Artikel : Dra. N. Mimin Rukmini, M.Pd
(Guru SMPN 1 Cililin)
Pada beberapa grup whatsapp, sering saya temukan atau membaca tayangan buku hasil karya guru atau buku hasil karya penulis yang sudah jadi. Ups! Mohon maaf, bukan berarti buku hasil karya guru, gurunya belum jadi penulis, melainkan buku hasil penulis yang sudah biasa menulis buku, buku tersebut biasanya dijadikan referensi oleh penulis pula. Kalau boleh saya sebutkan, guru yang baru memiliki buku hasil karya sendiri, sebut saja sebagai penulis pemula. Maksud saya, dalam grup whatsapp banyak teman-teman yang mempromokan hasil karyanya. Sebuah terobosan hebat, tidak saling mengikat, tetapi memang sungguh bermanfaat. Manfaat secara ilmu, dan literasi, juga manfaat secara materi.
Para pegiat literasi yang juga ahli di bidang kepenulisan dengan semangat selalu memberi motivasi untuk selalu menulis, menulis, dan menulis. Apapun isi dan bentuk tulisan yang dikemukakan. Proses saling menyunting adalah langkah penting, dan rekan penulis dalam grup tak lagi malu, isi tulisan dikecewakan karena editan. Era digital, walau tak ikut pelatihan, menulis tak lagi menjadi urusan mental. Menulis, lalu sebarkan di grup, editan sudah pasti didapatkan. Budaya literasi, memang budaya yang mengarah pada hidup literat. Saling menghormati dan menghargai, berikut saling mengapresiasi, pastikan kehidupan akan lebih lebih bergengsi.
Di satu sisi, budaya diskusi antar penulis dengan penulis, atau antar penulis dengan ahli menulis sudah berjalan bahkan lebih berkembang. Mengapa demikian? Salah satunya dengan memerhatikan dengan semakin banyaknya grup menulis. Artinya, literasi menulis sebagai bagian dari literasi dasar sudah kental di kalangan kita. Tinggal bagaimana meneruskan langkah selanjutnya agar kebiasaan menulis terus berkobar, khususnya di kalangan sekolah dan pendidikan, serta di masyarakat pada umumnya.
Di sisi lain, apakah masyarakat atau kembali pada anggota grup Whatsapp sudah tertarik pada buku-buku yang dipromokan tersebut! Atau sesekali ada pelatihan, ada bazar buku, lantas kita banyak memborong buku? Inilah kenyataan fenomena ketertarikan terhadap buku. Saya katakan bahwa kita belum sepenuhnya tertarik terhadap buku.
Terlepas dari apakah ketidaktertarikan terhadap buku itu karena harga buku yang mahal atau lebih mengutamakan kebutuhan lain, saya melihat bahwa kita memang belum senang membaca. Budaya mendengar dan melihat masih mendominasi kehidupan di negeri ini. Mendengarkan ceramah, dan menonton video masih utama. Televisi mendominasi hiburan di dalam keluarga. Demikian pula gadget sebagai terobosan dalam internet, rata-rata berinternet 5 jam sehari menjadi kendala tersendiri, masih jauh dari membaca buku.
Saya terpukau ketika ada pegiat literasi memiliki buku pribadi dalam jumlah ribuan. Lho, kok saya paling juga seratus lebih. Sungguh, ini suntikan hebat! Masuk grup WA mudah-mudahan lebih literat. Misal, sehebat negara Finlandia atau Jepang pastinya rata-rata jumlah buku yang dibaca dan dimiliki per warga negaranya, lebih banyak daripada di kita Indonesia.
Kebiasaan menulis tak akan lepas dari kebiasaan membaca buku. Bobot sebuah tulisan akan mencerminkan seberapa jauh bacaan terealisasi dalam tulisan tersebut. Abdul Hadi MW, dalam buku “Menulis Warnai Dunia” mengemukakan bahwa kemahiran menulis dipengaruhi bakat 5%, keberuntungan 5%, sisanya 90% adalah kesungguhan dan keuletan. Lalu, dengan cara bagaimanakah kesungguhan itu dapat dilakukan?
Menurut hemat saya, 90% faktor kesungguhan dan keuletan dalam menulis, yakni dengan menggandengkan kebiasaan membaca buku dan menuliskan apa yang didapat dari buku. Sekecil apapun ilmu yang diperoleh dari sebuah buku, maka tulislah. Boleh jadi suatu kita pasti lupa apa yang dibaca, tetapi dengan menuliskan apa yang dibaca, sejarah pernah membaca buku yang dituliskan pastilah terpatri. Di mana pun tulisan itu berada, di media sosial, blog, ataupun sudah berbentuk buku.
Sebagai tenaga pendidik, kebiasaan siswa dan guru serta warga sekolah membaca senyap 15 menit sebelum pembelajaran, tetaplah terus kita laksanakan. Dari sini lah pembiasaan kegiatan literasi dan GLS dilaksanakan. Bukan hanya strategi pembiasan, pengembangan, bahkan pembelajaran berbasis literasi pun patut dan wajib kita laksanakan. Mulai dari sekolah segala sesuatu kegiatan akan lebih mudah dibudayakan. Demikian pula kebiasaan membaca dan menulis, peran gurulah yang harus menjadi teladan. Tak ada pembudayaan tanpa teladan. Tak ada mahir dan pintar tanpa karakter. Guru digugu dan ditiru. Peserta didik berkarakter, terampil, dan berilmu. Semoga!