Oleh N. Mimin Rukmini
Guru Bahasa Indonesia SMPN I Cililin
Mudik lebaran yang menjadi agenda tahunan berlalu sudah. Umat muslim berlomba- lomba berbuat kebajikan selama setahun dan bulan Ramadan untuk merayakan hari kemenangan di kampung halaman. Tak terkecuali, berbuat sedekah dan berbagi menjadi momen ibadah bagi orang beriman dan peduli sesama.
Saya teringat, semenjak kecil hingga dewasa ketika menjelang dan saat idul fitri sudah tradisi mendapat amplop atau uang dari saudara dan orang tua. Nenek ketika masih ada saat itu, suka mengatakan “Tahun Alus Bulan Hade” sambil membagikan uang pada anak, cucu, atau saudara.
“Tahun Alus Bulan Hade” mengandung makna bahwa momen Idul Fitri merupakan perayaan Hari Kemenangan Umat Islam untuk kembali suci diri, salah satunya melalui berbagi setelah sebulan lamanya berpuasa. Sehingga berbagi saat Idul Fitri disebut juga tahun yang bagus dan bulan yang baik.
Kemudian, pulang kampung saat mudik Idul Fitri tersebut, juga menjadi hal yang perlu diutamakan. Perlu perencanaan, perhitungan yang matang, dan dalam pelaksanaannya membutuhkan keikhlasan sehingga apa yang direncanakan terutama yang dibagikan menjadi momen bahagia kita bersama. Bahagia yang membagi demikian pun bahagia yang dibagi.
Momen berbagi ini pun perlu berbagi dengan adil. Hati-hati dalam menjumlah anggota keluarga, masing-masing berapa yang akan diterimakan, seberapa pula manfaat barang atau benda yang akan diberikan.
Kegiatan berbagi saat Idul Fitri tak terbantahkan selalu kita lakukan, tetapi juga tidak menjadikan lupa diri karena kesombongan. Di sinilah makna keikhlasan. Berbagi karena ingin saudara mencicipi rejeki yang membuat kita bahagia sehingga dirasakan pula oleh sanak keluarga. Berbagi dengan prinsip pada harta yang didapatkan ada milik saudara lain yang membutuhkan. Artinya, bersedekah atau berbagi mutlak kita lakukan.
Pada zaman Rosululloh, seseorang bernama Abdurahman bin Auf dirinya selalu menyesal andai lalai bersedekah. Beliau takut, kebahagiaan nya didahulukan oleh Allah andai lalai tak bersedekah. Artinya, seberapa pun bahagia di dunia tak akan ada artinya jika lalai bersedekah dan berbagi sebagai bekal bahagia di akherat kelak. Dalam Al-Quran sering disebutkan berbahagialah bagi orang-orang yang senantiasa mencari ilmu dan selalu bersedekah.
Seperti yang telah saya ungkapkan di atas, selain berbagi saat Idul Fitri, terdapat pula tradisi berbagi ketika menjelang Idul Fitri. Tradisi yang dibagikan pun berbeda antara tempat yang satu dengan yang lainnya. Khusus daerah asal saya misalnya Purwakarta, saat “lilikuran”, yakni hari mulai ke-21 Ramadan, masyarakat di wilayah perdesaan saling berbagi antartetangga atau antar saudara dengan menggunakan rantang (wadah bersusun, biasanya terdiri dari dua, tiga, atau empat wadah). Isi rantang biasanya terdiri dari nasi, tumis kentang, sayur ayam atau daging, tumis bihun, tumis cabai, atau tumis kacang buncis. Yang mengantarkan rantang biasanya orang tua disertai dengan anak-anak. Naah, anak-anak ini nantinya diberi uang oleh yang dibagi atau yang menerima rantang. Ups, jadi ingat masa kecil. Bahagia rasanya, mendapat uang walau hanya recehan. Uang dikumpulkan. Kadang nanti membandingkan perolehan uang ” nganteuran” (mengantarkan rantang) dengan sesama saudara.
Lain halnya tradisi berbagi di daerah mertua di daerah Garut. Tradisi berbagi saat lilikuran, isi rantang bukan daging, atau ayam tetapi ikan goreng atau ikan yang dipindang bumbu manis. Mengapa ikan? Ya, karena memang daerah Garut daerah pegunungan, hampir setiap rumah di perkampungan memiliki kolam ikan. Selain ikan ditambah pula gorengan atau rempeyek ikan kecil dari sawah. Atau ranginang yang sengaja dibuat sendiri tanpa membeli, kecuali bahan dasarnya, yakni beras ketan.
Ada yang menggelikan ketika Almarhum Kyai Haji AF Ghazali suka berceramah tetang “Babagi Rantang Bulan Ramadan” (membagi rantang bulan Ramadan). Pak Kyai suka memberikan perhatian jangan sampai berbagi rantang isinya saling menukar, atau kalau kepepet kehabisan, membagi rantang untuk tetangga sebelah timur diambil dari isi rantang tetangga sebelah barat atau sebaliknya. Celakanya jenis tumis dan lauk pauknya sama percis, akhirnya ketahuan bahwa isi rantang dari Si A atau Si B. Ah, itu kejadian beberapa puluh tahun yang lalu. Mungkin untuk zaman sekarang tidak demikian.
Namun, sekarang bergeser, tradisi berbagi rantang sudah berkurang. Istilah “Bacetrok, Bebeye, Tumis Basi, dan semacamnya” sudah berkurang tidak “Bacetrok Satuur lagi” (tumis basi satu lutut) karena terlalu banyak. Bahkan orang tua sendiri, sengaja tidak lagi berbagi rantang, lambat laun tradisi menjadi berkurang. Maaf, jangan dulu salah tafsir! Tradisi berbagi diarahkan pada bentuk yang lain, misalnya berbagi sarung, mukena, kain, atau bentuk benda lainnya sehingga lebih bermanfaat.
Yah, mempertahankan tradisi berbagi rantang tersebut ada nilai positifnya sekaligus juga nilai negatifnya. Positifnya, saling mencicipi rezeki antarwarga dan saudara. Negatifnya, kalau makanan terlalu banyak, rasa makanan itu menjadi tidak enak. Akhirnya, makanan mubazir. Untung-untung kalau ada tetangga yang kurang mendapat rantangnya, bisa kita berikan tumis basi tersebut. Naah, mubazirnya kalau mendapat kirimaan rantang sama banyak, boleh jadi tumis basi masuk tong sampah.
Kembali ke mudik Idul Fitri atau lebaran dan berbagi rezeki. Berbagi dalam keluarga, sahabat, atau handai taulan tak memandang berapa besar atau kecilnya, tetapi banyak nilai dan hikmah dari berbagi tersebut. Nilai sosial, nilai kebersamaan, nilai moral, dan kebajikan akan terbentuklah karakter keimanan dan kepribadian. Semoga!