Artikel: BUDHI SLAMET SAEPUDIN, S.Sos
(Pelaksana Bidang SMP Dinas Pendidikan KBB)
Belum lama ini, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy menyatakan bahwa pendidikan di Indonesia masih butuh penguatan dalam menggunakan standar Higher Order Thinking Skills (HOTS) sebagai salah satu standar internasional yang diakui oleh Indonesia. Lebih jauh, Mendikbud menyampaikan bahwa standar HOTS tersebut melibatkan banyak elemen dalam pendidikan, seperti konten, metodologi, pembelajaran guru, kesiapan murid, hingga sarana dan prasarana.
Bagi para penggiat dunia pendidikan, istilah HOTS mungkin bukanlah hal yang baru, tetapi bagi orang awam tentu bertanya-tanya, apa yang dimaksud dengan HOTS dan bagaimana hubungannya dengan dunia pendidikan di Indonesia. Berikut penulis uraikan secara singkat apa itu HOTS yang dihimpun dari berbagai sumber.
Higher Order Thinking Skills (HOTS) atau bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi keterampilan berpikir tingkat tinggi adalah cara berpikir pada tingkat yang lebih tinggi daripada menghafal, atau menceritakan kembali sesuatu. Definisi ini dikutip dari artikel karya Alice Thomas dan Glenda Thorne yang berjudul How to Increase Higher Order Thinking (2009).
Benjamin S. Bloom dalam bukunya berjudul Taxonomy of Educational Objectivies (1956) mengkategorikan berbagai tingkat pemikiran mulai dari yang terendah hingga yang tertinggi yaitu pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi. Konsep Benjamin mengarah kepada tiga ranah tujuan pembelajaran yaitu Kognitif (keterampilan mental) Afektif (sikap dan perasaan), dan psikomotorik (kemampuan fisik/keterampilan).
Lorin Anderson, David Krathwohl, dkk. pada 2001, melakukan revisi pada ranah kognitif konsep taksonomi Bloom menjadi (1) mengingat (remember); (2) memahami (understand); (3) mengaplikasikan (apply); (4) menganalisis (analyze); (5) mengevaluasi (evaluate); dan (6) mencipta (create). Tingkat 1 sampai dengan 3 dikategorikan sebagai kemampuan berpikir tingkat rendah (LOTS) Low Order Thingking Skills. Sedangkan tingkat 4 sampai 6 dikategorikan sebagai kemampuan berpikir tingkat tinggi (HOTS).
Penerapan HOTS di dunia pendidikan Indonesia masih dianggap menjadi polemik. Dikutip dari JawaPos.com (4/5/2018), menyebutkan bahwa Metode HOTS dianggap tidak berpihak kepada siswa. Siswa diajak berpikir kritis dan menganalisis suatu persoalan tanpa dibarengi proses di dalam kelas sebelumnya. Sementara, pemerintah mengklaim penerapan HOTS bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Pada pembelajaran dengan Kurikulum 2013 yang telah direvisi, konsep HOTS mulai diterapkan. Tujuan penerapan HOTS dalam pembelajaran pada Kurikulum 2013 adalah mengkondisikan peserta didik untuk dapat berpikir kritis, logis, dan sistematis sesuai karakteristik mata pelajaran, serta memiliki kemampuan berpikir tingkat tinggi.
Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI) mengungkapkan presentase pencapaian siswa Indonesia sesuai standar yang ditetapkan di bidang Matematika adalah 77,13 %, membaca sebesar 46,83%, dan sains 73,61% (sumber: Pusat Penilaian Pendidikan, Kemendikbud RI, 2016). Dengan penerapan metode HOTS diharapkan standar presentase pada ketiga bidang tersebut bisa lebih meningkat lagi. Karena itu, banyak pekerjaan rumah dan tantangan bagi para penggiat dunia pendidikan di tanah air saat ini. Di satu sisi ada target keberhasilan pendidikan yang harus diraih, sedangkan di sisi lain, perkembangan jaman dan perubahan konsep pembelajaran begitu pesatnya. HOTS menjadi modal bagi peserta didik dalam menghadapi dinamika kehidupan ke depannya yang lebih kompleks. Dengan memiliki kemampuan berpikir tingkat tinggi, para peserta didik diharapkan mampu menjawab tantangan abad-21, di mana seseorang tidak hanya cukup mampu berpikir dan memahami saja, tetapi harus sanggup menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta.
Keren! HOTS, mengapa dan bagaimana, hingga anak belajar lebih kritis dan kreatif