Dadang A. Sapardan
(Kabid Kurikulum & Bahasa, Disdik Kab. Bandung Barat)
Beberapa waktu lalu, pada Whats Apps Grup yang diikuti sempat terbaca sebuah metafora kehidupan yang mengungkapkan tentang burung gagak mematuk-matuk burung elang. Sekalipun sadar dengan patukan itu, elang tidak berupaya menanggapi dengan serius atau bertarung mati-matian dengan gagak agar terjatuh dari punggungnya. Elang tidak mau menghabiskan waktu dan energi dengan sia-sia, hanya untuk bertarung dengan gagak. Elang hanya cukup membuka sayapnya dan mulai terbang lebih tinggi lagi. Semakin tinggi elang terbang, semakin sulit gagak bernafas yang pada akhirnya, gagak jatuh karena kekurangan oksigen.
Membaca metafora yang disimbolkan dengan burung elang dan gagak sangatlah dalam makna kandunganya. Sebuah sikap dan tindakan yang harus ditunjukkan oleh manusia dalam menghadapi fenomena kehidupan yang tidak akan selalu lurus dan datar. Kehidupan yang dipastikan diwarnai dengan belokan dan tanjakan sebagai tantangannya.
Dalam mengarungi kehidupan ini—untuk menghindari kekecewaan—manusia tidak harus selalu dibarengi dengan ekspektasi yang mengarah pada sisi baik semata. Ketika ekspektasi bernuansa baik terus dipancangkan, yang terjadi adalah kekecewaan—saat ekspektasi tidak tercapai. Kekecewaan akan melanda saat das sollen tidak sejalan dengan das sein. Pada diri setiap manusia perlu terbangun sebuah keyakinan bahwa hidup tidak akan melaju pada jalan lurus tanpa belokan serta datar tanpa tanjakan. Adanya belokan dan tanjakan merupakan dinamika yang mewarnai kehidupan dan keberadaannya tidak dapat terhindar. Belokan dan tanjakan menjadi sebuah tantangan yang harus dihadapi manusia, merupakan sebuah keniscayaan dalam kehidupan.
Berbagai tantangan kehidupan niscaya dihadapi setiap orang dengan tidak berbatas ruang dan waktu. Demikian pula dengan tantangan yang dipicu faktor eksternal sebagai penyebabnya. Tidak jarang dalam perjalanan berkehidupan ini ditemukan tantangan dari pihak ekternal—seperti yang digambarkan dalam metafora burung elang dan gagak. Dalam konteks ini, yang dibutuhkan adalah kepiawaian dalam menghadapi fenomena yang dihadapi.
Dalam mengahadapi tantangan kehidupan ini yang perlu dibangun adalah kesadaran akan lahirnya respons dari berbagai pihak atas sikap, prilaku, dan kebijakan. Dimungkinkan, respons yang terlahir akan terkelompokkan atas tiga ranah, yaitu: mendukung, abstain, dan tidak mendukung. Ketiga ranah tersebut akan selalu ada dan tidak bisa dipungkiri. Tantangan yang paling kentara dari ketiga ranah tersebut biasanya diperlihatkan oleh pihak yang berada pada ranah tidak mendukung.
Untuk menyikapi ranah tersebut, tidak menutup kemungkinan harus disikapi dengan menguras energi sangat banyak. Namun, metafora tersebut memberi gambaran bahwa tidak semua tuduhan, fitnahan, nyinyiran, atau hujatan yang menjadi refleksi dari ranah ketiga tersebut, harus dihadapi dengan bertarung yang pada akhirnya hanya akan menghabiskan energi dan waktu sangat banyak. Sebuah kesia-siaan dan ketidakbermaknaan, ketika seluruh tantangan harus dihadapi dengan pertarungan man to man, apalagi tantangan dari kelas di bawah yang tak sepadan. Meminjam ungkapan yang disampaikan Gus Baha, Kiai yang saat ini sangat digandrungi karena keluasan ilmunya, perdebatan (pertarungan) hanya memungkinkan dilakukan dengan sosok sepadan, kalau tidak sepadan jangan dilayani karena hanya akan menghabiskan energi dan waktu semata.
Pertarungan yang sangat jitu dan penuh perhitungan dengan tidak banyak mengeluarkan energi yang banyak harus menjadi strategi berkehidupan. Karena itu, langkah yang harus dilakukan adalah memilah tantangan yang dihadapi. Pemilahan—dengan dibarengi kecerdasan dalam memainkan ritme berkehidupan—dibutuhkan agar dapat mengurangi hamburan waktu dan energi dengan sia-sia atas upaya tanpa makna.
Untuk itu, tidak perlu menanggapi seluruh pertempuran secara man to man. Naikkan saja standar dan kepakkan sayap untuk terbang jauh lebih tinggi.
Alhasil, berhentilah membuang waktu yang sangat berharga dan membuang energi dengan sisa-sia hanya untuk menyikapi sesuatu yang tak bermakna. Melangkahlah terus, sebab mereka pun akan jatuh dan memudar dengan sendirinya. *****Disdikkbb-DasARSS.
Metafora elang dan burung gagak,merupakan ilustrasi dalam kehidupan nyata, memang benar energi yang kita miliki jangan dibuang secara percuma hanya untuk urusan yang sebenarnya berorientasi kepada ego pribadi, sebaliknya lebih baik energi itu kita gunakan untuk hal yg lebih produktf dan bermakna dgn orientasi mendapat ridho Allah swt,….
Setuju Pa Kabid👍ibukankah bergosip juga memerlukan energi intinya kita harus lebih bijak dalam menyikapi permasalah yang memang belum tentu kebenarannya…
Subhanallah, tulisan di atas sangat inspiratif. Layak dijadikan pijakan kehidupan, pondasi pendidikan, ruh kehidupan.
Mantap.