Dadang A. Sapardan
(Kabid Pengembangan Kurikulum, Disdik Kab. Bandung Barat)
Pada berbagai media sosial,—Whatsapp, Facebook, dan Instagram—terungkap tayangan akan keinginan beberapa pihak pada Kemenkominfo untuk memblokir situs game online agar anak-anak bisa fokus belajar kembali sehingga mereka menjadi generasi yang berpendidikan. Ungkapan keinginan tersebut dimungkinkan sebagai imbas dari intensitasnya anak-anak terhadap permainan game online. Sejak ‘dipaksanya’ setiap siswa untuk belajar dari rumah dengan pola jarak jauh melalui moda daring, setiap siswa harus memanfaatkan gadget sebagai media pembelajaran. Kenyataan tersebut disinyalir berefek pada prilaku menyimpang. Mereka bukannya intens belajar, malah mulai menggemari permainan game online. Bahkan bukan menggemari semata, tetapi pada beberapa gelintir pelajar mulai kecanduan. Kencanduan inilah yang melahirkan kekhawatiran hingga berlanjut pada keinginan agar Kemenkominfo memblokir situs-situs tersebut.
Permainan game on line berkembang sangatlah pesat, di antaranya sejalan dengan kewajiban pelajar untuk mengikuti pembelajaran jarak jauh dengan moda dalam jaringan (daring). Dalam pandangan banyak orang, fenomena tersebut sudah mulai mengkhawatirkan karena para pelajar malah terlalu suntuk dengan permainan game online bukannya suntuk dengan pembelajaran daring. Prioritas pemanfaatan gadget yang dimilikinya bukanlah untuk mengikuti proses pembelajaran yang dilaksanakan bersama guru masing-masing—sebagaimana yang diharapkan pada awal pengharusannya. Namun, sejalan dengan perkembangan waktu, mereka menempatkan permainan game online sebagai prioritasnya.
Selama abad ke-20 para pemangku kepentingan berkeyakinan bahwa kekayaan alam–pembangunan ekonomi berbasis sumber daya, sumber daya alam sebagai modal pembangunan—dapat menjadi dasar kemajuan bangsa dan negara. Ternyata, pemahaman tersebut mengalami perubahan karena pada abad ke-21 diyakini bahwa kebesaran bangsa akan ditentukan oleh kebijakan pembangunan kesejahteraan berbasis kekayaan peradaban—peradaban sebagai modal pembangunan, sumber daya manusia beradab sebagai modal pembangunan, serta penduduk sebagai pelaku/produsen.
Perubahan keyakinan tersebut dibarengi oleh fenomena perkembangan demografis bangsa Indonesia. Sejak tahun 2010 sampai diperkirakan tahun 2045, bangsa ini akan dihuni dan didominasi oleh working age, usia kerja/usia produktif yang berpotensi untuk menjadi energi besar guna mendorong kemajuan bangsa. Potensi ini bila terkelola dengan optimal akan dapat menyejajarkan bangsa Indonesia dengan bangsa lain dalam percaturan persiangan kehidupan dunia.
Bonus demografi dengan dominasi working age merupakan sebuah fakta yang tidak dapat disangkal dan dihalang-halangi lagi, tetapi proses menjadikan working age yang berkualitas sehingga menjadi sosok potensial, merupakan langkah yang dapat dirintangi, di antaranya dengan melumpuhkan bibit-bibit sumber daya manusia berkualitas melalui berbagai cara dan strategis.
Beberapa pemerhati sosial pernah mengemukakan, bahwa bangsa Indonesia tengah berada di bawah ancaman bayang- bayang proxy war. Untuk mencegah dan melawannya, semua elemen bangsa ini harus bersatu-padu dan bersinergi, sehingga dapat memanfaatkan kepemilikan potensi sumber daya manusia untuk mensejajarkan diri dengan bangsa lain dalam percaturan kehidupan dunia.
Proxy war dimaknai sebagai perang yang diciptakan ketika lawan atau musuh menggunakan dan memanfaatkan pihak ketiga sebagai mesin perangnya. Aktor pihak ketiga yang digunakan untuk memerangi ini bisa dalam bentuk lembaga non-negara, organisasi, tentara bayaran, atau kekuatan lainnya yang dipandang dapat menyerang lawan tanpa menyebabkan perang dalam skala penuh. Dalam proxy war ini lembaga atau negara yang memerangi cukup sulit dideteksi. Proxy war dilakukan dengan maksud untuk menguasi sumber daya negara atau bangsa yang diperanginya. Dengan istilah sederhana, proxy war ini bisa disamakan dengan istilah memukul dengan meminjam tangan orang lain.
Sejarah telah membuktikan bahwa kekalahan Tiongkok atas Inggris merupakan refleksi dari keberhasilan proxy war yang dijalankan Inggris. Tiongkok harus bertekuk lutut pada Inggris karena banyak prajuritnya menjadi pecandu opium yang dipasok secara besar-besaran ke Tiongkok. Ujung dari kekalangan tersebut, Tiongkok harus menandatangani Perjanjian Nanking yang salah satu isinya adalah penguasaan Inggris atas Hongkong selama 100 tahun.
Berkaca pada sejarah Perang Candu yang mengakibatkan kekalahan Tiongkok tersebut, tentunya kita berharap agar kejadian yang dialami Tiongkok tersebut tidak teralami oleh bangs ini. Kecanduan para pelajar sebagai generasi masa depan bangsa pada permainan game online dimungkinkan dapat menjadi upaya pelemahan sendi-sendi kehidupan bangsa melalui pembunuhan karakter generasi mudanya. Dengan pelemahan tersebut penguasaan bangsa ini akan dengan mudah dilakukan oleh pelaku proxy war.
Alhasil, tugas kita semua untuk bersinergi dan berupaya dengan optimal guna mencegah semakin masivnya permainan game online di kalangan generasi muda. Dalam konteks ini, tugas yang diemban adalah mensinergikan berbagai ide, pemikiran, dan kiprah guna turut serta mencegah semakin suntuk dan kecanduannya mereka dengan permainan game online.****Disdikkbb-DasARSS.
Setuju proxy war hrs dicegah kerja sama unjuk tombak dilapangan dengan oemangku.kebijakan yg berkopenten
Betul sekali, Pak..
Berbagai pihak bertanggungjawab untuk memperbaiki kondisi ini: pemerintah, guru, pemuka agama, para intelektual dan masyarakat lainnya. Namun yang paling efektif di antara pijak-pijak itu adalah pemerintah. Itu karena pemerintah punya kekuasaan, regulasi, aparat dan infrastruktur untuk mengeksekusi pemecahan masalah ini.
Di bawah, masyarakat (termasuk guru), juga mesti sadar betul bahwa ini masalah besar. Juga petlu sigap bertindak.