Cerpen Siswa: Lutpiatuj Jakiah
(SMPN 1 Cipongkor)
Putri memakai sepatunya dengan malas, kalau bisa selama seminggu ini ia ingin bolos
sekolah saja. Namun, bunda pasti akan marah. Ulangan tengah semester telah selesai. Minggu ini, di
sekolah sedang berlangsung pekan olah raga.
“Sudah siang Putri, ayo lekas. Nanti terlambat!” tegur bunda.
“Enggak belajar kok bunda, lagi pekan olah raga,” menyahut dengan malas
“O iya, kamu ikut olah raga apa Putri?” tanya bunda
“Aku dimasukan ke tim lari estapet oleh Pak Guru, satu tim dengan Tikah,” suara Putri
terdengar pelan.
“Bagus dong, lari kalian kan memang cepat. Tapi kamu seperti tidak semangat? Ada apa?” bunda menyelidik.
Putri menunduk dan menggeleng.
“Putri…?” bunda tidak suka dengan gelengan kepala putri.
“Putri tidak mau satu tim dengan Tikah,” ucap Putri.
“Putri mau satu tim dengan Sabil saja, tapi Pak Guru bilang tidak bisa ditukar,” lanjutnya.
“Bukankah seharusnya kamu senang Kalian kan bersahabat?” bunda bertanya sambil duduk dan mengelus rambut anak kesayangannya.
Tidak lagi jawab Putri dalam hati
***
Mereka bertengkar gara-gara Putri tidak mau memberikan contekan matematika saat ulangan tengah semester kemarin. Sampai hari ini mereka belum bicara dan bercanda lagi. Kalau berpapasan di koridor sekolah, Putri dan Tikah pura-pura tidak melihat. Di dalam kelaspun mereka seperti tidak saling mengenal.
Putri tidak mau meminta maaf duluan, seperti kejadian dulu waktu buku PR Tikah tersiram air. Doni yang menumpahkan langsung melarikan diri. Karena memang hanya Putri yang duduk di sana, Tikah langsung menyalahkannya. Sementara ia tidak sempat membela diri.
Sebagai tanda permintaan maaf, Putri membuat gelang yang ia buat sendiri. Gelang mungil berwarna biru, warna yang menjadi kesukaan Putri dan Tikah. Gelang tersebut Putri buat satu untuk dirinya dan satu untuk Tikah. Gelang tersebut Putri berikan kepada Tikah dengan harapan mereka akan Kembali berbaikan. Waktu memakai gelang itu mereka berjanji untuk tidak bermusuhan lagi.
Putri melirik pergelangan tangannya. Gelang biru tanda persahabatan itu sudah ia lepas dari kemarin. Putri juga melihat Tikah tidak memakainya lagi. Mereka benar-benar tidak lagi bersahabat sekarang.
“Ayo bunda, kita berangkat,” ujar Putri setelah selesai mengikat tali sepatunya. Ia tidak ingin bunda bertanya ada apa dengannya dan Tikah.
“Baiklah, ayo sayang,” bunda menjawab dan mengambil kunci motor untuk mengantar Putri ke sekolah.
***
Suasana sekolah hari ini cukup ramai karena pekan olah raga adalah salah satu kegiatan yang ditunggu-tunggu oleh siswa untuk ikut mengharumkan nama kelasnya.
Lina memanggil Putri untuk mendekat karena nama mereka sudah dipanggil untuk masuk ke lapangan. Lomba lari estapet Putri akan segerai dimulai. Dengan malas, Putri mendekat dan menghampiri Lina.
“Yang semangat dong!” Ratih menepuk pundak Putri. Ratih tadi sedang mengobrol dengan Tikah yang langsung membuang pandangannya ke pinggir lapangan, setelah Putri mendekat.
Putri menguatkan diri. Perasaan kesal dan sebal pada Tikah masih ada di hatinya, karena Tikah marah-marah dengan alasan tidak diberi contekan ketika ujian. Tapi demi pertandingan lari estapet ini aku akan berjuang ucap Putri dalam hati. Untungnya Putri menjadi pelari pertama yang membawa tongkat, dilanjutkan oleh Tikah selaku pelari yang membawa tongkat terakhir. Dengan begitu Putri tidak perlu menatap dan bersentuhan tangan dengan Tikah.
Ternyata tim Putri kalah oleh tim Sabil. Tikah marah-marah dan menyalahkan Putri atas
kekalahan itu.
“Seharusnya Putri tidak satu tim dengan kita! Larinya lambat sekali tadi! Semua gara-gara dia!” omel Tikah.
“Sudahlah…itu bukan salah Putri, ini kan kerja tim, kalah dan menang kita tanggung
bersama,” Ratih menyela sambil melingkarkan tangannya dipinggang Putri dan mengajaknya untuk beristirahat di pinggir lapangan.
Putri ingin menangis mendengar perkataan Tikah. Selalu saja Tikah menyalahkan dirinya. Untunglah teman yang lain tidak ikutan menyalahkannya. Lari tim mereka memang kalah cepat dari tim Sabil. Putri pun mengakui itu, tetapi dia tadi sudah berusaha semaksimal mungkin dan berlari sekencang mungkin.
***
Bel pulang sekolah pun terdengar nyaring, para siswa berlarian keluar dari gerbang sekolah. Di parkiran tampak bunda sudah datang menjemput. Putri menghampiri bunda dengan lemas.
“Kenapa Putri, kok lemes begitu?”Kamu sakit nak?” bunda terlihat cemas.
“Tidak apa-apa bunda, Putri baik-baik saja,” Putri menyahut dan berusaha meyakinkan
bundanya.
“Benarkah?” bunda masih penasaran.
“Benar bunda, jangan khawatir Putri baik-baik saja kok. Ayo kita pulang Putri sudah lapar tak sabar ingin menyantap masakan bunda yang enak!” Putri mengakhiri perkataannya dengan senyum.
“Baiklah kalau begitu ayo naik!” bunda menyodorkan helm untuk Putri pakai.
Putri menerima helm yang bunda sodorkan dan segera memakainya agar bunda tak banyak bertanya lagi,karena kalau bunda terus bertanya Putri sudah tidak bisa berbohong lagi dan dia pasti akan menangis. Ah tidak, nanti aku disangka anak cengeng dan tukang ngadu gumamnya di dalam hati.
Di perjalanan pulang Putri tak berkata apapun. Dia memilih diam dan berpura-pura ngantuk agar bunda tidak mengajak bicara. Sesampainya di rumah Putri langsung masuk ke kamar dengan alasan igin segera mengganti baju olahraganya karena sudah bau keringat.
***
Suasana pagi yang cerah tapi tak begitu dengan suasana hati Putri. Putri merapihkan kerah baju seragam yang ia pakai, mengikat rambutnya agar tidak jatuh terurai. Terdengar suara bunda memanggil Putri untuk sarapan, Putri menyahut dengan malas , dia tidak begitu bersemangat untuk pergi ke sekolah hari ini, perkataan Tikah di sekolah kemarin masih teringat jelas dalam pikirannya membuat dia tambah kesal sekaligus sedih mengingat persahabatannya selama ini dengan Tikah.
Putri membuka pintu kamar dan berjalan menuju meja makan. Bunda dan adiknya Sahla sudah duduk disana sambil menyantap sarapan. Sahla adalah adik Putri satu-satunya, pada tahun ajaran ini dia baru masuk TK kelas nol kecil. Di rumah ini kami tinggal bertiga saja, karena Ayah sudah meninggal tiga tahun lalu akibat kecelakaan mobil yang dia kendarai. Putri selalu sedih kalau mengingat peristiwa itu.
“Ayo Putri, sarapan dulu sebelum sekolah!” suara bunda membuyarkan lamunan Putri. Bunda mengambilkan nasi untuk Putri dan menyimpannya di hadapan Putri yang sudah duduk disamping adiknya. Putri menyantap makanannya dengan pelan, entah mengapa rasa makanan pagi ini terasa hambar dan agak pahit, tapi Putri berusaha menghabiskan makanannya tanpa mengeluh. Walaupun kepala Putri terasa sedikit pusing.
Selesai sarapan Putri langsung berpamitan pada bunda untuk berangkat ke sekolah.
“Putri berangkat sekolah dulu bunda,” Putri berpamitan sambil mencium tangan bunda.
“eh tunggu dulu Putri, kenapa badan kamu panas sekali?“ bunda berkata sambil memegang tangan dan kening Putri. “kamu sakit nak,?” bunda terlihat sangat khawatir. Putri hanya berdiri karena memang dia merasakan badannya panas dan lemas ditambah lagi kepalanya terasa sangat pusing.
“Putri, kamu terlihat pucat nak. Ayo istirahat di kamar! Biar ibu menghubungi wali kelas mu untuk memberitahukan bahwa kamu tidak bisa sekolah hari ini karena sakit,” bunda mengandeng tubuh Putri ke Kamar. Putri tidak melawan karena pagi ini dia memang merasa tidak enak badan.
Hari ini Putri menghabiskan waktunya dengan beristirahat, Putri hanya rebahan saja
dikasurnya sambil memikirkan kegiatan apa saja ya kira-kira hari ini di sekolahnya. Hmmm…mungkin Tikah merasa senang, karena hari ini aku tidak masuk sekolah, Putri berkata dalam hatinya.
Suara ketukan pintu kamar membuyarkan lamunan Putri tentang peristiwa kekelahan
timnya kemarin di sekolah. Putri menoleh dan melihat bunda masuk kamar dengan membawa secangkir coklat panas.
“Bunda baru tau kalau kamu bertengkar sama Tikah,” kata bunda sambil meletakan secangkircoklat panas di meja belajar.
Putri berusaha bangkit dari posisi tidurnya. Kepalanya terasa sedikit pusing .
“Bunda tau dari mana? Ada yang mengadu ke bunda ya?”
“Tidak baik bertengkar lama-lama. Selama ini kan, kalian memang sering bertengkar tapi tidak lama kalian baikan lagi,.”
Putri melengos tak suka mendengar ucapan bunda. Mereka memang selalu segera
berbaikan kalau bertengkar. Namun, selama ini Putri yang selalu mengalah dan meminta maaf duluan.
“Mengalah tidak apa-apa kok!” bujuk bunda seperti tau apa yang Putri pikirkan.
“Tikah mau menang sendiri bunda. Putri cape mengalah terus-terusan,” Putri berkata
sambil cemberut. Bunda tersenyum mendengar perkataan Putri.
“Mengalah bukan berarti kalah…” bunda melanjutkan perkatannya dengan lembut sambil membantu Putri untuk duduk dan meminum coklat hangat.
“Itu malah menandakan kalau kamu anak bunda yang punya jiwa besar” bunda menekan hidung Putri.
“Lagipula… kamu adalah anak bunda yang paling baik,” Bunda mengelus kepala Putri. Putri menunduk.
“Nah sekarang bunda suruh Tikah masuk ke kamar mu, ya?”
“Tikah datang ke sini bunda?” tanya Putri tidak percaya mendengarnya.
“Iya…Dia mau meminta maaf katanya. Tikah datang membawa puding kesukaan Putri loh. Nanti bunda iris dan bawa ke kamar ya, biar bisa makan berdua dengan Tikah,” kata bunda sambil tersenyum.
Saat itu Putri melihat gelang tanda persahabatannya yang tergeletak di atas meja belajar. Gelang yang dia buat dengan sepenuh hati. Ah, mesti tanpa gelang persahabatan itu, mereka akan tetap menjadi sahabat.
Profil Penulis:
Assalamu’alaikum nama saya Lutpiatuj Jakiah, lahir pada
tanggal 22 Agustus 2007 di Bandung. Sekarang saya duduk di
kelas VIII.A SMPN 1 Cipongkor. Hobi saya membaca dan
menulis, saya bercita-cita menjadi seorang guru.
“Jangan menyerah dan jangan takut kalah!”
Pembimbing TMBB: Hanifah Munfarijah, S.Pd.Gr
Editor: Adhyatnika Geusan Ulun-Newsroom