Oleh: Risma Dwi Arumi Gustiana, S.Pd., Gr.
(Guru SMKN 1 Cipatat)
Tidak perlu menjadi seorang penulis handal untuk menulis ekspresif, yang diperlukan hanyalah memahami rasa lalu ekspresikan dalam goresan agar menjadi sebuah karya.
Menulis merupakan salah satu cara untuk menuangkan dan mengomunikasikan apa yang kita rasakan. Pennebaker (1997) mengungkapkan bahwa kemampuan menuliskan emosi dan mengegkspresikan perasaan membantu individu untuk mengurangi pikiran-pikiran negatif dan emosi terutama yang berkaitan dengan trauma. Kegiatan menulis ekspresif ini dapat membantu individu mengurangi tingkat stress dan meningkatkan self–efficacy emotional sehingga dapat meningkatkan kecerdasan emosional dan sikap yang lebih baik.
Kegiatan belajar intrakurikuler, ko-kurikuler, dan ekstrakurikuler pada tingkat jenjang atas terutama SMK dengan pembelajaran dari pagi sampai sore membuat peserta didik lelah dan rentan mengalami stress. Pada usia 15-18 tahun tersebut mereka sering mengalami dilema ataupun trauma dengan adanya perubahan kondisi sikap atau situasi baik di keluarga, sekolah, maupun lingkungan masyarakat (tempat bergaul). Kondisi tersebut membuat emosi mereka menjadi tidak stabil dan membuat mereka mencari kesenangannya sendiri terutama melalui gadget.
Berdasarkan hasil pembelajaran sosial emosional (PSE) yang penulis laksanakan di SMKN 1 Cipatat melalui mindfullness, membuka mata penulis pada sisi lain kondisi peserta didik. Di balik seragam dan sikap yang mereka tunjukkan ternyata ada luka pada diri mereka, dimana 5 kebutuhan dasar manusia tidak terpenuhi baik kasih sayang dan rasa diterima, kebebasan, kesenangan, penguasaan, dan bertahan hidup. Faktor tersebutlah yang membuat mereka menjadi acuh tak acuh, tidak sopan, frontal, arogan, dan kurang memiliki motivasi belajar.
Di setiap kelas hanya 10-15% peserta didik di setiap kelas yang terpenuhi kebutuhan dasarnya. Oleh karena itu, banyak peserta didik di SMKN 1 Cipatat menuangkan perasaannya melalui status di media sosial. Hal tersebut membuat penulis tergerak untuk menyediakan wahana atau ruang bagi peserta didik untuk menuangkan perasaannya melalui tulisan dalam bentuk karya. Penulis berpikir harus ada sebuah program yang berpihak pada peserta didik terkait sosial emosional mereka, agar apa yang mereka ekspresikan dapat menjadi hal positif dan menjadi sebuah karya. Berdasarkan hal tersebut, penulis meminta izin dan dukungan dari pimpinan sekolah untuk membuat sebuah program ko-kurikuler yang masih bagian dari literasi yaitu GAME Skancip (Gerakan Aktif Menulis Ekspresif SMKN 1 Cipatat).
Tujuan program dari ko-kurikuler GAME Skancip ini di antaranya:
- Mengasah sosial dan emosional peserta didik dengan menuangkan perasaan dan pikiran melalui sebuah karya.
- Mengasah keterampilan menulis peserta didik.
- Meningkatkan minat baca melalui karya yang merka buat.
- Membentuk sosial emosional peserta didik yang lebih baik.
Tujuan tersebut tidak terlepas dari salah satu cara menumbuhkembangkan kepemimpinan murid melalui suara (voice), pilihan (choice), dan kepemilikan (ownership).
Melalui program ini, peserta didik belajar mengenal dan memahami perasaan yang kemudian diekspresikan melalui tulisan (voice), peserta didik diberi kebebasan dalam memilih bentuk karya (puisi, cerpen, cerita bergambar, gambar/lukisan, dll) untuk menuangkan perasaannya (choice), dan belajar mengapresiasi karya peserta didik lainnya dengan memberikan saran dan kritik yangmembangun melalui pojok saran yang disediakan sehingga dapat meningkatkan kualitas karya yang dibuatnya (ownership).
Target dari program ini meliputi peserta didik dari semua keahlian kompetensi kelas X-XII, yang dilaksanakan 1 minggu sekali dengan tema yang berbeda. Setiap karya yang telah dibuat dan dipajang di mading dipilah berdasarkan jenis oleh tim mading yang melibatkan guru bahasa dan peserta didik yang telah memiliki karya tulis yang diterbitkan. Pengklasifikasian karya tersebut kemudian akan didokumentasikan ke dalam bentuk antologi karya peserta didik oleh tim media sekolah.
Penulis berharap, melalui program ko-kurikuler ini, peserta didik dapat lebih berpikiran terbuka bukan hanya sekedar literasi tetapi bisa mengolah rasa melalui karya. Tidak perlu menjadi seorang penulis handal untuk menulis ekspresif, yang diperlukan hanyalah memahami rasa lalu ekspresikan dalam goresan agar menjadi sebuah karya. Seperti kutipan,
“Besok dimanapun anda berada, lakukan perubahan kecil di kelas anda.” – Nadiem Makarim. Itulah yang akan penulis laksanakan. Salam guru penggerak!
Tergerak, bergerak, menggerakkan! ***