Reportase: Ema Damayanti
BANDUNG BARAT-(NEWSROOM). Gebrakan Mendikbud, Nadiem Makarim terkait Kebijakan merdeka belajar langsung mendapat respon Dinas Pendidikan KBB dengan mengadakan acara Talks Show Bertema,“Menggali Pemikiran Inovasi Pendidkan dalam Merespon Merdeka Belajar”. Kegiatan yang diselenggarakan di Bandung Alliance Intercultural School (BAIS) Kota Baru Parahyangan ini mendatangkan empat penggiat pendidikan sebagai pembicara, yaitu Rudi Sopian Efendi, Dwi Joko Widianto, Alto Labetubun, dan Euis Lesmini Juanda. Selasa (28/01/2020).
Sesuai dengan tema yang diusung, pembicara yang dihadirkan berbicara tentang merdeka belajar dari berbagai sudut pandang dan dikaitkan dengan kebijakan pendidikan di Bandung Barat.
Rudy Sopian Efendi memandang merdeka belajar bukan sekedar kebebasan dalam belajar berupa kesenangan semata. Tapi memaknai merdeka belajar dengan arti siswa “enjoy” ketika sedang belajar dan tidak terbebani pikiran. Oleh karena itu, implemantasi agar siswa di Bandung Barat dapat “enjoy” dalam belajar, Rudy membuat sebuah akronim Lumpat, diambil dari jargon KBB. Merdeka belajar di KBB harus mengedapankan L=Literasi dan Numerasi, U=Unggul Berdaya saing M=Menyeluruh (Whole School Depelopment), P=Professional Development A= Active learning,T=terukur (Benchmark).
Rudy menekankan gerakan literasi yang dilakukan harus berdampak pada hasil belajar dan karakter siswa. Assessment literasi harus menyangkut dua hal, yaitu bahasa dan berpikir logis. Rudy juga menyampaikan bahwa dengan merdeka belajar guru dan pihak sekolah dapat mengembangkan assessment sesuai dengan kebutuhan siswa. Pengambilan kebijakan dalam membuat assessment tersebut yang harus berbasis data yang sudah terukur agar kebijakan tepat sasaran.
Sementara itu, Dwi Joko Widianto mencoba mengkritisi kebijakan merdeka belajar ini sebagai kebijakan yang populis tapi belum revolusioner. Menurutnya, kebijakan ini baru menyentuh tata kelola perencanaan dan evaluasi pembelajaran belum dapat menyelesaikan permasalahan pendidikan yang berupa darurat metode mengajar dan banyaknya guru mualaf (mengajar tidak sesuai kompetensi keahlian). Dwi memberikan rekomendasi jangka pendek dan jangka panjang untuk memperbaiki pendidikan di Bandung Barat. Menurutnya, guru dan institusi sekolah dalam waktu dekat harus mengembangkan instrument assessment, saling bertukar informasi model pembelajaran melalui kegiatan lesson study dan pemberian penghargaan bagi guru berprestasi. Kebijakan Jangka panjangnya, harus ada revitalisasi fungsi pengawasan sekolah.
Alto Labetubun dari Harmoni Project memfokuskan respon terhadap merdeka belajar pada poin pembentukan karakter dikaitkan dengan permasalahan isyu radikalisme. Menurutnya berdasarkan jurnal penelitian Frontiers in Psychiatry, February 2019 | Volume 10 | Article 42 banyaknya radikalisme atau yang diidentikan dengan kekerasan terjadi karena didasarkan pada tiga hal yaitu: Needs, Narrative, dan Network. Siswa memiliki kebutuhan untuk diterima oleh lingkungannya, diakui keberadaannya. Jika diriya tersisih dari lingkungannya akan menyebabkan dia mudah menerima doktrin atau pengaruh cerita tanpa menelisik kebenarannya. Jika siswa tersebut sudah bertemu dengan kelompoknya atau jaringannya dengan permasalahan yang sama, akan menjadi sebuah gerakan kekerasan dalam masyarakat.
Oleh karena itu, menurut Alto, solusi terbaik yaitu mencegah terjadinya hal tersebut dan merangkul siswa dengan permasalahan seperti itu dengan membentuk klub-klub minat dan bakat yang memberikan kesenangan batin bagi siswa tersebut seperti klub seni atau menulis.
Pembicara terakhir, Euis Lesmiani Djuanda, seorang praktisi pendidikan yang pernah mengambil studi di Jepang, mengungkapkan bahwa kebijakan merdeka belajar jika dimaknai sebagai kebebasan dalam mengambil kebijakan kurang sesuai dengan pola pendidikan di Jepang. Sistem Pendidikan Jepang sangat terpusat. Akan tetapi, karakter orang Jepang sangat teruji, disiplin, kerja keras dll. Euis menceritakan kebiasaan orang jepang yang sudah menajdi karakter di masyarakat seperti kemandirian anak sejak dini, budaya jalan kaki, kebersihan, tetpat waktu, dan disiplin. Penanaman karakter dimulai sejak usia tiga tahun hingga kelas 4 SD. Anak memilki kemerdekaan dalam belajar di usia ini. Menurutnya, di Indonesia, penananaman karakter belum bisa terukur. Hal inilah yang menjadi permasalahan bersama dan perubahan dalam dunia pendiikan akan sult terjadi jika pola pikir atau mindset guru masih sulit untuk diubah.
Merangkum pendapat dari berbagai pembicara hasil kegiatan Talkshow, Kabid SMP Dinas Pendidikan KBB, Dadang A Sapardan bersama tim jurnalis Disdik KBB, Newsroom siap lumpat untuk mewujudkan tantangan KBB hadapi kebijakan Merdeka Belajar dengan berbagai Kegiatan yang akan dilaksanakan yang sudah dimulai sejak bulan Januari 2020.
Editor: Adhyatnika GU