Oleh: Prof. Dr. H. Dinn Wahyudin, MA
(Universitas Pendidikan Indonesia)
Beduk atau bedug (dalam bahasa Sunda) merupakan alat musik tabuh. Beduk merupakan alat musik tradisional Nusantara sejak belasan abad lampau. Alat musik ini juga berfungsi sebagai alat komunikasi tradisional yang sering digunakan Masyarakat Indonesia dalam berbagai kegiatan. Dalam tradisi umat Islam di Indonesia, terutama di masa lampau, bunyi bedug sering digunakan sebagai pemberitahuan datangnya waktu sholat.
Dalam tradisi masyarakat Sunda dikenal dengan istilah bedug subuh – datangnya waktu sholat Subuh. Bedug lohor – datangnya waktu sholat dzuhur. Atau bedug magrib- datangnya waktu magrib. Bunyi bedug magrib inilah yang sering ditunggu tunggu umat muslim yang sedang melaksanakan ibadah puasa. Bunyi beduk Magrib tandanya saatnya berbuka puasa, untuk selanjutnya melaksanakan sholat magrib.
Menilik pada latar belakang Sejarah, tradisi menabuh bedug telah dilakukan belasan abad lampau di Nusantara. Asal usul bedug dijelaskan oleh seorang komandan ekspedisi Belanda, Cornelis de Houtman, dalam catatan perjalanannya, De Eerste Boek. Menurut dia, eksistensi bedug sudah meluas pada abad ke-16.
Saat dirinya tiba di Banten, setiap perempatan jalan digambarkan terdapat genderang yang digantung dan dibunyikan menggunakan tongkat pemukul. Fungsi daripada genderang tersebut adalah sebagai tanda bahaya dan penanda waktu. Kesaksian Cornelis de Houtman ini jelas menunjukkan pada keberadaan bedug di Nusantara. Melansir sumber yang sama, keberadaan bedug yang semakin masif kemudian dikaitkan dengan Islamisasi yang diimplementasikan oleh Wali Songo sekitar abad ke 15. (Tempo, 2022).
Bedug Chen Ho
Laksamana Cheng Ho merupakan seorang penjelajah terkenal dari China yang mengembara antara 1405-1433. Selama kurang lebih 28 tahun, ia pernah melakukan ekspedisi ke berbagai negeri di Afrika dan Asia, termasuk Indonesia. Saat itu, armadanya terdiri 307 kapal yang membawa sekitar 27.000 pelaut. Bahkan hingga saat ini, belum ada yang dapat melebihi armada yang dimiliki Laksamana Cheng Ho. Namanya pun tidak asing di Indonesia, karena diyakini turut menyebarkan agama Islam di pelosok Nusantara.
Di penggalan awal Abad 15, Laksamana Cheng Ho diutus oleh Maharaja Ming China untuk datang ke Semarang. Laksamana Cheng Ho yang menganut agama Islam disambut baik Raja Semarang pada waktu itu. Cheng Ho kemudian mempertunjukkan bedug ketika memberi tanda baris berbaris kepada tentara yang mengiringinya.
Sebelum meninggalkan Semarang untuk Kembali ke China, Cheng Ho memberikan hadiah bedug sebagai cendera mata kepada Sang Raja. Dengan suka cita Sang Raja menerima bedug itu, dan memberi persyaratan hanya ingin menerima dan mendengarkan bunyi bedug di masjid. Sejak saat itu, bedug menjadi bagian yang tak terpisahkan dari Masjid. Kemudian, kehadiran bedug semakin popular diperkenalkan oleh para Wali Songo sebagai alat musik untuk menyebarkan agama Islam kepada masyarakat Jawa pada waktu itu.
Salah tabuh
Keunikan bedug sering menjadi topik kisah tulisan para pujangga. Seorang Sastrawan Sunda, Ahmad Bakri (1917-1988) menulis beberapa cerita pendek tentang bedug dan ngadulag – menabuh beduk (bahasa Sunda) dengan segala dinamika kehidupan masyarakat Sunda yang suka banyol atau bercanda. Dalam novel legendaris “Agul ku Payung Butut” (1968), Ahmad Bakri mengisahkan, seisi kampung batal puasa, karena mereka berbuka puasa terlalu awal. Ini terjadi karena bedug ditabuh sebelum waktunya alias waktu Magrib belum tiba.
Alkisah. Di awal tahun 1950-an di suatu tempat di tatar Sunda, sudah menjadi kebiasaan di desa tersebut, bedug pertanda buka, baru ditabuh jika Juragan Naib sudah melambaikan tangan dari pintu depan rumahnya. Maklum belum banyak orang yang memakai jam/arloji sebagai petunjuk waktu.
Dikisahkan Juragan Naib adalah pejabat baru yang gila hormat. Berbeda dengan para Naib pendahulunya yang merakyat dan suka berbaur dengan masyarakat sekitar. Juragan Naib Baru ini senantiasa menjaga jarak dengan masyarakat sekitar.
Seorang pemuda yang digelari merebot, sejak menjelang magrib sudah siap memegang penabuh bedug sambil matanya terus menatap ke arah rumah Juragan Naib di seberang halaman Masjid. Ia dengan penuh siaga menatap dan menunggu aba aba lambaian tangan dari Juragan Naib. Lambaian tangan sebagai petanda waktu Magrib sudah tiba, dan saatnya pemukulan bedug dimulai. Sementara di halaman masjid sudah penuh dengan orang-orang yang akan tajil bersama. Aneka macam makanan untuk tajil sudah terkumpul di ruang tengah masjid.
Begitu Juragan Naib muncul mengangkat tangan, sang Pemuda merebot dengan sigap langsung membawa pemukul, dan menabuh bedug bertalu-talu. Acara takjil kilat pun pun segera berlangsung. Di seberang sana, Juragan Naib datang ke masjid, sambil marah-marah. Ternyata waktu buka masih belasan menit lagi. Ia tadi melambaikan tangan bukan memberi isyarat untuk menabuh bedug seperti biasa. Melainkan ia mengusir ayam yang mengotori halaman rumahnya. Banyak yang menyalahkan Sang pemuda, karena tak teliti membaca sinyal lambaian tangan dari Juragan Naib. Tetapi banyak pula warga yang menyalahkan Juragan Naib yang gumenak (sok pejabat). Juragan Naib tak mau sama-sama menunggu waktu buka di Masjid, seperti Naib-Naib terdahulu. Ia tampak gila hormat. Ia membanggakan keturunan darah biru keturunan ningrat atau bangsawan.
Novel karya legendaris Sastrawan Ahmad Bakri yang berjudul Agul ku Payung Butut cukup berhasil memberi sindiran kepada pejabat yang gila hormat dan tak mau berbaur dengan masyarakat biasa. Dengan prilaku gila hormat ini yang direpresentasikan Juragan Naib yang gumenak, warga sekampung menjadi rusak pahala puasanya karena mereka berbuka lebih awal.
Bedug Haji Geyot
Bedug Haji Geyot pernah populer di Kota Bandung saat bulan Ramadan pada tahun 1990-an. Kala itu, kaum muslimin muslimat warga kota Bandung merasa terhibur dengan kehadiran boneka raksasa Haji Geyot. Ia terus menerus bergoyang meliuk-liuk sambil memukul beduk. Pemerintah daerah sengaja menyimpan boneka raksasa Haji Geyot di berbagai pusat keramaian dan di beberapa sudut kota.
Sosok Haji Geyot adalah boneka robot berpenampilan pak Haji dengan postur gempal mengenakan baju koko, bersarung, dan berkopiah. Haji Geyot bukan sosok orang. Ia seorang “boneka robot” berkostum baju Koko dan memakian sarung dan peci. Boneka lucu berukuran raksasa ini, melenggak lenggok pada bagian pinggulnya yang gempal gemulai. Kemudian bagian kepala bergerak gerak, dan tangannya bergerak seolah memukul bedug besar yang ada dihadapannya. Itulah Haji Geyot yang pernah menghibur warga kota Bandung yang sedang ngabuburit, menunggu saatnya waktu Magrib tiba.
Selamat menunaikan ibadah puasa. Semoga ibadah kita diterima Allah SWT. Dalam suatu hadist qudsi, Rasululloh saw bersabda, Allah Swt berfirman, semua amal anak Adam untuknya kecuali puasa. Puasa untukKu dan Aku yang akan membalasnya. ***