Adhyatnika Geusan Ulun
(SMPN 1 Cipongkor)
Adalah menarik saat mengikuti acara bedah buku yang digelar tim penguatan pendidikan karakter (PPK) Kab. Bandung Barat baru-baru ini. Kegiatan yang yang diselenggarakan sebagai bentuk rasa syukur atas terbitnya karya best practice sejumlah penulis dari unsur guru, kepala sekolah, dan pengawas tersebut, mengilhami penulis untuk kembali mencoba memahami fenomena yang terjadi di tengah-tengah masyarakat saat ini.
Setelah diungkapkan oleh salah seorang keynote speaker tentang mirisnya perilaku bullying oleh para pengguna media sosial, dan belum berhentinya hembusan berita hoax yang seolah tidak mempedulikan sanksi yang akan diterima dari para penegak hukum, membuat penulis mencoba mengangkat kembali sejumlah hal penting tentang sangat mendesaknya penerapan penguatan pendidikan karakter di lingkungan sekolah. Tentu hal ini tidak lepas dari desain besar pendidikan Indonesia yang berharap agar dengan pendidikan karakter akan terwujud profil pelajar Pancasila yang didam-idamkan semua pihak.
Seperti diketahui, terdapat senam elemen penting yang menjadi ciri utama dalam profil pelajar Pancasila, yakni beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia, berkebinekaan global, bergotong royong, mandiri, bernalar kritis, dan kreatif. Semuanya tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 22 Tahun 2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2020-2024. Hal ini agar pelajar Pancasila sebagai peruwujudan pelajar sepanjang hayat memiliki kompetensi global dan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
Tentu bagi sebagian kalangan menganggap ciri utama di atas merupakan hal yang biasa saja, dan bahkan merupakan sesuatu yang klasik dan penuh retorika. Namun, saat memaknai enam elemen tersebut, maka diperoleh satu harapan besar bangsa ini untuk mewujudkan generasi yang unggul dalam penguasaan kompetensi global sekaligus tidak meninggalkan ciri kebangsaan dan nilai-nilai religinya.
Ketika memahami poin pertama dari ciri utama profil pelajar Pancalisa, yakni beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia, maka akan diperoleh harapan besar bahwa seorang pelajar Indonesia yang berakhlak mulia adalah pelajar yang berakhlak dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu, diharapkan agar seorang pelajar Pancasila memahami ajaran agama dan kepercayaannya serta menerapkan pemahaman tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Tidak hanya secara pribadi saja, namun juga berakhlak kepada alam dan dalam kehidupan bernegara.
Selanjutnya, pada ciri kedua, yakni berkebinekaan global. Hal ini mengandung makna bahwa seorang pelajar Indonesia diharapkan dapat mempertahankan kebudayaan luhur, lokalitas, dan identitasnya, dan tetap berpikiran terbuka dalam berinteraksi dengan budaya lain. Dengan memahami berkebhinekaan global maka kelak akan terwujud sebuah perilaku generasi yang dapat menumbuhkan rasa saling menghargai, sehingga memungkinkan terbentuknya budaya positif dan tidak bertentangan dengan budaya luhur bangsa.
Selain itu, di antara elemen kunci berkebinekaan global adalah mengenal dan menghargai budaya, kemampuan komunikasi interkultural dalam berinteraksi dengan sesama, dan refleksi dan tanggung jawab terhadap pengalaman kebinekaan.
Sementara itu, pada ciri ketiga, yakni Gotong royong, seorang pelajar Indonesia diharapkan memiliki kemampuan melakukan kegiatan secara bersama-sama dengan suka rela agar kegiatan yang dikerjakan dapat berjalan lancar, mudah dan ringan. Di antara elemennya adalah kemampuan berkolaborasi, kepedulian, dan berbagi.
Begitupun dengan ciri keempat, yakni Mandiri, seorang pelajar Indonesia diharapkan menjadi sosok yang mandiri, bertanggung jawab atas proses dan hasil belajarnya. Dengannya akan terbentuk kesadaran akan diri dan situasi yang dihadapi dan regulasi diri.
Kemudian, di ciri kelima, yakni Bernalar Kritis seorang pelajar Pancasila diharapkan mampu secara objektif memproses informasi baik kualitatif maupun kuantitatif, membangun keterkaitan antara berbagai informasi, menganalisis informasi, mengevaluasi, dan menyimpulkannya. Darinya akan terbentuk sosok pelajar yang memperoleh dan memproses informasi dan gagasan, menganalisis dan mengevaluasi penalaran, merefleksi pemikiran dan proses berpikir, dan mengambil keputusan.
Hal di atas diperkuat dengan ciri keenam, yakni Kreatif. Ciri ini mengisyaratkan bahwa seorang pelajar Indonesia diharapkan mampu memodifikasi dan menghasilkan sesuatu yang orisinal, bermakna, bermanfaat, dan berdampak. Darinya akan terwujud para penghasil gagasan yang orisinal dan menghasilkan karya serta tindakan yang orisinal.
Penulis sangat tertarik dengan ciri kelima dan keenam, yakni bernalar kritis dan kreatif. Hal tersebut mengingatkan pada spirit mencetak generasi unggul yang berwawasan global dengan menggali segenap potensi yang ada di setiap anak bangsa. Potensi yang menjadi dasar utama di kalangan pelajar salah satunya adalah ‘memerdekan’ mereka untuk kritis terhadap fenomena yang dihadapinya. Bersikap kritis, seperti diketahui, adalah hal terpenting untuk memberikan kesempatan para siswa mengeksplor segenap kemampuan dalam menggali dan mengalisis informasi, mengevaluasi, dan membuat satu hipotesa dalam kerangka berpikirnya. Darinya akan diperoleh gagasan dari hasil refleksi sehingga mampu menyimpulkan yang sangat diperlukan dalam mengambil keputusan yang tepat guna dan berhasil guna.
Fenomena yang dipresentasikan oleh salah seorang narasumber di kegiatan yang disebutkan di awal tulisan mengisyaratkan bahwa sejauh ini kualitas kritis yang dilontarkan generasi muda sering melupakan kaidah dan norma yang ada. Sehingga sering dijumpai kritik-kritik tersebut berbenturan dengan sejumlah kearifan lokal dan kultur para pengguna media sosial lainnya. Akibatnya, gegara keisengan jari jemari sering berurusan dengan UU ITE dan berujung di jeruji besi.
Sesungguhnya, makna ciri utama kritis dalam profil pelajar Pancasila mendorong generasi muda untuk tetap ‘merdeka’ dalam berpendapat dan mengkritik secara ‘bebas’ namun tetap harus mengutamakan kepentingan umum dibandingkan dengan memaksakan kepentingan pribadi maupun golongannya. Kritik yang diutarakan hendaknya konstruktif dengan senantiasa memberikan koreksi atas ketimpangan yang terjadi, namun juga menyajikan solusi yang mengedukasi semua pihak. Sehingga kemasan yang mucul dari tulisan menjadi balance dan tidak ada tendesi memaksakan kehendak serta kepentingan diri sendiri.
Adalah ktitik konstruktif menunjukkan ciri kedewasaan berpikir. Kedewasaan berpikir inilah yang sangat dibutuhkan dalam berpendapat. Sehingga segala ‘lontaran’ kalimatnya penuh dengan tanggung jawab, dan tidak ‘bersembunyi’ dibalik pendapat orang lain. Hal tersebut sangat dibutuhkan saat ini, di saat bangsa sedang membangun satu peradaban yang berakhlak, tidak hanya pada diri sendiri, namun juga kepada lingkungan, dan kepada bangsa serta negara.
Sementara itu, pada sisi ciri profil pelajar Pancasila tentang membangun kreativitas generasi muda, penulis memaknai bahwa pelajar Indonesia diharapkan mampu memodifikasi dan menghasilkan sesuatu yang orisinal, bermakna, bermanfaat, dan berdampak. Hal ini sangat diperlukan dalam mencetak para penghasil gagasan dan menghasilkan karya serta tindakan yang orisinal. Orisinalitas gagasan sangat penting mengingat darinya akan lahir kreasi-kreasi yang akan bermanfaat bagi peradaban satu bangsa.
Akhirnya, dari dua ciri utama di atas dapat disimpulkan bahwa ‘kemerdekaan’ berpendapat dalam kemasan kritik sangat diperlukan dalam memberikan keseimbangan gagasan pemegang kebijakan. Namun, kalimat-kalimat dalam gagasan yang dilontarkan haruslah konstruktif, sehingga akan selalu mengedukasi masyarakat luas bahwa disetiap kritikan haruslah menyertakan solusi alternatifnya.
Begitupun dengan kreativitas pelajar harus didorong untuk kemajuan suatu peradaban. Hal ini sangat penting mengingat maju mundurnya satu bangsa tergantung dari kreativitas bangsa itu sendiri. Darinyalah akan lahir inovator-inovator penghasil karya monumental yang sangat dibutuhkan bagi pembangunan semesta. Hasil karyanya akan sangat bermanfaat bukan hanya akan bermanfaat bagi satu pihak, namun akan menjadi maslahat untuk sebangayknya masyarakat.***
Dari berbagai sumber.
Profil Penulis:
Adhyatnika Geusan Ulun, lahir 6 Agustus 1971 di Bandung. Tinggal di Kota Cimahi. Guru Bahasa Inggris di SMPN 1 Cipongkor Bandung Barat sejak 1999. Pengurus MGMP Bahasa Inggris Kab. Bandung Barat. Alumnus West Java Teacher Program di Adelaide South Australia, 2013. Alumnus MQ ‘Nyantren di Madinah dan Makkah’ 2016, Pengasuh Majelis Taklim dan Dakwah Qolbun Salim Cimahi, Penulis buku anak, remaja dan dakwah. Editor NEWSROOM, tim peliput berita Dinas Pendidikan Bandung Barat. Jurnalis GUNEMAN Majalah Pendidikan Prov. Jawa Barat. Pengisi acara KULTUM Studio East Radio 88.1 FM Bandung. Redaktur Buletin Dakwah Qolbun Salim Cimahi. Kontributor berbagai Media Masa Dakwah. Sering menjadi juri di even-even keagamaan.
Adhyatnika.gu@gmail.com., Ig.@adhyatnika geusan ulun.