Oleh: N. Mimin Rukmini
(Guru Bahasa Indonesia SMPN 1 Cililin)
Beberapa waktu lalu tulisan penulis dimuat pada kolom Forum Guru surat kabar Pikiran Rakyat, menyoal bagaimana menanamkan tanggung jawab pada pilihan sekolah anak atau siswa. Siswa diharapkan mampu bertanggung jawab atas pilihan sekolah yang mereka ambil. Tanggung jawab akan tumbuh manakala siswa merasa senang dan nyaman atas pilihan yang diambilnya. Mereka tidak merasa terpaksa, sebaliknya merasa nyaman dan senang. Sehingga munculah sifat kritis dan kreatif yang memukau.
Keinginan siswa untuk memilih sekolah, biasanya disesuaikan dengan kemampuan dan kesenangan yang telah mereka alami. Informasi sekolah yang diidamkan tersebut boleh jadi diperoleh dari teman atau kerabat, atau browsing yang telah dilakukan. Namun, dengan sistem zonasi dalam Penerimaan Peseta Didik Baru (PPDB) yang sekarang diberlakukan berdampak baikkah bagi siswa? Paparan dalam tulisan ini, bukan menyoroti baik tidaknya sistem zonasi dalam PPDB bagi siswa, melainkan bagaimana mengarahkan sikap terhadap siswa agar siswa tetap nyaman dan merasa senang berada dan belajar di sekolah dalam wilayah zonasi.
Beberapa grup whatsapp (WA) yang penulis ikuti, umumunya membincangkan tulisan tentang zonasi dan sekolah pavorit. Sekolah pavorit dikenal masyarakat karena prestasinya. Baik prestasi akademik maupun non-akademik. Misalnya pavorit karena memeroleh nilai UN tertinggi. Menghasilkan siswa juara Olimpiade Siswa Nasional (OSN), serta Festival Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) dan prestasi lainnya. Sekolah pavorit lebih mengedepankan bentuk fisik prestasi daripada proses perolehan prestasinya. Dengan kata lain sekolah pavorit kadang mengabaikan strategi bagaimana siswa berproses dalam meraih prestasi.
Hal yang lebih menarik dari tulisan dalam grup WA tersebut adalah tentang sekolah yang ada di kwadran Memimpin dan Sekolah Belajar. Sekolah Memimpin mengedepankan reputasi dengan memiliki strategi perolehahan prestasi dan tindakan proses untuk mencapai prestasi tersebut. Dalam hal itu, kebalikannya, ada pula sekolah misalnya menyatakan bahwa siswa semakin memiliki kualitas yang rendah pada bidang akademiknya. Sekolah tidak mengukur seberapa jauh siswa melakukan proses belajarnya. Naah, inilah sekolah yang mohon maaf sebut saja sekolah yang ‘kurang belajar’, yakni sekolah yang hanya memasalahkan kualitas siswa yang rendah. Padahal, kualitas siswa yang rendah adalah salah satu peluang sekaligus tantangan untuk lebih berprestasi. Sekolah Memimpin akan terus memajukan prestasi baik dalam proses strategi memperoleh prestasi maupun tindakan meraih prestasinya, hingga reputasi sekolah semakin meninggi.
Segala peluang dan tantangan bagi sebutan Sekolah Belajar adalah ajang kreativitas sekolah untuk terus berinovasi. Terbatasnya sarana dan prasarana, rendahnya kualitas kemampuan siswa, serta sulitnya merekrut guru berkualitas untuk Sekolah Belajar, menjadi bahan kajian untuk menentukan srategi dan tindakan proses untuk mencapai keberhasilan.
Selama ini di sekolah pavorit identik dengan kemewahan; mewah potensi, mewah pula gaya hidupnya. Sekolah pavorit kadang dikatakan sekolah orang berduit. Walaupun sebetulnya tak jarang pula peserta didik berprestasi dari kalangan menengah ke bawah bisa menerobos gerbang sekolah pavorit tersebut. Siswa pintar dari kalangan bawah, ke sekolah jalan kaki atau naik sepeda, sedangkan dari kalangan orang kaya, siswa diantar jemput atau mengendarai kendaraan sendiri.
Di sisi lain, siswa di sekolah pavorit jarang sekali bergaul dengan siswa dari sekolah biasa, atau tidak pavorit. Seolah-olah ada jarak, baik ilmu maupun sikap. Mereka boleh jadi merasa memiliki kemampuan lebih dibanding sekolah biasa. Nama sekolah pavorit telah menggeser sikap pembeda di antara siswa.
Jika dikaitkan dengan sistem zonasi, jelas bahwa sekolah pavorit kedudukannya sedikit tergeser. Masyarakat tak akan lagi mengelus-ngelus atau hanya mendambakan sekolah pavorit. Sebaliknya, sekolah yang sebut saja tidak pavorit mendapat asupan makanan yang lebih bergizi. Dengan demikian, sekolah akan lebih menggeliat memerlihatkan potensi siswanya sehingga ke depan sekolah tersebut akan lebih berkembang dan bersaing sehingga sejajar atau bahkan lebih tinggi melebihi sekolah lain yang kualifikasinya seperti dikatakan sekolah pavorit.
Terlepas dari tergesernya kredibilitas sekolah pavorit dan tidak pavorit dalam sistem zonasi PPDB. Kelemahan dan kelebihan dari sistem tersebut kita jadikan pembelajaran untuk lebih memahami arti belajar dalam kancah pendidikan, khususnya penulis sebagai guru yang tak lepas dari belajar dan pembelajaran. Artinya, sistem zonasi PPDB jadikan sebagai peluang sekaligus sebagai tantangan.
Catatan peluang dan tantangan dari sistem zonasi itu di antaranya akan penulis paparkan sebagai berikut.
Satu, memberi arahan kepada siswa berprestasi. Mereka dengan semangat belajarnya yang tinggi sudah mempersiapkan diri sejak dini. Dari kelas awal, mereka biasanya sudah mengejar sekolah yang diidamkannya. Artinya, mengejar ambisinya untuk sekolah di kelas pavorit. Lalu, serta-merta dengan zonasi PPDB mereka ‘dicekal’ keinginan dan cita-citanya. Guru dan orang tua pastinya memberi pengertian kepada mereka, bahwa siswa yang memiliki semangat belajar tinggi tidak akan kehilangan prestasi di mana pun mereka bersekolah. Dengan demikian, sekolah yang berada di lingkungan terdekat dengan sendirinya mereka akan mulai bersaing dengan sekolah lain yang kualifikasinya lebih tinggi. Penyebaran siswa berprestasi di setiap wilayah diharapkan akan berdampak positif pada proses dan hasil pembelajaran serta lebih kompetitif.
Dua, dengan zonasi, siswa yang berasal dari keluarga yang kurang mampu memiliki hak yang sama untuk merasakan sekolah di sekolah negeri unggulan atau pavorit, sehingga tak ada lagi pembeda siswa yang berasal dari keluarga mampu atau kurang mampu. Ringan di ‘ongkos’, ringan pula di biaya. Oleh karena itu penyebaran dan pemerataan kualitas pendidikan di setiap sekolah diharapkan tidak terlalu signifikan antara sekolah yang satu dengan yang lainnya. Dengan kata lain, diharapkan melalui sistem zonasi, akan tercapai penyebaran dan pemerataan pendidikan baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
Peluang dan tantangan terakhir dari Sistem zonasi PPDB adalah akan lebih terangkatnya muatan lokal pada setiap daerah. Sekolah di masing-masing wilayah dengan siswa dari lingkungan sekolah sendiri diharapkan akan memiliki ciri khas tersendiri sebagai kekuatan potensi sekolah, sehingga diharapkan tumbuhlah sekolah-sekolah dengan ciri khas budaya lokalnya. Tantangan yang ada, tinggal bagaimana sikap dan gaya belajar serta pembelajaran guru menguatkan potensi daerah di lingkungan sekolah sendiri.
Guru sebagai tenaga pendidik tak akan lepas dari sistem pendidikan. Kebijakan baru sistem zonasi dalam PPDB mutlak harus kita laksanakan. Guru mulia karena karya, tetapi selalu terbuka menerima kebijakan apa pun. Sepanjang kebijakan tersebut tak mengabaikan kepribadian. Semoga! ***