Oleh: Adhyatnika Geusan Ulun
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.(Al Baqarah:286)
Sikap Bijak dalam Musibah
Musibah yang dialami umat manusia sejak awal hingga akhir 2020 demikian berat. Seluruh sektor kehidupan terdampak oleh wabah yang demikian masiv dan global. Lebih dari 200 negara terpapar oleh penyakit mematikan yang belum ditemukan obatnya. Corona viruses diseases (Covid-19) benar-benar hampir melumpuhkan seluruh sendi-sendi kehidupan dunia.
Namun sebagaimana firman Allah di atas, manusia tidak akan dibebani sebuah ujian kecuali sesuai dengan kemampuannya. Oleh karena itu, sudah seharusnyalah semua bersikap bijak dalam menghadapi segala macam keadaan. Seberat apapun.
Sikap bijak dalam menghadapi semua musibah tersebut merupakan bagian dari pribadi beriman yang selalu yakin bahwa segala macam yang terjadi pada diri adalah tanda-tanda bahwa Allah menyayangi makhluk- Nya. Makin tinggi keimanan seseorang, maka makin tinggi pula ujian yang diberikan Allah kepadanya.
Hal tersebut diingatkan Allah pada firman-Nya: Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja setelah) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? (QS Al Ankabut (29):2).
Syukur, Sabar dan Muhasabah
Adalah kewajiban seorang yang beriman untuk menyikapi segala bentuk takdir Allah dengan sikap terbaik. Pada saat dianugerahi kenikmatan, sekecil apapun, pasti akan bersyukur, dan manakala diuji dengan seberat apapun ujian pasti akan disikapi dengan sabar. Syukur dan sabar adalah sikap terbaik yang tidak dapat dipisahkan dari orang yang beriman.
Selanjutnya, syukur dan sabar merupakan modal utama untuk mengintrospeksi diri atas segala kejadian yang telah menimpa, dan sikap untuk memperbaiki kualitas diri agar mampu lebih survive pada keadaan yang kan datang. Dalam Islam, sikap introspeksi diri ini dikenal dengan muhasabah.
Khlaifah ‘Umar ibnu Khatab, ra., salah satu sahabat utama Rasulullah, pernah menyatakan: Hasibu anfusakum qobla an tuhasabu. Hisablah dirimu sebelum kamu dihisab. Ini adalah dialektik seorang mukmin yang ingin meningkatkan kualitas hidup dengan mengintrospeksi diri.
Lebih jauh dijelaskan oleh seorang ulama sufi, Abdillah al-Muhasibi, bahwa setiap Jiwa dihisab dengan akal, dan datangnya hisab itu berasal dari rasa takut akan kekurangan, ketakutan atas sesuatu yang akan merugikan, serta adanya keinginan untuk mendapatkan keuntungan. Oleh karena itu, muhasabah akan mewariskan kualitas berpikir, kecerdasan, dan mendidik diri untuk bersikap terbaik, bersukur atas segala kenikmatan yang telah Allah anugerahkan dan bersabar atas segala ujian yang Allah timpakan.
Di sisi lain, saat menyikapi berbagai macam ujian yang menimpa saat ini, maka siapapun yang telah mampu bermuhasabah akan senantiasa teringat peringatan Allah: Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (Q.S. Al-A’raf (7): 56-58).
Hal tersebut menyadarkan manusia, bahwa dirinyalah yang telah menjadi salah satu penyebab kerusakan yang terjadi di muka bumi selama ini. Kekurangpekaan kita lah yang menyebabkan bertubi-tubinya ujian ini terjadi. Pada saat diri lambat untuk muhasabah, hal tersebut dikarenakan hati yang didominasi oleh kekuatan hawa nafsu dan syahwat yang kemudian menguasai akal agar tidak mau membuka diri menjadi pribadi yang beruntuk di hadapan Allah.
Maka muhasabah merupakan kesadaran akal untuk menjaga diri dari pengingkaran nafsu melalui proses pencarian kelebihan dan kekurangan diri. Muhasabah juga akan menjadi lentera di hati setiap orang yang melaksanakannya. Lentera tersebut akan menerangi setiap langkah ke depan, dan akan menjadi petunjuk arah yang lebih baik, dan menuntunnya ke jalan yang diridloi-Nya.
Dunia Hanya Sementara
Seperti diketahui bahwa di dunia ini hanyalah sementara, sekedar mampir, dan sekedar persinggahan belaka. Sesungguhnya akhirat yang terbentang luas dihadapan kita adalah kampung tempat tinggal sebenarnya. Dia adalah tempat berlabuhnya kapal kehidupan yang hakiki. Maka alangkah sayangnya bila kita tak memiliki bekal yang cukup untuk berlabuh di pelabuhan akhirat itu. Alangkah ruginya bila dunia, tempat yang hanya sementara ini, dijadikan tempat bersenang-senang belaka. sementara terbentang akhirat di hadapan kita yang kelak akan menuntut pertanggung jawaban kita. Tentang usia dipergunakan untuk apa saja? Tentang anak, telah diajarkan kebaikan apa saja? Tentang harta, didapat dari manakah dia? Tentang jabatan, diperoleh dengan cara apakah jabatan itu? Tentang keluarga, telah dibimbing kemanakah mereka itu?
Persoalan-persoalan itu yang ada dihadapan hadapan kita. Namun bagi orang yang beriman, yang di dalam dirinya tertanam suatu niat untuk senantiasa melakukan perbaikan diri menuju kebaikan, yang setiap harinya selalu bertambah, bertambah, dan bertambah nilai kebaikannya, maka dunia ini akan dijadikannya sebagai ladang yang luas dan subur untuk ditanami segala macam kebaikan dan amal salih. Sehingga tanaman yang disiram dengan ikhlash dan dipagari dengan syukur dan sabar akan senantiasa menuai panen pahala di akhirat kelak
Selanjutnya adalah memberikan keteladanan kepada minimal lingkungan dekat kita. Bagaimana mungkin kita menyuruh istri untuk mematuhi dan taat, sementara kita tidak pernah memberi teladan yang baik selaku suaminya? Dan bagaimana mungkin masyarakat menghormati kita, bawahan menuruti kita, atasan sayang kepada kita, jika kita tak pernah memberi contoh yang baik dalam segala perilaku kita.
Momentum Terbaik
Maka tahun baru 2020 ini hendaknya menjadi momentum terbaik sebagai titik awal kebangkitan kita menjadi orang yang paling depan dalam hal keteladanan, menjadi pelopor dalam segala bentuk kebaikan, menjadi perintis dalam segala hal perbaikan, menjadi sumber solusi, pemecah masalah, dalam segala bentuk persolanan, menjadi pemersatu di saat terjadi perpecahanan, dan menjadi ayah yang senantiasa membimbing salat anaknya, serta mengajar anaknya mengaji, menuntun istrinya menjadi sholehah, menjadi sumber kebahagiaan keluarga, menjadi bawahan yang disayangi semua teman dan atasan, menjadi atasan yang diteladani sikap, tindak dan perbuatannya.
Memang seperti impian, namun bila di’itikadkan dalam hati, dan diamalkan dalam bentuk perbuatan, akan terciptalah suatu karya nyata yang luar biasa; yakni amal shalih yang akan kita nikmati manisnya di akhirat kelak.
Simpulan
Akhirnya, muhasabah haruslah dipandang sebagai upaya dalam langkah menuju insan bermanfaat, bukan hanya pada diri, tetapi maslahat untuk sebanyak-banyaknya umat. Selanjutnya puji syukur dipanjatkan kepada Allah yang masih memberi kesempatan kepada kita untuk meniti lembaran baru di tahun ini. Tentu hakikatnya Dia mengetahui segala maksud dan tujuan. Namun yang jelas ini adalah kesempatan kita untuk memperbaiki semua kesalahan yang diperbuat tahun lalu. Sehingga dapat merubah segala kekhilafan tersebut menjadi lebih baik pada tahun sekarang ini.
Hal ini sangatlah penting dalam mempersiapkan bekal dalam menghadapi kehidupan kekal kelak di akhirat. Allah menegaskan dalam Alquran Surat Al hasyr: 18: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Semoga tahun 2020 menjadi momentum untuk muhasabatun nafsi (evaluasi diri) atas berbagai amal yang telah dilakukan, agar kehidupan lebih baik dan bermakna di hadapan Allah, membuat kita lebih mengkoreksi diri, betapa sering kita melupakan Allah, yang Menggenggam hidup dan mati kita, yang Menggenggam surga dan neraka yang memberikan kemulian kepada siapa yang dikehendaki Nya dan yang akan menghinakan kepada hambanya yang kufur, yang tak mau bersyukur terhadap apapun bentuk kenikmatan dan yang tak mau bersabar terhadap apapun bentuk ujian.
Semoga kita tergolong hamba-hamba Nya yang senantiasa bersyukur dan bersabar dalam segala keadaan, dan kiranya Allah senantiasa memberikan kekuatan dan ketabahan bagi siapapun kita yang masih diuji dengan segala bentuk penderitaan, semoga penderitaan diganti dengan kebahagiaan. Dan seperti yang tercantum dalam penghujung Alquran Surat Al Baqarah:286, kita panjatkan doa kepada Allah dengan sepenuh pengharapan.
Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.
Wallahu’alam***
Profil Penulis:
Adhyatnika Geusan Ulun, lahir 6 Agustus 1971 di Bandung. Tinggal di Kota Cimahi. Guru Bahasa Inggris di SMPN 1 Cipongkor Bandung Barat sejak 1999. Pengurus MGMP Bahasa Inggris Kab. Bandung Barat. Alumnus West Java Teacher Program di Adelaide South Australia, 2013. Alumnus MQ ‘Nyantren di Madinah dan Makkah’ 2016, Pengasuh Majelis Taklim dan Dakwah Qolbun Salim Cimahi, Penulis buku anak, remaja dan dakwah. Editor NEWSROOM, tim peliput berita Dinas Pendidikan Bandung Barat. Jurnalis GUNEMAN Majalah Pendidikan Prov. Jawa Barat. Pengisi acara KULTUM Studio East Radio 88.1 FM Bandung. Redaktur Buletin Dakwah Qolbun Salim Cimahi. Kontributor berbagai Media Masa Dakwah. Sering menjadi juri di even-even keagamaan.
(Adhyatnika.gu@gmail.com., Ig.@adhyatnika geusan ulun.)
DAPATKAN SEGERA BUKU-BUKU PILIHAN KARYA PRAKTISI, AKADEMISI, DAN SEKALIGUS BIROKRAT YANG KONSISTEN DALAM DUNIA PENDIDIKAN