Oleh: Riska Mutiara, S.Pd
(Guru Bahasa Inggris SMPN 2 Batujajar)
Sebuah postingan di Instagram yang diunggah seorang siswi, membuat saya tertarik untuk berkomentar, karena unggahannya berupa foto rapot dan beberapa hadiah. Saya merasa perlu untuk sekedar memberikan ucapan selamat atas prestasi yang diraihnya. Nampaklah dari sana rasa bahagia dan bangga seorang siswa ketika dia mendapatkan apresiasi atas prestasi yang diraihnya sehingga dia mengunggahnya ke media sosial.
Pemberian ranking sampai saat ini masih dilakukan, karena menurut pendapat sebagian pendidik bahwa hal tersebut diyakini mampu meningkatkan motivasi belajar. Dampak positif dari pemberian ranking kepada peserta didik adalah meningkatkan rasa percaya dirinya sebagai siswa yang mampu bersaing secara positif di bidang pengetahuan. Adapun dampak negatifnya yaitu peserta didik yang mendapatkan nilai rendah akan merasa tidak percaya diri.
Menjadi sebuah dilema untuk guru ketika berada pada situasi dimana para murid dan orangtua masih mengharapkan disebutkan peringkat prestasinya dirapot, sementara itu mengetahui bahwa ada efek negatif dari hal tersebut.
Pembiasaan ranking yang sudah lama diterapkan dalam sistem penilaian peserta didik berdampak pada psikologis. Contoh kasus ketika siswa terbiasa mendapatkan peringkat terbaik di rankingnya kemudian satu waktu itu dihilangkan, akan ada perasaan tidak nyaman, tertekan dan merasa dirinya terbebani karena tidak mendapatkan hal itu, karena ada tuntutan dari orang tuanya yang sudah terbiasa mendapatkan peringkat untuk kebutuhan prasyarat mendapatkan beasiswa dari tempatnya bekerja.
Pendapat para ahli
Menurut Prof. Etty Indriati Ph.D ( Direktur Internalisasi Nilai dan Diplomasi Budaya pada Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional) menyatakan bahwa anak-anak semestinya tidak di ranking. Alasannya, ranking dapat memberikan stigma dan menimbulkan dampak negatif secara psikologis, terutama bagi mereka yang mendapat peringkat rendah.
Pendapat yang bersebrangan datang dari seorang pakar pendidikan yaitu Prof. Dr. H. Arief Rachman, M. Pd yang berpendapat bahwa sistem ranking masih diperlukan untuk membuat peta evaluasi dan memilih tindakan apa saja yang dapat dilakukan oleh tenaga pengajar terhadap peserta didik. Hal ini dapat meningkatkan mutu pengajaran dan langkah tepat dalam perbaikan kualitas belajar mengajar.
Penilaian Kurikulum Merdeka
Tampilan rapor di kurikulum merdeka lebih sederhana, bisanya memuat 2 halaman. Penilaian kurikulum ini langsung memuat hasil laporan belajar siswa per mata pelajaran di sekolah. Namun dalam proses kegiatan belajar mengajarnya melibatkan berbagai macam penilaian, seperti penilaian formatif, sumatif, penilaian diagnostik, penilaian P5, dsb. Jadi nilai akhir bukanlah suatu patokan pengukuran penilaian.
Tak hanya itu, kurikulum ini juga menyertakan penilaian kegiatan ekstrakurikuler siswa, absensi, dan tanda tangan orang tua, wali kelas, dan kepala sekolah pada halaman kedua, tidak mencantumkan KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal). Hal ini tentu berbeda dengan K13 yang masih mencantumkan KKM dalam rapor.
Sikap pendidik terhadap perubahan
Tugas guru dalam menyikapi dan menghadapi perubahan dalam pendidikan adalah dengan selalu belajar dengan sabar dan sungguh sungguh, apalagi menyangkut penilaian terhadap peserta didik. Untuk memahami kebutuhan mereka guru harus mengetahui cara penilaiannya dan bukanlah hal yang mudah dan instant untuk memperoleh hasil sesuai harapan , hal tersebut perlu menjalani proses yang panjang dan pasti menghadapi berbagai macam hambatan. Untuk itu guru harus senantiasa meningkatkan kemampuan mengajarnya.
Dalam hal ini Pemerintah selalu memberikan pelayanan yang terbaik kepada para pendidik dalam meningkatkan profesionalitasnya di berbagai platform untuk bisa terus belajar. Semangat belajar dan bahagia selalu guru Indonesia. ***