Ema Damayanti
(Guru Bahasa Indonesia SMPN 2 Cililin)
Saya mengenal istilah Panoptik saat mengerjakan tugas kuliah membahas salah satu tokoh filusuf postmodern, Michel Foucault. Salah satu gagasan Foucault adalah Panoptik. Panoptik secara sederhana adalah pengawasan terhadap sesuatu yang dilakukan tanpa terus menerus tapi efeknya bisa berlangsung lama. Ya, seperti halnya lampu pengawas di penjara, meskipun petugas tidak selalu mengawasi tapi para narapidana merasa terus diwasi hanya oleh sebuah lampu.
Saya jadi ingat, ketika ada siswa yang kehilangan HP, Seorang guru berkata, “Bapak tahu siapa yang mencuri. Bapak bisa saja menunjuk orangnya hari ini. Tapi Bapak akan menjaga nama baik kalian. Silakan yang merasa mencuri hubungi bapak sebelum dilaporkan ke polisi”.
Sebenarnya Guru itu tidak tahu juga oknum siswa pencuri HP. Tapi guru tersebut sedang menciptakan Panoptik, sehingga siswa takut mencuri karena ada si Bapak yang “Bisa tahu hal gaib”
Bisa juga seorang istri melakukan Panoptik untuk suaminya yang tinggal berjauhan dengan berkata, “Firasat wanita itu kuat lho Pak. Wanita bisa tahu suaminya selingkuh atau neyeleweng dengan hanya merasakannya saja” Padahal si istri tidak tahu. Tapi karena diungkapkan dengan keyakinan kuat dan tatapan mata yang tajam. Hal itu bisa saja memberi efek Panoptik pada suaminya.
Ya, kadang Panoptik tidak ada kaitan dengan kebenaran, tapi diciptakan untuk tujuan kekuasaan atas sesuatu. Panoptik tentu positif jika digunakan untuk tujuan kebaikan.
Contohnya, sekarang dalam situasi Pembelajaran Jarak Jauh. Guru atau sekolah bisa saja menciptakan Panoptik sehingga siswa tetap mau belajar meskipun tidak ada guru yang mengawasi tapi merasa tetap harus mengerjakan. Misalnya dengan alasan ketidaklulusan dll.
Akan tetapi, sekedar ancaman tidak akan menjadi panoptik jika tidak di dukung dengan wacana yang kuat dan massif. Hal menarik bila guru dapat menciptakan Panoptik dalam pembentukan karakter bagi siswa. Misalnya, siswa tetap mau belajar tetap mau membaca meskipun tidak ada guru yang mengingatkan. Seolah-olah jika tidak belajar, tidak membaca seperti ada sesuatu yang kurang dalam dirinya.
Panoptik oleh guru bisa dilakukan dengan menulis atau membagikan tulisan tentang nilai yang sama. Contohnya, seperti tulisan Dadang Sapardan, “Jejak Digital” (Infoindonesianews.com – Minggu, 28 Maret 2021) Guru bisa menyampaikan secara massif bahwa di zaman sekarang jika siswa menulis hal buruk akan terekam selamanya. Di masa depan, jika siswa melamar kerja atau berbisnis, hal buruk yang pernah ditulis di medsos baik berupa kata-kata kasar, hinaan dengan kehidupan orang lain bisa terekam. Efeknya, saat melamar kerja atau berbisnis orang enggan bekerjasama dengan orang yang jejak digitalnya terlihat buruk. Bahaya kan buat masa depan.
Panoptik semacam itu harus terus digulirkan, dikampanyeukan agar memberi efek maksimal. Akan tetapi, saya kira panoptik ini hanyalah salah satu upaya menciptakan kondisi yang sesuai dengan harapan ideal dengan “kuasa kita” Hal yang terbaik dalam pendidikan adalah tetap membuat siswa mau berpikir dan bernalar dalam menyelesaikan segala persoalan hidup agar panoptik yang tercipta dalam diri siswa berupa kesadaran dan cinta bukan ketakutan karena ancaman.***
Keren dan inspiratif