Artikel: ADHYATNIKA GU
Bandung Barat, (Newsroom). Pesta demokrasi dalam rangka pemilihan Presiden, Senator, dan Legislator, baik tingkat daerah maupun pusat yang diselenggarakan secara serentak pada tahun 2019 sudah usai. Tetapi kontestasi tersebut meninggalkan jejak yang sangat berwarna. Pasca Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan hasil Pemilihan Umum (PEMILU) serentak tersebut pada Selasa (21/5/19) dini hari, sejumlah elemen masyarakat menyambutnya dengan berbagai persepsi. Sebagian menerima, tidak sedikit yang menolak hasil tersebut. Mahkamah Konstitusi (MK), setelah melalui proses persidangan yang transparan dan terbuka, akhirnya menetapkan keputusan final tentang siapa pemenangnya, Kamis (27/6/19). Berakhirnya proses persidangan MK tersebut memerlukan tahapan selanjutnya terlebih untuk para kontestan, yakni saling memahami dan menghormatinya. Wacana rekonsiliasi pun bermunculan sebagai jalan terbaik untuk ‘mendinginkan’ suasana batin yang melanda dua kubu.
Rekonsiliasi dalam Islam bermakna as-sulh, perdamaian. Ba’albakki dalam karyanya Al-Mawrid , sebuah kamus bahasa Arab, dinyatakan bahwa rekonsiliasi dilustrasikan jika ada yang bertikai/berseteru kemudian dilakukan ishlah. Pada sisi laih, dimaknai juga kesepakatan yang bisa membawa kebaikan di antara kedua belah pihak yang berselisih.
Sesungguhnya kontek rekonsiliasi secara tegas diperintahkan oleh Islam. Hal ini termaktub dalam al-Qur’an surat an-Nisa (4):114, ketika Allah swt berfirman: “Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali dari bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian diantara manusia. Barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridoan Allah, kelak Kami akan memberinya pahala yang besar.”
Baginda Rasul SAW , diriwayatkan oleh Ibnu Hiban, juga menyatakan: “Maukah kalian aku beritahu tentang derajat yang lebih baik dibandingkan dengan derajat puasa dan salat pada malam hari?” Para sahabat menjawab: “Tentu wahai Rasulullah.” Baginda bersabda: “Memperbaiki kondisi di antara dua belah pihak (yang bertikai).”
Dalam pandangan Islam, rekonsiliasi adalah perbuatan mulia, sejauh menyangkut kemaslahatan untuk umat manusia, dan tidak melanggar perintah Allah. Selama perbuatan ini membawa kedamaian, ketenteraman, kenyamanan dan bermanfaat, maka wajiblah dilakukan. Tentu agama lain pun mengajarkan kedamaian, dan menyuruh untuk saling berbuat baik kepada umatnya. Termasuk untuk saling memaafkan apabila timbul perselisihan. Begitulah yang dilakukan Rasulullah dalam membangun Madinah, suatu negara kota yang majemuk; dilihat dari suku, agama , ras dan pandangan poltiknya. Piagam Madinah adalah bukti nyata, ketika Nabi SAW memberikan perlindungan kepada umat atas dasar kemanusiaan. Merekonsiliasi mereka yang bertikai, merangkul siapapun atas dasar persatuan dan keutuhan umat. Pijakan yang digunakan adalah al-Qur’an surat al-Hujarat:13: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian dari satu laki-laki dan permempuan. Dan kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kalian di sisi Allah, adalah yang paling bertakwa…”
Pada dasarnya, rekonsiliasi sangat berbanding lurus dengan keteladanan. Baginda Nabi mampu melakukan rekonsiliasi dengan Abu Sufyan pada peristiwa Fathu Makkah, berdampak berimannya tokoh Makkah tersebut. Hal itu disebabkan karena kesantunan Nabi SAW dalam memposisikan Abu Sufyan sebagai seorang pemimpin satu kaum. Begitu pula yang dilakukan oleh Imam Ali, ketika berekonsiliasi dengan Muawiyah, dengan tujuan agar keutuhan umat Islam tetap terjaga, walaupun berakibat lepasnya jabatan Khalifah yang disandangnya.
Dalam kontek kekinian, seorang guru akan mampu mendamaikan perselisihan siswanya yang bertikai, manakala keteladanan terpancar pada dirinya; berbicara sopan, berbuat santun kepada siapapun, berlaku adil, mendudukan siswa sebagai sahabat, tidak membeda-bedakan status sosial, berdiri sama tinggi-duduk sama rendah, tidak memanggil dengan sebutan yang akan merendahkan dirinya, saling berbagi, menyayangi yang lemah, menghormati yang lebih tua, memuliakan orang tua dan guru.
Akhirnya, boleh jadi hasil yang didapat dari proses demokrasi kurang memuaskan salah satu pihak. Tetapi sebagaimana yang telah diungkapkan oleh ke-dua tokoh bangsa, yang berkontestasi, bahwa keutuhan negara dan bangsa jauh lebih penting daripada kepentingan pribadi dan golongan. Semoga rekonsiliasi dapat terealisasi dalam waktu dekat. Bangsa utuh, negara kokoh, persatuan terajut kembali, dan setiap anak bangsa kembali menatap ke depan, ke arah cita-cita luhur pendiri bangsa ini; merdeka, berdaulat, adil dan makmur dalam naungan Allah swt. Semoga.***
Biodata Penulis:
Adhyatnika Geusan Ulun, dilahirkan pada tanggal 6 Agustus 1971 di Bandung. Tinggal di Kota Cimahi.
Pekerjaan: Guru Bahasa Inggris di SMPN 1 Cipongkor Bandung Barat sejak tahun 1999. Pengurus MGMP B. Inggris Kab. Bandung Barat. Alumnus West Java Teacher Program di Adelaide South Australia, 2013. Anggota NEWSROOM tim peliput berita Dinas Pendidikan Bandung Barat. Jurnalis GUNEMAN Majalah Pendidikan Prov. Jawa Barat. Penulis Buku Anak dan Remaja. Pengisi acara KULTUM Studio East Radio 88.1 FM Bandung. Redaktur Buletin Dakwah Qolbun Salim Cimahi. Kontributor berbagai Media Masa Dakwah. Sering menjadi juri di even-even keagamaan. Adhyatnika.gu@gmail.com., Ig.@adhyatnika geusan ulun
Aamin Ya Robbal Alamin
Aamiin. Mugia urang dijantenkeun jalmi anu salamina mulia dunia, mulia akhirat. Nhn