Oleh: Eni Haerini, M.Pd.
(Guru SMPN 2 Cipeundeuy)
Disadari atau tidak guru memiliki pekerjaan dua, yaitu mendidik dan mengajar. Dalam hal mendidik, guru berperan sebagai katalisator, yaitu menjadi pemantik yang memotivasi dan menginspirasi untuk menggali dan mengoptimalkan potensi siswa sehingga menjadi suatu pencerahan bagi mereka, yang pada akhirnya mampu membuka wawasannya. Sementara itu hal yang tak kalah menyenangkan lainnya adalah mengajar, yaitu tugas guru yang dikaitkan dengan perannya sebagai fasilitator atau perancang pembelajaran.
Berbicara tentang dua hal tadi, begitu banyak guru lebih fokus pada mengajar saja. Artinya guru lebih memikirkan bagaimana memfasilitasi siswa dalam belajar. Mulai dari menyiapkan perangkat pembelajaran, alat peraga, media, dan buku sebagai sumber pembelajaran. Mereka tidak peduli kelasnya kotor saat masuk; siswa yang salah dalam menggunakan seragam tidak ditegur; bahkan suasana gaduh tidak jelas saat mengajar pun tidak menjadi kendala baginya untuk menyampaikan materi. Bahkan terkadang masih banyak yang berpikir bahwa mereka sudah masuk dan mengajar saja sudah cukup. Mereka memiliki fixed mindset sehingga tidak suka dengan tantangan yang mereka rasa akan membuatnya susah karena guru seperti ini berpikir bahwa siswa itu anak orang lain. Jadi merasa tidak perlu berusaha untuk membuat siswa berubah karena dirasakan tidak akan ada hasilnya. Mereka mudah menyerah. Ketika ada teman atau bahkan siswa yang mengritik, maka kemarahannya akan muncul. Mereka tidak suka belajar pada kelebihan prestasi orang lain. Bahkan hal itu seringkali menjadi ancaman buatnya.
Guru yang hanya mengajar saja lupa bahwa perannya sebagai katalisator jauh lebih penting dari itu. Mengajar dapat dilakukan siapa pun yang memiliki kemampuan. Hand phone sebagai benda mati saja dapat mengajarkan banyak hal kepada siswa. Berbeda dengan mendidik yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang kompeten di bidangnya, yang salah satunya adalah guru. Berbeda dengan fasilitator, peran guru sebagai katalisator itu memang bukan pekerjaan yang mudah jika tidak ditumbuhkan dari hati yang ikhlas. Hanya orang-orang yang memiliki cara berpikir Growth Mindset saja yang akan mampu melakukannya. Guru yang seperti itu akan selalu menyukai tantangan. Mereka tidak menyerah jika menghadapi siswa yang luar biasa menyulitkan dalam banyak hal. Sesulit apa pun itu dia tidak akan menyerah begitu saja karena mereka berpikir bahwa usaha itu berbanding lurus dengan hasil. Artinya mereka akan selalu berusaha melakukan apa pun sampai berhasil. Guru seperti itu tidak akan segan meminta kritik dari orang lain untuk kemajuan pembelajaran yang diciptakannya. Bahkan mereka akan belajar dari orang lain yang berhasil.
Wahai para guru, marilah kita menjalankan profesi kita dengan diawali niat ikhlas karena Allah agar semua yang kita lakukan bernilai ibadah. Dengan ikhlas apa pun tidak akan terasa sukar. Kelelahan fisik tidak akan terasa karena dengan ikhlas kita akan tahu bahwa semua yang dilakukan sangat bernilai di mata Tuhan. Dibantu dengan doa yang kita panjatkan kepada-Nya, yakinlah bahwa dengan memainkan peran sebagai fasilitator dan katalisator dengan cara ikhlas, sebagai guru kita akan dapat berkontribusi terhadap kemajuan negeri tercinta ini. Kita akan mampu melahirkan anak-anak bangsa yang cerdas, berkarakter, memiliki akhlak mulia, serta pandai menyikapi kehidupan yang penuh dengan tantangan ini.