pulau di peta.” (Mohammad Hatta)
Maraknya konten-konten hiburan di dunia maya, interaksi media sosial tanpa batas, dibarengi perkembangan ilmu dan teknologi yang sedemikian pesat, banyak dikhawatirkan oleh beberapa pihak akan berdampak pada terdegradasinya budaya dan kepribadian bangsa Indonesia, khususnya di kalangan siswa pelajar. Kekhawatiran ini cukup mendasar bila melihat beberapa kejadian di tanah air yang sepertinya mulai membudaya di kalangan pelajar kita dewasa ini, seperti tawuran, vandalisme, penyalahgunaan Narkoba, seks bebas, LGBT dan hilangnya perilaku budi pekerti luhur yang selama ini menjadi ciri khas bangsa ini.
Sepertinya telinga kita sudah tidak asing lagi bila mendengar berita ada pelajar tewas akibat tawuran, pelajar meninggal dunia karena over dosis, pelajar memukul guru, pelajar melakukan tindakan aborsi, atau pelajar yang terjaring razia di hotel melati pada jam sekolah. Sebuah kemunduran moral yang muaranya akan melahirkan sekelompok generasi skeptis. Tidak peduli lagi terhadap lingkungan sekitar, asyik dengan kehidupannya sendiri dan lebih jauh tidak perduli dengan kondisi bangsanya. Sebuah generasi yang kelak dikhawatirkan tidak memiliki daya saing di kancah dunia Internasional, kehilangan rasa nasionalis, minim pengetahuan, dan gampang diperbudak bangsa lain.
Diakui, bahwa tidak semua siswa pelajar memiliki sifat atau karakter seperti diungkapkan di atas. Banyak pula siswa pelajar yang memiliki prestasi gemilang dan berhasil mengharumkan nama bangsa. Tetapi yang menjadi catatan, jumlah siswa dengan pola tingkah laku yang ‘tidak baik’ tadi, jumlahnya semakin bertambah dari tahun ke tahun. Mengutip data dari website fk.ugm.ac.id, rubrik berita (14/03/18) menyebutkan bahwa, kekerasan sesama remaja di Indonesia diperkirakan sudah mencapai 50%, dan kini sudah mengarah pada tingkat kejahatan ‘Klitih’. Dilansir pula dari data Kementerian Kesehatan RI tahun 2017, terdapat 3,8% pelajar dan mahasiswa yang menyatakan pernah menyalahgunakan narkoba. Data KPAI 2018 menyebutkan bahwa tawuran di kalangan pelajar meningkat 1,1% dibandingkan tahun sebelumnya. Tahun 2017 angka tawuran hanya di kisaran 12,9% sedangkan tahun 2018 menjadi 14%.
Secara demografi 30% jumlah penduduk Indonesia merupakan usia remaja. Usia di mana seseorang sedang demikian produktif, energik dan penuh inovasi dan dedikasi. Yang menjadikan kening kita berkerut dan harus mengurut dada adalah adanya fakta yang diungkap BNN menunjukan, 24% pengguna narkoba di Indonesia selama tahun 2018 berstatus pelajar. Hal ini diperparah dengan kenyataan di lapangan bahwa 90% video porno yang beredar di masyarakat dalam beberapa tahun terakhir diperankan oleh remaja. Tingginya seks bebas dan angka aborsi di kalangan pelajar dan mahasiswa merupakan sebuah hal yang membuat terenyuh hati siapapun yang menjadi penggiat dunia pendidikan di Tanah Air.
Lantas di mana korelasinya antara semangat cinta tanah air dan bela negara dihadapkan dengan degradasi moral bangsa?
Bela negara adalah sikap dan perilaku warga negara yang dijiwai oleh kecintaannya kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam menjalin kelangsungan hidup bangsa dan negara yang seutuhnya. Pasal 30 UUD 1945 menggariskan bahwa setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara dan syarat-syarat pembelaan diatur oleh undang-undang.
Kesadaran bela negara hakikatnya adalah kesediaan seorang warga negara untuk berbakti pada negara dan kesediaannya berkorban membela negara. Spektrum bela negara sendiri sangat luas mulai dari tindakan yang paling halus seperti menjaga toleransi dengan sesama warga negara, rajin belajar bagi para siswa hingga yang paling keras yaitu mengangkat senjata menghadapi musuh negara.
Ada lima unsur dasar bela negara yaitu Cinta tanah air, Kesadaran berbangsa dan bernegara, Meyakini Pancasila sebagai ideologi Negara, Rela berkorban untuk bangsa dan negara serta Memiliki kemampuan awal bela negara. Dihadapkan dengan kondisi generasi muda yang mulai terdegradasi rasa kebangsaan dan nasionalismenya dengan berbagai perilaku kenakalan remaja yang sangat merugikan, baik untuk dirinya pribadi maupun lingkungannya, rasanya sulit mewujudkan sebuah generasi muda yang memiliki kelima unsur dasar bela negara di atas.
Bagaimana kita bisa menanamkan rasa cinta tanah air, tatkala pelajar kita lebih menggandrungi dan mengidolakan selebritis luar negeri dibanding public figure Indonesia sendiri. Gengsi memakai produk lokal dan nyinyir terhadap kondisi bangsa. Kesadaran berbangsa dan bernegara pun kian terkikis tatkala kenyataan menunjukan banyaknya pelajar yang tidak lagi menghargai perbedaan di antara mereka, tawuran antar sekolah, mendukung fanatis buta sebuah kesebelasan sepak bola, atau menjadi anggota genk motor yang anarkhis. Keyakinan Pancasila sebagai ideologi negara sepertinya mulai sirna ketika ideologi sekuler dan perilaku yang hedonisme menjadi rujukan. Para pelajar dan remaja kita kini lebih mengedepankan gengsi, gaya hidup kekinian, dan suka bersenang-senang tanpa melihat kondisi keluarga. Bila keadaan sudah seperti ini, jangan harap munculnya rasa rela berkorban dan memiliki kemampuan awal bela negara.
Nasionalisme sendiri adalah rangkaian kecintaan dan kesadaran dalam proses berkehidupan berbangsa dan bernegara serta upaya untuk menumbuhkan rasa cinta pada tanah air. Adalah sebuah pekerjaan besar nan berat bagi siapapun penggiat dunia pendidikan di negeri ini untuk mendidik siswa pelajarnya dalam kancah dunia modern yang serba digital seperti sekarang ini. Degradasi moral bangsa di kalangan pelajar sudah mencapai titik kritis. Perlu penanganan yang komperhensif dengan melibatkan berbagai stakeholder dan pihak terkait untuk membangkitkan kembali ghirah kebangsaan dan cinta tanah air di kalangan pelajar kita.
Program PPK (Penguatan Pendidikan Karakter) di sekolah yang kini sedang digencarkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, merupakan salah satu usaha ke arah itu. Dengan mengadopsi nilai filosofis ajaran Ki Hajar Dewantara yaitu olah hati, olah pikir, olah karsa dan olah raga, pemerintah lewat sekolah berusaha menumbuhkan kembali karakter unggul bangsa Indonesia pada jiwa para siswa pelajar. Tetapi kedepannya, diperlukan sebuah study akademis untuk mengukur sejauh mana pengaruh penerapan PPK terhadap tingkat kenakalan remaja di Indonesia, apakah cenderung menurun, stagnan atau malah terus meningkat. Dari perspektif cinta tanah air dan bela negara sendiri, mungkin penerapan kembali program penataran P4 yang menyentuh level Dikdas, Dikmen dan Dikti bisa kembali dilaksanakan. Penggalian dan pengkajian nilai-nilai Pancasila bisa digelorakan lagi dengan format kekinian tanpa harus melahirkan generasi chauvinist.
Bercermin kepada konsep negara Singapura yang memiliki format bela negaranya dengan istilah “Total Defense” yang terdiri dari lima aspek kunci yaitu military defense, civil defense, economic defense, social defense dan psikologi defense. Mereka menyadari bahwa musuh negara datang bukan saja dalam format militer, tetapi juga menyerang sisitim ekonomi, struktur sosial masyarakat dan psikologi masyarakatnya. Rakyat Singapura meyakinkan dirinya bahwa setiap orang harus berkontribusi terhadap keselamatan bangsa dan negaranya. Berbuat sebaik-baiknya untuk negara, minimal untuk diri pribadinya sendiri.
Negara kecil Singapura berhasil menggabungkan lima aspek kehidupan negaranya menjadi sebuah kekuatan solid yang dinamakan ‘Total Defense’. Bagaimana dengan Indonesia? Diperlukan sebuah komitmen bersama semua elemen bangsa untuk memperbaiki degradasi moral di kalangan pelajar dan remaja Indonesia. Sebab, bila sebuah negara mentalitas generasi mudanya begitu rendah dan terpuruk, maka tinggal menunggu waktu saja kehancuran atau penjajahan negara asing akan hadir di negeri itu. Sebagai warga negara yang baik tentulah kita semua berharap, semoga jargon “revolusi mental” yang digembor-gemborkan pemerintah benar-benar menyentuh esensi dari perbaikan mentalitas bangsa ini, terutama di level siswa pelajar sebagai pemegang tongkat estafet kepemimpinan di masa yang akan datang. Kita bermimpi, anak-anak kita kelak akan menjadi generasi emas yang memiliki rasa cinta tanah air yang tinggi, memiliki kesadaran berbangsa dan bernegara, meyakini Pancasila sebagai ideologi Negara, rela berkorban untuk bangsa dan negara serta memiliki kemampuan awal bela negara. Jayalah negeriku!
Penulis adalah alumni Pendidikan Bela Negara Kemenhan Gel-1 Tahun 2014, Rindam Jaya.
Mantap.
Minta ijin
Mau saya jadikan referensi buat artikel yg sedang saya buat.
Terimakasih Bu Endang Widiasari, silahkan bila berkenan
Keren! Komitmen bersama! Harus?
Keren banget