Deni Ramdani, M.Pd
(Kasubag Kepegawaian dan Umum Disperindag KBB)
Orang beradab sudah pasti berilmu. Orang berilmu belum tentu beradab.
(Syaikh Imam Nawawi al-Bantani ra)
Seperti kita ketahui perbedaan manusia dengan binatang adalah tentang akal atau ilmu. Tetapi tingkatan yang lebih tinggi dari ilmu yaitu adab atau akhlak.
Pada saat itu, takala bersilaturahmi kepada seorang narasumber, dengan maksud mengundang beliau sebagai pengisi acara pada kegiatan kerohanian yang biasa diadakan, berupa kajian tentang islam yang biasa dilaksanakan di masyarakat setempat.
Setibanya di tempat tersebut, ketika tamu sudah dipersilahkan duduk di ruangan tamu, tergambar jelas dengan kasat mata apa yang ada di sekitar ruang sungguh luar biasa. Yang membuat tamu takjub, di ruangan itu terlihat jelas kumpulan kitab yang tersusun rapi dalam lemari, bukan saja satu lemari bahkan lebih dari satu, dan sisanya bertumpuk dalam meja dengan susunan yang berbeda-beda. Ini berbeda dengan biasanya yang kalau kita bertamu hanya hiasan yang dipajang berupa ukiran atau lukisan.
Duduk santai sambil menikmati secangkir kopi hitam yang disuguhkan oleh anaknya, karena sang narasumber sedang melaksanakan kajian tentang islam di masjid. Mata sang tamu terus melirik pada susunan kitab yang begitu banyak serta beragam, takjub yang dirasakan dalam hati sang tamu, terhadap apa yang dilihatnya.
Setelah narasumber selesai melaksanakan kegiatan kajian, tanpa rasa lelah langsung menyambut tamu dengan sapaan yang lembut, dengan senyuman ramah, walaupun kalau dilihat dari raut wajahnya terlihat lelah dan perlu untuk beristirahat.
Beliau, menurut masyarakat setempat adalah termasuk orang yang selalu menjalani hidupnya penuh dengan aturan syariat. Kemudian, terkait sikap, perilaku atau tata cara hidupnya selalu mencerminkan nilai sopan santun, halus dalam berbicara, berbudi pekerti baik, dan berakhlak mulia. Selalu menjadi suri tauladan bagi masyarakatnya.
Berbicara dengan sopan santun kepada orang lain, merupakan salah satu contoh penerapan moral yang baik dalam hubungan sosial di masyarakat. Kita sadar bahwa tidak semua orang bisa menerapkannya, tidak iri hati kepada orang lain yang punya nilai lebih di atasnya, tidak meremehkan orang lain walaupun dia lebih rendah daripadanya, tidak pasang bandrol harga dengan ilmunya. Hal itu semua dibuktikan pada saat tamu mengunjungi sang narasumber.
Dapat kita pahami bahwa nilai kerohanian terkait moral secara syariat adalah suatu sistem penilaian yang bersumber dari kehendak maupun kemauan di dalam diri manusia. Semua itu bisa terlaksana apabila dalam dirinya ditumbuhkan niat untuk mentaati aturan, niat untuk menjadi orang baik, niat untuk menggali ilmu agar bisa beradab. Nilai adalah segala sesuatu yang dianggap baik dan buruk di dalam masyarakat. Nilai dapat dijadikan dasar pertimbangan setiap individu dalam menentukan sikap serta mengambil keputusan.
Nilai Kerohanian secara umum adalah amalan hubungan kita dengan Allah-hablumminallah dan hubungan kita dengan manusia-hablumminannas. Amalan yang termasuk dalam hablumminallah tentu saja amalan yang menjadi hubungan kita kepada Allah semata. Misalkan saja sholat, dzikir, mengaji, puasa, dan lain sebagainya. Sementara yang terkait hablumminannas, antara lain sedekah, menyapa dengan salam, saling menasehati dalam kebaikan dan kesabaran.
Dalam agama Islam, memang ada amalan-amalan yang termasuk ke dalam kategori hablumminallah dan ada juga yang termasuk hablumminannas. Kedua amalan ini haruslah dilaksanakan dengan seimbang. Seorang muslim janganlah sampai berat sebelah, hanya dominan di salah satu, misalkan saja hablumminallahnya sangat baik, tapi hablumminannasnya justru kurang. Atau sebaliknya.
Jika kita menengok fenomena yang ada, tak jarang sering berat sebelah dalam amal amalannya. Sebagai seorang muslim memang dituntut untuk bisa menyeimbangkan semua aspek. Hablumminallah dan hablumminannas kita haruslah sama-sama baik. Jangan hanya berat sebelah di salah satu aspek.
Berawal dari kutipan di atas, bahwa cara pandang masyarakat dalam menilai orang yang berilmu itu adalah orang yang mengutamakan adab atau akhlak dalam kesehariannya. Menilai dari sisi syariat itu relatif, tidak bisa dilihat dari satu sisi dan tujuan yang akan dinilai, arah mana yang akan kita nilai dengan posisi di mana kita menilai. Sebab disitu ada aspek hablumminallah dan hablumminannas.
Akal sehat dan jiwa yang bersih dalam menilai akan menjadi hasil yang relevan, untuk menjadi hasil yang relevan perlu adanya hubungan dua arah dalam satu hati. Karena jika tidak obyektif dalam menilai berarti ada unsur pribadi dibalik itu, rasa iri hati serta kebencian yang bikin menilai tidak menjadi relevan. Khususnya terkait hablumminannas dalam sisi syariat.*