Cerpen Karya Guru: Lily Nuraini Damayanty, S.Pd
(SMPN 3 Ngamprah)
“Bu Layla, Flo ngamuk!”
Satu seruan mengagetkan aku yang tengah menghabiskan sisa sarapan yang sempat tertunda. Bukan hanya aku yang terkejut, tetapi juga rekan-rekanku yang lain, yang sedang menghabiskan jam istirahat di ruang guru.
Bergegas kuteguk air hangat di gelasku, lalu segera bangkit dan tergesa menuju ke kelas di ujung lorong. Dari kejauhan kulihat kerumunan siswa terkonsentrasi di depan kelas itu. Suara-suara berdengung disekitar, menimpali teriakan-teriakan marah seseorang.
“Pergi kalian! Pergi! Jauhi aku! Kalian jahat! Pengganggu! Apa kalian tak punya kegiatan lain selain mengganggu orang? Sana cari kesibukan, bukan hanya mengurusi orang lain!”
Kusibak kerumunan siswa. Aku tertegun sesaat. Di tengah-tengah kerumunan itu kulihat Flora dengan amarahnya yang meluap. Wajahnya memerah, basah oleh air mata. Rambutnya kusut tak menentu. Badannya yang kecil bergetar karena marah, juga karena isak yang tertahan. Tatapannya nyalang memandang sekeliling. Dari mulut kecilnya yang biasa lebih sering terkatup, mengalir makian pada orang-orang di sekitarnya.
Segera kudekati ia. Saat melihatku, berangsur tatapannya melembut. Tak lagi mengancam. Sesaat kemudian, ia menjatuhkan dirinya ke lantai lalu tertunduk. Kuberi isyarat pada mereka yang mengerumuni Flora untuk segera membubarkan diri.
Kusentuh lengan Flora. Dia tak menolak.
“Flo,” bisikku. Tak ada sahutan. “Flo, ada apa?” tanyaku lagi. Flo sudah kembali menjadi Flo yang biasanya. Ia menutup mulutnya rapat-rapat. “Flo, mau ngobrol dengan bu Layla?”
Agak lama Flo tak merespon. Tetapi akhirnya ia mengangguk. Kuhembuskan nafas lega. Ku genggam tangannya, mengajaknya menuju ruang guru. Tetapi Flo mengelak saat tahu tujuan kami.
“Ada apa?” tanyaku.
“Aku nggak mau ke sana, Bu.”
“Kenapa?”
Flo kembali terdiam. Dia mulai nampak gelisah. Kembali pandangannya menekuri lantai koridor. Walau sudah kudesak Flo tetap bergeming. Lagi-lagi aku harus menghela nafas panjang. Beginilah Flo. Jika sudah memutuskan untuk diam, apapun tak akan bisa mengubahnya.
Kulirik jam tanganku. Waktu istirahat akan segera berakhir. Aku masih ada satu jam lagi tatap muka yang tadi terjeda istirahat. Flo sepertinya masih belum akan segera membuka diri.
“Flo. Sepertinya ibu akan membiarkanmu menenangkan diri dulu. Kamu bisa pergi ke perpustakaan atau ke masjid sekolah. Ya? Nanti setelah ibu selesai dari kelas 7 F, kita bicara lagi.” kataku tegas. Flo menatapku sesaat kemudian mengangguk. “Jadi?”
“Flo ke perpustakaan saja, Bu.”
“Baik. Nanti Ibu akan menemuimu lagi.” Setelah mengangguk pelan Flo beranjak menuju perpustakaan. Kupandangi dia sampai menghilang saat berbelok ke samping lab computer. Sebelum beranjak ke kelas 7F, kusempatkan dulu menuju kelas Flo untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
***** ***** *****
Kurang lebih empat puluh lima menit setelahnya aku sudah duduk di hadapan Flora di sudut tersepi perpustakaan. Flo masih tak mau memandang wajahku. Kadang aku harus berkali-kali menarik nafas panjang jika menghadapi Flora.
Pada dasarnya Flora anak yang cerdas. Wawasannya juga luas, karena dia suka sekali membaca. Yang menjadi permasalahan ialah sikap diam dan ketakacuhannya pada sekitar. Dulu aku sempat menduga Flo termasuk anak berkebutuhan khusus. Tetapi setelah lama aku mengamati, mencoba mendekati dan berinteraksi dengannya, kusimpulkan dia seperti anak-anak lainnya. Hanya saja dia begitu, ya… tidak banyak bicara.
“Jadi? Tadi itu kenapa?” tanyaku. Sebenarnya dari hasil kunjunganku ke kelas Flo tadi, sudah ada informasi. Flo bertengkar dengan temannya Neta. Bahkan mereka sempat melakukan kontak fisik.
Flora menarik nafas panjang. Dilihat dari gelagatnya, Flo sepertinya akan bersuara kali ini.
“Apa menurut Bu Layla semua orang harus sama?” Flo menjawab pertanyaanku dengan bertanya. Ini membuatku terkejut. Sambil berfikir ke mana arah pertanyaannya, aku tersenyum.
“Tentu saja tidak,” kataku. “Setiap orang itu kan memiliki karakteristik masing-masing. Bahkan dua orang yang kembar identik pun pasti tidak akan seratus persen sama, ‘kan?”
“Lalu mengapa orang-orang selalu menuntutku untuk sama dengan mereka?” Flo menatapku tajam.
“Maksudmu?”
“Mereka selalu menganggapku aneh, Bu. Hanya karena aku tidak sama seperti mereka.” Ada kemarahan kurasakan dalam ucapan Flo.
“Mereka itu siapa?”
“Siapa lagi? Neta dan teman-temannya tentu saja. Juga orang-orang lainnya.” Sejenak flo menatap ke arahku sebelum kembali menerawang.
“Ibu bersedia mendengar ceritamu,” kataku.
“Tak ada cerita, Bu. Aku hanya muak. Mereka selalu membullyku hanya karena aku lebih suka diam dibanding bicara. Mereka menyindirku karena aku lebih suka menekuni buku ketimbang mengobrol dan tertawa-tawa seperti mereka. Juga karena kesukaanku tidak sama dengan mereka.”
“Flo… mungkin sebenarnya mereka begitu karena mereka ingin dekat denganmu, tetapi tidak tahu caranya,” bujukku. Flora mengernyitkan dahinya. Lalu tersenyum hambar.
“Bu, bukan begitu cara memulai pertemanan. Cukup mereka tersenyum padaku, aku akan menyambut. Bukan dengan mengejek, menyindir-nyindir, mengata-ngatai….”
Aku tertegun. Selama ini memang kulihat Flo tidak memiliki teman dekat di kelas seperti anak-anak pada umumnya. Seperti yang dia katakan tadi, dia memang tak banyak bicara. Jika yang lain berkumpul mengobrol, membicarakan hal-hal yang mungkin menarik di kalangan mereka, Flo akan terlihat sendiri asyik sendiri. Kadang memang kulihat dia bercakap-cakap dengan anak lain. Tetapi itu jarang sekali. Lebih sering dia asyik dengan buku di tangannya.
“Sebenarnya, apa yang membuatmu tidak suka bergaul sengan teman-teman?”
“Aku bergaul, Bu. Aku kadang mengobrol dengan Jehan, dengan Harits, dengan Nabila.”
“Ya, ya, ibu tahu…. Maksud ibu, selain dengan mereka. Bukankah yang lain juga teman-temanmu? Mungkin mereka juga ingin bicara denganmu, seperti ketika kamu mengobrol dengan Jehan, Harits dan Nabila.” Kulihat Flora menarik nafas panjang.
“Tidak bisa, Bu. Aku sudah mencoba. Aku kurang nyaman bicara dengan yang lain. Kami agak… kurang nyambung. Aku nggak ngerti saat mereka ngomongin BTS, Jimin, black pink, atau siapalah itu…. Mereka juga terlihat bosan kalau dengar aku cerita. Makanya, aku lebih memilih diam saja. Lebih baik aku melanjutkan bacaanku dan nggak ikut bergabung kalau mereka ngumpul-ngumpul.” Flo meremas-remas tissue yang sejak tadi dipegangnya. “Tapi mereka malah membullyku. Bilang aku kudet, kampungan, norak,” katanya.
Aku masih menyimak. Sambil mengamati Flo diam-diam. Dengan isyarat kuminta dia untuk meneruskan ceritanya.
“Aku nggak bisa maksa kalau aku merasa nggak nyaman, Bu. Mungkin orang lain bisa, berpura-pura suka mendengar obrolan yang padahal mereka nggak ngerti sama sekali. Lalu ikut tertawa, seolah mereka tahu di mana letak ucunya. Tapi aku nggak bisa. Kadang aku juga malas ikut ngobrol dengan mereka karena yang mereka bicarakan nggak ada gunanya buat aku. Obrolan tentang cowok kecengan, oppa korea yang mereka suka, gimana caranya ngeprank teman yang lain. Aduuh, Bu. Itu kan buang-buang waktu aja.”
“Lalu?”
“Aku pernah, bilang ke mereka, apa sih serunya ngomongin itu? Tapi mereka malah marah. Itu sebabnya aku lebih suka sendiri,” kata Flo polos. Sebisa mungkin kutahan senyum yang ingin menyeruak dari bibirku.
“Kadang aku mikir sendiri ya, Bu. Apa memang aku yang aneh karena nggak bisa seperti mereka?”
“Hei, jangan berpikir negative tentang diri sendiri. tadi kan sudah ibu bilang kalau setiap manusia memiliki karakter berbeda.”
“Tapi nggak semua orang berpikir seperti Bu Layla, sepertinya.”
“Oya?”
“Ya, karena aku seringnya menemukan orang-orang yang mengharap aku seperti mereka. Sama cerewetnya. Sama banyak bicaranya. Banyak juga yang beranggapan orang yang lebih suka diam seperti aku adalah orang yang bodoh, tidak tahu apa-apa dan tidak bisa berbuat apa-apa.”
“Wah, ibu baru tahu ada yang seperti itu.”
“Ah, ibu mah pura-pura. Aku yakin ibu pernah menemukan yang seperti itu.” Flora agak cemberut. Aku tersenyum.
“Lalu?”
“Yah, itu bikin aku sebal, marah, kesal, dan bikin aku makin gak mau dekat-dekat orang seperti itu. Bukan cuma teman-teman loh, Bu. Guru juga ada yang seperti itu.”
“Hei, jangan berburuk sangka.”
“Bukan berburuk sangka. Tapi memang ada—aku nggak akan bilang itu siapa—tapi aku tahu, dari caranya bicara denganku, aku tahu dia menganggap aku nggak punya kemampuan apa-apa. Makanya aku jadi males juga kalau jam pelajarannya.” Flora tersenyum kecut. Lalu kemudian dia seperti baru menyadari sesuatu. “Ya ampun. Dari tadi aku bicara terus. Jangan-jangan ibu bosan.” Katanya panic. Aku tertawa.
“Itu yang ibu tidak habis pikir sejak tadi,” kataku. “Katanya kamu bertengkar tadi gara-gara Neta membullymu karena kamu begitu pendiam. Tapi nyatanya….” Aku tersenyum menggoda Flo.
“Karena aku nyaman kalau bicara dengan ibu,” katanya.
“Oya?”
“Ya. Ada orang-orang yang dengan mereka aku bisa bicara banyak. Di antaranya ya dengan Bu Layla, lalu Jehan, Harits, Nabila. Mama, Papa… dan beberapa orang lainnya” Katanya. Pandangan Flora menerawang.
“Wah. Apa tidak bisa kalau kamu menyamankan dirimu juga saat kamu mencoba bicara dengan yang lainnya?”
“Itu nggak bisa dipaksakan, Bu.”
“Oh ya?”
“Iya.” Flo mengangguk tegas. “Walaupun aku memaksakan diri, kalau rasa nggak nyaman sudah muncul, biasanya aku memilih langsung menyudahi obrolan. Kadang rasa nggak nyaman itu muncul, selain karena obrolan yang gak nyambung, sering juga karena gesture dan raut wajah orang yang bicara sama aku juga.”
“Oya? Gimana maksudnya?”
“Iya. Kadang begini, Bu, misalnya di awal aku senang ngobrol dengan orang itu, tapi kemudian ekspresi dia nunjukin hal-hal yang bikin aku nggak enak, aku jadi ilfil, trus males lagi ngelanjutin obrolan.”
“Ekspresi bagaimana itu?”
“Kayak ekspressi gimana ya, mencemooh, meremehkan, terpaksa, merendahkan… yaa… gitu-gitu deh…”
“Wah, ini menarik, Flo. Tapi apa nggak mungkin kamu salah mengartikan ekspresi mereka.”
“Biasanya sih enggak, Bu. Kalau ngobrol biasanya aku sambil mengamati. Apalagi mata. Mata itu seringnya nggak bisa bohong, ‘kan Bu?” kata Flo serius.
Mendengar ucapan Flo, aku sedikit terperangah. Benarkah anak ini usianya baru tiga belas tahun? Tapi aku sadar, selama bergelut di dunia pendidikan, berinteraksi dengan berbagai karakter anak didik, tak jarang kutemukan anak-anak yang pola berpikirnya jauh melampaui usianya. Seperti Flora ini, misalnya.
Dalam kesempatan itu dia mencurahkan semua yang ia rasakan. Terutama bagaimana dia sampai bentrok dengan Neta dan teman-teman. Aku memberinya beberapa masukan, juga pandangan-pandangan ldari sisiku sebagai guru sekaligus walikelasnya. Terakhir kuambil upaya melakukan mediasi agar Flora dan Neta kembali berbaikan. Diakhiri dengan memberi pengertian-pengertian pada mereka juga teman-temannya untuk saling menghargai satu sama lain.
Masalah mereka selesai. tetapi justru aku merasa tugasku belum selesai. Merenungi lagi masalah Flo dan teman-temannya, aku semakin menyadari, betapa kompleksnya permasalahan yang seringkali muncul di antara para siswa. Mulai dari permasalahan keluarga yang sudah pasti akan berpengaruh pada siswa, masalah-masalah antar teman, masalah buliying yang bisa menjadi begitu mengerikan dampaknya, masalah kurangnya kepercayaan diri, masalah kurangnya motivasi, pengaruh pergaulan teman sebaya yang mengarah pada hal-hal negative, semua bisa muncul di antara mereka.
Ini menjadi pe-er untuk kami para pendidik—dan tentu saja para orangtua—untuk mampu mengatasinya, lebih baik lagi jika mampu mencegah sebelum munculnya. Yah, tentu saja pada akhirnya seluruh lapisan masyarakat juga harus mengambil peran di dalamnya.
*****Tamat*****
Penulis adalah Guru Bahasa Indonesia SMPN 3 Ngamprah Kab. Bandung Barat
Terus menulis agar semua terinfirasi dengan energi positif
Teruslah berkarya agar semua terinfirasi energi positif