Oleh: Ading Rosidi, S.Pd
(SMPN 1 Cihampelas)
Pendidikan memiliki peran dalam pembentukan manusia yang berkualitas dalam pembangunan bangsa dan negara. Hal tersebut selaras dengan tujuan pembangunan nasional dalam bidang pendidikan, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia dalam mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.
Menurut Ki Hadjar Dewantara, pendidikan merupakan usaha persiapan dan persediaan untuk segala kepentingan hidup manusia, baik dalam hidup bermasyarakat maupun hidup berbudaya dalam arti yang seluas-luasnya.
Di dalam proses pendidikan terdapat proses pengajaran. Guru berperan sebagai pendidik dan pengajar. Guru sebagai pendidik, artinya mampu menuntun dan mendampingi anak tanpa paksaan sehingga anak tersebut dapat mencapai kebahagiaan sesempurna mungkin dalam kehidupannya.
Guru sebagai pengajar artinya mampu melakukan transfer ilmu kepada anak menjadi cakap dan terampil. Hal yang dilakukan guru tersebut sesuai dengan trilogi pendidikan Ki Hadjar Dewantara yaitu “Ing ngarsa sung tuladha (di depan memberikan contoh). Ing madya mangun karsa (di tengah memberikan semangat). Tut wuri handayani (di belakang memberikan dorongan)”.
Ki Hadjar Dewantara juga menyampaikan pemikiran filosofisnya tentang Pendidikan yang terdiri dari enam hal, yaitu menuntun, kodrat alam dan kodrat zaman, budi pekerti, bermain, berhamba (berpusat) pada anak, dan analogi petani.
Proses menuntun dilakukan dengan memperhatikan kodrat alam dan kodrat zaman anak tersebut. Kodrat alam merupakan kondisi anak sejak lahir yang dipengaruhi kultur budaya dan lingkungan tempat anak berada.
Sedangkan kodrat zaman adalah perubahan yang selalu terjadi dari waktu ke waktu. Anak berhak mendapatkan pendidikan dengan cara yang sesuai dengan kodrat alam dan kodrat zamannya sendiri. Oleh karena itu, guru harus senantiasa mengembangkan kompetensinya agar dapat selaras dengan perubahan dan perkembangan zaman, sehingga dapat menciptakan pembelajaran yang menyenangkan.
Proses pembelajaran dilakukan dengan menyenangkan seperti bermain agar ilmu dapat diserap anak secara lebih kekal. Selain itu, pembelajaran yang dilakukan harus berpihak (berhamba) pada anak, guru berperan untuk menuntun dan mengarahkan anak agar tidak salah arah.
Guru dianalogikan sebagai petani atau tukang kebun, sedangkan murid diibaratkan benih-benih yang disemai dan ditanam di lahan yang disediakan. Jika benih ditempatkan di tanah subur dengan sinar Matahari dan pengairan yang baik serta perawatan dari petani maka benih tersebut akan tumbuh menjadi tanaman yang baik meskipun benih awalnya kurang baik. Begitu pula dalam hal pendidikan pada anak.
Dalam proses menuntun, anak diberikan kebebasan untuk menemukan kemerdekaannya dalam belajar, sedangkan guru sebagai pamong dapat menuntun dan mengarahkan agar anak tidak kehilangan arah dan membahayakan dirinya.
Berdasarkan atas pemikiran-pemikiran Ki Hadjar Dewantara tersebut, maka pemerintah telah merevisi tujuan pendidikan di Indonesia yaitu terwujudnya Profil Pelajar Pancasila, maksudnya adalah pelajar Indonesia ialah pelajar yang memiliki nilai- nilai : Beriman dan bertaqwa Kepada Tuhan yang Maha Esa dan berakhlak mulia, Mandiri, Bernalar Kritis, Kebhinekaan Global, Bergotong royong dan Kreatif.
Untuk mencapai hal terebut di atas, diperlukan adanya suasana yang kondusif melalui penumbuhan budaya positif di lingkungan sekolah.
Salah satu bagian budaya positif adalah keyakinan kelas. Keyakinan kelas merupakan nilai-nilai universal yang diyakini bersama, berasal dari dalam diri, dan tanpa paksaan.
Murid melakukan sesuatu karena memiliki motivasi yang dibagi menjadi tiga, yaitu untuk menghindari ketidaknyamanan atau hukuman, untuk mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain, dan untuk menjadi orang yang mereka percaya. Dengan keyakinan kelas, murid melakukan suatu tindakan didasari oleh keyakinan berdasarkan motivasi intrinsik.
Sebagai langkah awal dalam mewujudkan budaya positif di lingkungan SMPN 1 Cihampelas Kab. Bandung Barat, penulis mengajak murid untuk membuat Keyakinan Kelas.
Keyakinan Kelas bersumber dari nilai-nilai positif yang dimiliki murid, harapan yang diinginkan murid dan harapan guru pada murid. Keyakinan Kelas berupa kalimat positif, lugas, mudah dipahami dan bisa ditinjau untuk dikembangkan.
Penulis mengajak semua murid agar terlibat dalam membuat Keyakinan Kelas melalui kesepakatan bersama, sehingga diharapkan nantinya mereka akan merasa bertanggung jawab terhadap kesepakatan yang mereka buat malalui keyakinan kelas dan mereka yakin bahwa kesepakatan yang mereka buat adalah nilai-nilai positif yang mereka yakini kebenarannya.
Keyakinan Kelas yang telah disusun nantinya diharapkan dapat dipatuhi oleh semua murid dalam minimal dalam satu kelas tertentu.
Pada awal pembelajaran penulis mengajak seluruh murid untuk berdiskusi membuat kesepakatan bersama yang difokuskan pada disiplin positif dan Keyakinan Kelas dalam proses pembelajaran di kelas (baik saat luring atau pun daring). Disiplin positif ini disusun bersama antara guru dengan Murid, dan lebih banyak
Murid sendiri yang menentukan, tentu dengan arahan guru. Murid diarahkan untuk memunculkan usulan, ide, dan gagasannya tentang bagaimana mewujudkan kelas yang nyaman, sekaligus disiplin, dan mendukung pencapaian tujuan pembelajaran.
Kegiatan yang dilakukan adalah dengan bertanya, bagaimana bentuk dan isi kegiatan dalam kelas yang murid inginkan. Nilai-nilai positif yang berhasil mereka tulis dan mereka diskusikan ditempel di papan tulis untuk sama-sama dipilih dan dan disepakati. Guru dan murid menyepakati 6 sampai 7 poin yang dianggap paling penting untuk dijadikan Keyakinan Kelas.
Sebagai calon guru penggerak, penulis berusaha untuk berbagi kegiatan budaya positif yang dilakukan baik di kelas maupun di sekolah. Penulis mencoba berbagi penerapan budaya positif melalui penerapan Keyakinan Kelas ini kepada rekan sejawat di sekolah tenpat penulis bertugas agar dapat diterapkan di semua kelas yang ada di SMPN 1 Cihampelas, bahkan penulis juga berusaha untuk berbagi dengan rekan guru di komunitas MGMP Subrayon 04 Kab. Bandung Barat.
Tujuan
Melalui kegiatan berbagi filosofi pemikiran Ki Hajar Dewantara dan Budaya Positif ini, penulis berharap dapat memberikan pengalaman kepada murid dalam membuat kesepakatan secara demokratis. Kemudian, memberikan sarana kepada murid untuk mengungkapkan keinginan dan perasaan dalam proses pembelajaran sehingga tercipta pembelajaran yang berpihak pada murid.
Berikutnya, penulis dapat mewujudkan budaya positif di kelas dan sekolah melalui penerapan kesepakatan kelas sehingga murid menjadi pribadi yang bertanggung jawab, mandiri dan berakhlak mulia. Akhirnya, dapat berbagi penerapan budaya positif kepada teman sejawat di komunitas sekolah maupun komunitas MGMP Subrayon 04.
Tolok Ukur Kegiatan
Agar kegiatan berbagi budaya positif ini dapat bermanfaat maka, tolok ukur yang menurut penulis tepat dalam mengukur keberhasilan kegiatan tersebut adalah terciptanya suasana demokratis dalam pembuatan kesepakatan kelas. Kemudian, terakomodasinya gagasan, perasaan dan harapan murid dalam menyusun kesepakatan kelas.
Selanjutnya, terwujudnya kesepatakan kelas yang dapat diterapkan oleh guru dan murid. Kemudian, terciptanya budaya positif di kelas dan sekolah, dan terciptanya sharing penerapan budaya positif kepada teman sejawat di komunitas sekolah dan MGMP Subrayon 04.
Capaian Kegiatan
Kegiatan yang penulis laksanakan mampu menjadikan murid berdisiplin dalam mengikuti pembelajaran, sekaligus tetap nyaman dan merasa aman. Kemudian, mereka menunjukkan sikap religius dengan selalu rajin berdoa setiap akan memulai kegiatan. Selanjutnya, Murid menunjukkan sikap saling menghargai dan sopan santun.
Berikutnya adalah murid menunjukkan sikap tidak membeda-bedakan (suku, agama, RAS, ciri fisik, gender, dll) serta saling membantu dalam kebaikan, dan Murid bersegera mengumpulkan tugas sesuai waktu yang ditentukan.
Akhirnya, poster Kesepakatan Kelas tentang Budaya Positif diupload di WA grup dan Ruang kelas saat sudah luring (tatap muka), dan poster menjadi sarana membentuk Budaya Disiplin yang disepakai seluruh murid dalam kelas.
Simpulan
Penulis merasakan mulai adanya perubahan kedisiplinan di kalangan murid, baik pada saat melakukan kegiatan pembelajaran di kelas, ataupun pada kegiatan-kegiatan di luar kelas. Hal ini menjadikan keyakinan bagi penulis bahwa penerapan budaya positif di sekolah harus dimulai dari kelas dengan mengajak semua murid untuk peduli dan bertanggung jawab terhadap nilai-nilai positif yang mereka yakini kebenarannya
Sebagai bahan perbaikan, agar penerapan budaya positif dapat menghasilkan perubahan yang diharapkan, maka direncanakan setiap enam bulan butir-butir kesepakatan kelas sebagai acuan pembentukan budaya positif akan dievaluasi dan diperbaiki.
Jika terdapat item budaya positif membudaya, maka diganti dengan item lainnya, sehingga akan semakin banyak item-item budaya positif yang dapat ditumbuhkan pada murid.
Koordinasi dan kolaborasi dengan orang tua dan guru BK tampaknya juga penting dilakukan, agar penanaman budaya positif lebih cepat terbentuk, serta terawat.***
Profil Penulis
Ading Rosidi, S.Pd, Lahir di Bandung pada tanggal 10 Agustus 1968, dan berdomisili di Desa Cihampelas Kecamatan Cihampelas Kabupaten bandung Barat, Pendidikan terakhir Sarjada Pendidikan Fisika, Pengalaman mengajar SMA Negeri 3 Bima NTB tahun 1993-1998, SMPN 1 Cadasngampar Sumedang 1998-2001, dan SMPN 1 Cihampelas 2001 sampai dengan sekarang. Antara tahun 2005 sampai tahun 2017 Penulis pernah menjadi Fasilitator/Instruktur pada kegiatan Kurikulum KBK, Lesson Study, USAID Prioritas, dan Kurikulum 2013. Penulis juga pernah menjadi Ketua MGMP IPA Subrayon 04, dan Pengurus inti pada MGMP IPA Kabupaten antara tahun 2008 sampai tahun 2021.
Pewarta: Adhyatnika Geusan Ulun