Oleh Dra. N. Mimin Rukmini
Guru Bahasa Indonesia SMPN I Cililin
“Bagai mendapat durian runtuh. Dahsyat!” Itulah kalimat yang layak saya ungkapkan saat mengikuti acara penyuluhan bahasa Indonesia oleh Balai Bahasa Jabar. Sebagai orang yang hidup dalam lingkaran pejuang bahasa, yakni guru bahasa Indonesia, saya ibarat obor yang sudah mulai redup mendapatkan suluh kembali dengan asupan ilmu bahasa yang terus berkembang. Tak berlebihan jika saya katakan demikian, siapa lagi yang menjaga bahasa Indonesia kalau bukan kita dan khususnya guru bahasa Indonesia.
Sebagaimana isi Sumpah Pemuda nomor tiga, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia, sejatinya bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional dan bahasa Negara menjadi lambang kebanggaan dan identitas Nasional. Namun, kenyataannya kesetiaan dan kebanggaan terhadap bahasa Indonesia tersebut, selama ini masih terabaikan. Penggunaan bahasa Indonesia masih dinomorduakan. Yang memikat perhatian bahasa di muka umum adalah bahasa Asing. Tata bahasa dan huruf pun yang penting bisa dibaca. Kebakuan bahasa, jelas masih diabaikan.
Adalah ketika penyuluhan bahasa Indonesia dari Balai Bahasa Jabar, peserta penyuluhan termasuk saya, antusias mengikuti sesi penyuluhan Tingkat Bandung Barat. Kepala Balai Bahasa Jabar pembicara pertama, dan Kabid SMP Bandung Barat membuka acara secara resmi kegiatan tersebut. Kabid SMP ketika membuka acara salah satunya mengemukakan bahwa guru Bahasa Indonesia adalah pendekar bahasa. Tersanjung hati ini, bisakah?
Sajian materi dalam penyuluhan dari Balai Bahasa Jabar ini meliputi ejaan, kebijakan balai bahasa, kajian apresiasi sastra, serta kalimat dan paragraf. Setiap materi yang dipaparkan menjadi sajian yang luar biasa. Mengkaji bahasa kadang menggelikan, tetapi juga menjadi bahan renungan. Betapa tidak demikian? Apa yang diucapkan ataupun apa yang dituliskan, tidak disadari bahwa itu mengandung kesalahan. Kita berpikir sepintas, yang penting komunikatif, ukuran standar dan kebakuan dinomorduakan. Pemakaian bahasa sudah tidak memerhatikan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, bahkan lebih bangga dengan bahasa asing. Jika sudah demikian, kapan dan siapa lagi yang akan membanggakan dan melestarikan bahasa Indonesia.
Satu, ejaan. Ejaan menjadi panduan dan landasan atau aturan dalam berbahasa. Landasan dan aturan pembakuan tata bahasa, landasan pembakuan kosa kata, dan menjadi penyaring masuknya kosa kata asing dan daerah ke dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu, sejatinya pemakaian bahasa Indonesia selamanya mengacu pada ejaan tersebut.
Kurang lebih ada empat ejaan yang pernah berlaku di Indonesia. Ejaan tersebut adalah Ejaan Van Ophuijsen (1901), Ejaan Soewandi (1947), Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dikenal dengan sebutan EYD (1972), dan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PEUBI). PEUBI diresmikan berdasarkan Permendikbud Nomor 50 Tahun 2015. Oleh karena itu PEUBI atau Ejaan Bahasa Indonesia (EBI) inilah yang menjadi landasan berbahasa Indonesia saat ini. Mulai dari pemakaian huruf, penulisan huruf, penulisan kata, pemakaian tanda baca, sampai dengan penulisan unsur serapan. Bahasa Indonesia memiliki 26 huruf. Lima huruf vokal dan tambahan penggunaan diakritik untuk vokal e, misal pada kata *peka*. Untuk diftong yang semula hanya terdiri atas au, ai, dan oi, ada penambahan diftong ei, contohnya kata *surpai*.
Dua, Kebijakan Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia yang sekarang disebut Badan Pengembangan Bahasa dan Pusat Perbukuan. Badan ini memiliki peran yang sangat strategis dalam upaya pengembangan, pembinaan, dan perlindungan bahasa dan sastra Indonesia. Upaya tersebut menyangkut bagaimana upaya pembakuan bahasa, penyaringan masuknya bahasa daerah, dan bahasa asing ke dalam kata bahasa Indonesia. Kemudian bagaimana pula upaya pembinaan agar masyarakat atau warga negara tetap bangga dan melestarikan penggunaan bahasa Indonesia. Strategi yang dilakukan meliputi pembinaan melalui 13 Kantor Balai Bahasa dan 17 Balai Bahasa yang ada di wilayah provinsi. Bentuk pembinaan di antaranya dilaksanakan melalui penyuluhan bahasa dan sastra Indonesia ke Dinas Pendidikan kota atau kabupaten.
Tiga, pilihan kata atau diksi. Adanya diksi karena banyaknya jumlah kata yang tersedia dalam bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia bukan bahasa berfleksi, melainkan bahasa aglutinasi. Artinya, perubahan bentuk kata dalam bahasa Indonesia tidak dipengaruhi oleh waktu, jenis kelamin, jumlah dan sebagainya, seperti dalam bahasa Inggris dan Jerman, selain bentuk dasar keberadaan sebuah kata bergantung pada kata yang lain. Pengimbuhan pada bentuk dasar mengakibatkan perubahan makna atau pemaikaian. Lalu, tidak selamanya sebuah kata dapat diterapkan pada setiap kalimat, melainkan bergantung pada konteksnya.
Realitas di lapangan, penggunaan pilihan kata pada poster, nama toko, atau petunjuk tempat, masih masif berbau asing. Misalnya, petunjuk arah di hotel, lembaga, atau swalayan, lebih banyak tertera exit daripada padanan kata keluar. Kata masuk untuk masuk ke lokasi kantor atau destinasi tertentu lebih nyaman dengan kata in. Penggunaan bahasa ini dari satu kata saja, masih puluhan mungkin ratusan kosa kata asing yang tersebar di jalanan, ruangan atau di tempat umum. Sungguh! Suatu realita yang memprihatinkan.
Empat, apresiasi sastra. Apresiasi sastra memiliki potensi yang sangat besar untuk membentuk karakter dan sikap seseorang. Melalui apresiasi sastra seseorang dapat mengolah hati dan pikiran. Banyaknya tawuran antarpelajar, kekerasan yang dialami pelajar, dan bentuk penyimpangan perilku pelajar, salah satunya karena lunturnya atau kurangnya olah rasa pada diri peserta didik. Oleh karena itu, pembelajaran sastra dan apresiasi sastra sangatlah penting, tak dapat ditunda lagi. Perlu dilaksanakan mulai dari sekolah Paud sampai perguruan tinggi.
Setidaknya terdapat beberapa manfaat dalam mengapresiasi karya sastra. Pertama, mendapatkan unsur kognitif, yakni unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Kognitif seseorang akan berkembang dengan cara membaca dan mengkaji terus menerus karya sastra. Dua, meningkatkan emosi dan imajinasi. Emosi dan imajinasi berpengaruh terhadap kesenangan. Rasa senang akan menstabilkan pikiran. Dari emosi dan Imajinasi inilah melahirkan manfaat ketiga apresiasi sastra, yakni kreativitas. Kreativitas pada dasarnya terbentuk dari keseimbangan antara pikiran dan perasaan.
Kenyataan di lapangan kesenangan terhadap karya sastra dan pembelajaran apresiasi sastra masih kurang. Peserta didik masih kurang disuguhi bacaan karya sastra. Hal tersebut salah satunya disebabkan masih terbatasnya buku-buku sastra, novel, puisi, cerpen, termasuk juga buku-buku dongeng yang kaya akan imatinasi dan daya kreasi. Melihat hal demikian, kewajiban guru bahasa Indonesialah memikirkan dan menulis buku sastra ataupun dongeng tersebut.
Selanjutnya, penggunaan kalimat dan paragraf dalam bahasa Indonesia pun masih perlu pembinaan terus menerus. Hal ini disebabkan hasil menulis guru dan peserta didik khususnya, serta masyarakat pada umumnya banyak ditemukan kalimat yang tidak efektif. Misalnya, sering kita temukan kalimat “Bagi semua peserta lomba diharap hadir tepat waktu” Kalimat tersebut sepintas seperti sudah efektif, padahal belum atau tidak efektif karena subjek yang tidak jelas. Agar subjek menjadi jelas, sejatinya menghindari pemakaian kata tugas di, bagi, untuk, dan sebagainya di depan subjek. Kalimat di atas dapat diubah dengan perbaikan “Semua peserta lomba diharap hadir tepat waktu.”
Kita juga sering mendengar kalimat dari pembawa acara dengan ucapan mempersilakan “Waktu dan tempat kami persilakan”, padahal kalimat tersebut tidak logis. Siapa yang dipersilakan? Waktu atau orang yang akan mengisi acara? Yang logis, seharusnya kita kemukakan “Waktu dan tempat kami sediakan.” atau “Pada Bapa/Ibu, kami persilakan!” Efektivitas kalimat akan berpengaruh pada paragraf. Demikian pula kepaduan paragraf akan berpengaruh terhadap wacana atau teks, atau gagasan keseluruhan bahasa yang diungkapkan. Bahasa merupakan sebuah sistem yang saling berhubungan, sehingga antarunsur di dalamnya harus padu dan saling mendukung. Ya, banyak benar pekerjaan rumah (PR) kita, khususnya saya sebagai Guru Bahasa Indonesia untuk memperbaiki dan melindungi keberadaan bahasa dan sastra Indonesia.
Kembali ke paragraf awal bahwa guru bahasa Indonesia adalah pendekar bahasa. Pembinaan dan perlindungan bahasa dan sastra yang termudah adalah melalui peserta didik. Oleh karena itu kalau bukan Guru Bahasa Indonesia yang berperan, siapa lagi? Bisa!