Dadang A. Sapardan
(Kabid Kurikulum & Bahasa, Disdik Kab. Bandung Barat)
Pada waktu senggang, sempat membaca berita yang mengulas hubungan percintaan putra bungsu Presiden, Kaesang Pangarep dengan pasangan wanitanya. Terlepas dari benar dan tidaknya, dalam berita diungkapkan bahwa hubungan Kaesang dengan pasangannya teracam bubar karena terpicu jejak digital dalam media sosial yang pernah diekspresikan pasangannya. Ungkapannya tidaklah terlalu keras dengan bahasa yang kasar. Ungkapannya hanyalah sebatas kekecewaan terhadap kemenangan Jokowi atas kompetitornya pada saat pemilihan presiden. Jejak digital memang tidak bisa dihapus tetapi bisa diungkap kembali dengan berbagai motif.
Langkah kehidupan yang dijalani memang di luar kekuasaan manusia. Jejak langkah berkehidupan tidak bisa ditentukan secara pasti oleh manusia yang mengalaminya. Dalam perjalanan kehidupannya, manusia hanyalah dapat membuat prediksi dan ekspektasi sebagai pandangan kemasadepanan.
Saat ini berbagai kemudahan berkomunikasi dan bersosialisasi dalam dunia maya sudah menjadi bagian kehidupan keseharian manusia. Begitu mudahnya manusia behubungan secara langsung dengan manusia lain, tanpa terbatas ruang dan waktu. Siapapun bisa mengungkapkan ide, pemikiran, dan perasaannya di manapun dan kapanpun.
Efek positif dari adanya kemudahan dan kecepatan ini, kapanpun dan siapapun bisa dengan serta-merta mengungkapkan berbagai curahan ide, pemikiran, dan perasaan melalui media sosial yang diikutinya. Karena itu, bisa jadi curahan ide, pemikiran, dan perasaan tersebut dengan cepat menjadi konsumsi masyarakat luas yang sama-sama menjadi pengguna media sosial. Bentuk ekspresi tersebut pada akhirnya menjadi sebuah jejak digital yang tidak bisa terhapus, mana kala timbul keinginan untuk menghapusnya.
Bukanlah sesuatu yang bermasalah ketika curahan ide, pemikiran, dan perasaan tersebut merupakan ungkapan yang bernuansa positif. Permalahan yang ditemui dan harus dihadapi sebagai konsekwensi logisnya adalah ungkapan bernada negatif yang tidak menutup kemungkinan menyinggung bahkan menohok pada perseorangan atau secara kolektif—karena memang dimaksudkan untuk demikian.
Pada saat itu, curahan demikian bisa menjadi senjata pemuas yang digunakan oleh pembuatnya guna menumpahkan kekesalan terhadap orang lain yang ditujunya. Melalu pengekspresian pengungkapan tersebut beban berat yang bergelayut dalam hati bisa terkurangi karena sudah terlempar melalui sarana media sosial. Namun, bukanlah sesuatu yang tidak mungkin bahwa ungkapan yang terekspresikan pada media sosial tersebut merupakan curahan dengan tanpa pertimbangan matang karena didasari keinginan untuk secepat mungkin mengekspresikan kekesalan.
Pemanfaatan perangkat digital sehingga menjadi kompetensi yang dimiliki menjadi sebuah keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi karena kehidupan saat ini sudah tidak dapat menafikan akan warna aktivitas yang berbau digital. Karena itu, kepaiwaian dalam memanfaatkan perangkat digital benar-benar menjadi modal dalam memosisikan diri sebagai manusia yang bisa survive dalam kehidupan masa kini maupun masa depan.
Terkait fenomena maraknya penggunaan perangkat digital dengan media sosial di dalamnya tidaklah serta-merta menjadi sebuah kemudahan yang dapat dimanfaatkan dengan semena-mena. Memang, fenomena kehidupan saat ini diwarnai dengan berbagai kemudahan dan kecepatan—sebagai bagian dari dinamika kehidupan. Sekalipun demikian, setiap orang harus mampu mengikuti ritme dinamika yang tersaji di hadapan mata dengan bijak—menyandarkan diri pada tingkat kedewasaan berpikir dan keluasan pengetahuan. Hal itu perlu dilakukan sebab saat ini disinyalir bahwa tidak sedikit berbagai curahan pemikiran dalam berbagai media, terutama pada media sosial diungkapkan dengan begitu saja tanpa dibarengi tingkat kedewasan dan keluasan keilmuan.
Kepaiawaian manusia dalam mengikuti ritme kehidupan memang menjadi tuntutan mutlak sehingga bisa tetap survive dalam pusaran kehidupan yang sangat dinamis. Namun demikian, tuntutan tersebut tidak bisa dengan begitu saja dilakukan dengan kekosongan kedewasaan berpikir dan keluasan ilmu.
Karena itu, sebagai pengekang akan kebebasan berekspresi dalam media sosial adalah melakukan pengontrolan yang ketat—dengan dilandasi sikap kedewasaan dan keluasan imu, sehingga tidak menjadi bumerang yang akan merugikan diri sendiri di kemudian hari. ****Disdikkbb-DasARSS.