Oleh: Adhyatnika Geusan Ulun
(SMPN 1 Cipongkor)
Di tengah dinamika zaman yang terus berkembang. Digitalisasi semua bidang terus merambah di setiap lini. Lahirnya generasi gadget sudah terjadi. Demikian juga yang terjadi dengan dunia pendidikan. Diperlukan sikap bijak dalam menghadapinya. Banyak konsep disodorkan oleh para praktisi yang tentu semuanya bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Ada hal menarik ketika penulis diingatkan oleh metode pembelajaran klasik di pesantren, yakni Sorogan. Istilah yang tak asing bagi para santri yang pernah mengenyam pendidikan di lembaga pendidikan Islam non-formal ini.
Seperti diketahui, pesantren merupakan lembaga pendidikan dan pengajaran islam yang sudah ada di Indonesia sejak zaman Walisongo. Eksistensinya terus bertahan pada masa kolonial, hingga milenial. Di awal berdirinya, pesantren berfungsi sebagai syiar Islam dengan memberikan pengajaran berbagai disiplin ilmu kepada masyarakat. Kemudian berkembang sebagai benteng akidah dan nasionalisme sekaligus pertahanan rakyat di masa penjajahan. Tidak sedikit pahlawan nasional lahir di institusi ini. Sultan Agung, Pangeran Diponegoro, Kyai Maja, Imam Bonjol, Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Hasyim Asyari, Wahid Hasyim, Buya Hamka, hingga Gus Dur, adalah produk pesantren yang telah mewarnai perjalanan bangsa ini.
Sekurang-kurangnya terdapat lima elemen dasar di dalam pesantren, yakni kyai, santri, masjid, pondok, dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik. Di dalamnya terjadi interaksi edukasi, diantaranya adalah Sorogan. Selain itu ada juga bandongan yang melibatkan banyak santri, dimana puluhan sampai ratusan santri mendengarkan kyai atau ustaz membaca, menerjemahkan dan menerangkan sebuah kitab kajian dalam bahasa Arab, kemudian santri memperhatikan kitabnya masing-masing dan menuliskan makna atau terjemahan yang dibacakan sang guru. Keduanya hingga sekarang terus bertahan di tengah derasnya arus digitalisasi yang mengglobal.
Berdasarkan referensi yang dipelajari, metode berasal dari bahasa Yunani, “Metodos”. Kata yang terdiri dari dua suku kata, “metha” yang berarti melalui atau melewati, dan “hodos” yang berarti jalan atau cara. Dengan kata lain, metode berarti suatu cara yang harus dilalui untuk menyajikan bahan pelajaran agar mencapai tujuan pembelajaran. Dalam hal ini, metode dalam pembelajaran berperan sebagai alat untuk menciptakan proses belajar dan mengajar. Sehingga diharapkan akan terjadi interaksi efektif di antara guru dan siswa.
Pengertian di atas sebenarnya memiliki kesamaan dengan istilah “thariqat”, yang bermakna suatu jalan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan. Dalam istilah Arab ini, terdapat proses edukasi yang berkesinambungan di antara guru dan murid dalam mencapai tujuan pembelajaran yang sesuai dengan target yang telah disepakati.
Merujuk pengertian di atas, Sorogan yang berasal dari bahasa Jawa, berartii “sodoran atau yang disodorkan”, termasuk sebuah metode pembelajaran, karena di dalamnya mengandung tujuan yang sama.
Secara teknis, metode ini mengharuskan seorang santri menghadap guru duntuk ‘meyetorkan’ hafalan atas kajian yang telah dipelajari sebelumnya. Mereka maju secara bergiliran untuk mengevaluasi penguasaan materi kitab tersebut. Jika dipandang sudah menguasai, maka akan dilanjutkan pada materi berikutnya.
Seperti metode pembelajaran lainnya, Sorogan memiliki kelebihan dan kekurangan. Penulis menemukan beberapa catatan tentang hal ini. Kelebihannya adalah terjadinya hubungan yang erat dan harmonis antara guru dan murid. Interaksi edukatif yang baik terjadi. Masing-masing menjalankan tugas dan perannya. Guru sebagai salah satu sumber belajar yang mengatur ritme pembelajaran, memfasilitasi, serta memotivasi murid. Sementara murid melakukan aktivitas dan memperoleh pengalaman belajar. Sehingga akan tampak perubahan tingkah laku, baik kognitif, afektif maupun psikomotor dengan bantuan dan bimbingan guru,
Selain di atas, metode ini pun memudahkan guru untuk mengawasi, menilai dan membimbing murid secara maksimal. Kemudian, seorang murid mendapatkan penjelasan yang pasti tanpa harus mereka-reka tentang interpretasi suatu kajian. Hal ini dikarenakan mereka berhadapan dengan guru secara langsung. Selain itu, tidak sedikit muncul dialog dan tanya jawab. Sehingga guru dapat mengetahui secara pasti kualitas murid dari interaksi ini. Selanjutnya, guru dapat menganalisis tingkat kecerdasan murid secara nyata.
Sementara itu, kekurangan dari Sorogan adalah dibutuhkan waktu yang relatif lama untuk mencapai target kajian. Hal ini dikarenakan jumlah murid yang menghadap tidak bisa banyak. Disamping itu, kesabaran yang ekstra tinggi dibutuhkan, sehingga cenderung membuat cepat bosan murid yang tidak rajin, taat, dan disiplin. Akibatnya sering muncul pengalaman verbalisme, dikarenakan mereka yang tidak mengerti terjemah dalam bahasa tertentu.
Namun terlepas dari kelebihan dan kekurangan tersebut, terdapat nilai karakter yang muncul adalah, kesabaran dan kedisiplinan. Seorang murid diharuskan paham terhadap apa yang dibaca atau dihapal, sekaligus menerangkannya kembali. Kegiatan inilah yang membuat santri terpola menjadi pribadi yang tangguh dan berkarakter. Tidaklah mengherankan jika Sorogan telah terbukti efektif dalam melahirkan santri-santri unggul, karena mereka benar-benar mendapatkan perhatian dan bimbingan intensif dari sang guru.
Selain itu, ada hal menarik saat proses Sorogan, seorang murid secara bergiliran mendatangi guru untuk menyimak pembacaan kajian atau kitab-kitab bahasa Arab, dan menerjemahkan kata demi kata ke dalam bahasa tertentu. Selanjutnya murid mengulanginya seperti yang dilakukan gurunya sepersis mungkin. Hal ini memungkinkan murid memahami struktur kalimat dan artinya.
Proses tersebut saat ini dikenal dengan sistem pembelajaran individu. Ciri utamanya adalah lebih mengutamakan proses belajar daripada mengajar. Kemudian tujuan pembelajaran dengan rumusan yang jelas. Selanjutnya memunculkan partisipasi aktif seorang murid. Setelah itu, akan tampak proses timbal balik dan evaluasi. Akhirnya memberikan kesempatan kepada murid untuk tampil dengan kecepatan masing-masing.
Di sisi lain, Sorogan mempunyai peran penting dalam transfer ilmu yang beretika. Hal ini dikarenakan guru bertindak sebagai intellectual father dari santri. Sehingga memunculkan moral attitude di antara keduanya, dengan saling memainkan peran sebagai orang tua dan anak.
Sorogan sebenarnya termasuk metode modern ditinjau secara teoretis. Proses yang terjadi saat guru melatih seorang murid untuk terbiasa lebih aktif dalam belajar dengan kesadaran dan rasa tanggung jawab untuk mencari ilmu, menemukan hal baru, memecahkan masalah secara mandiri, dan mengimplentasikannya di kehidupan sehari-hari, merupakan ‘spirit’ yang ditekankan dalam pendidikan modern yang student center oriented.
Akhirnya, seperti perkataan seorang bijak “there’s no best teaching and learning method, but the best is how to apply it and done, in real situation”, -tidak ada metode pembelajaran terbaik, yang terbaik adalah bagaimana menerapkannya dalam kehidupan nyata, dan berhasil”. Maka, metode Sorogan, terlepas dari kelebihan dan kekurangannya, layak dipertahankan sebagai warisan berharga para pejuang pendidikan, dan patut dipertimbangkan untuk diaplikasikan dalam pembelajaran.***
Dari berbagai sumber.
Profil Penulis:
Adhyatnika Geusan Ulun, lahir 6 Agustus 1971 di Bandung. Tinggal di Kota Cimahi. Guru Bahasa Inggris di SMPN 1 Cipongkor Bandung Barat sejak 1999. Pengurus MGMP Bahasa Inggris Kab. Bandung Barat. Alumnus West Java Teacher Program di Adelaide South Australia, 2013. Penulis buku anak, remaja dan dakwah. Editor NEWSROOM, tim peliput berita Dinas Pendidikan Bandung Barat. Jurnalis GUNEMAN Majalah Pendidikan Prov. Jawa Barat. Pengisi acara KULTUM Studio East Radio 88.1 FM Bandung. Redaktur Buletin Dakwah Qolbun Salim Cimahi. Kontributor berbagai Media Masa Dakwah. Sering menjadi juri di even-even keagamaan. Adhyatnika.gu@gmail.com., Ig.@adhyatnika geusan ulun