Oleh: Eli Nurlaeli
(Guru SMPN 2 Cipongkor)
Suatu hari di sekolah, penulis masuk pada jam pertama. Setelah 15 menit di kelas, datang 3 orang siswa yang sengaja “menelatkan diri” Penulis katakan demikian karena sekitar 10 menit sebelum waktu masuk anak-anak ini sudah ada di lingkungan sekolah bahkan menyalami penulis. Intuisi penulis sebagai CGP yang baru saja mendapat materi disiplin positif langsung terkoneksi “Oh Saatnya aksi nyata menerapkan segitiga restitusi”.
Singkat cerita diskusi santai diaantara kami terjadi. Penulis ikuti tahapan segitiga restitusi dengan runut mulai dari menstabilkan identitas, validasi tindakan yang salah, dan menanyakan keyakinan. Maklum saja waktu itu materinya masih sangat hangat dalam ingatan penulis.
Perasaan luar biasa penulis rasakan karena ternyata dengan menerapkan segitiga restitusi penulis merasa lebih nyaman dan damai. Penulis bandingkan kebiasaan lama penulis yang tidak suka basa basi, tidak suka anak banyak alasan, dan tidak suka anak melawan hingga akhirnya membuat penulis marah-marah dan kepala mendadak migrain. Hebatnya, 3 siswa itu terlihat suka dengan obrolan hangat itu, tampak ada senyum kemerdekaan dan kebebasan, wajah mereka sumringah.
Kala itu penulis sangat bersyukur penulis mendapatkan materi luar biasa dalam pendidikan Calon Guru Penggerak. Penulis ingat betul bahwa filosofi tujuan pendidikan adalah mencapai kebahagiaan dan keselamatan. Dan penulis sedang merangkak mencapainya.
Tapi, rasa senang itu ternyata tidak terlalu lama, karena beberapa minggu kemudian 3 anak tersebut telat lagi. Saat itu penulis sempat berpikir, apa yang salah. Apa bedanya penulis langsung menegurnya atau memarahinya dengan mempraktikan segitiga restitusi, karena pada akhirnya sama saja. Anak-anak melakukan kesalahan yang sama dan berulang. Namun, kembali kepada filosofi pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara “Pendidik itu hanya dapat menuntun tumbuh atau hidupnya kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar dapat memperbaiki lakunya (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya kekuatan kodrat anak”.
Lalu bagaimana kita menuntun tumbuh kodrat yang ada pada anak-anak, semua dari kita memiliki pilihan masing-masing. Dan lagi-lagi penulis merasa beruntung karena pendidikan guru penggerak telah mengubah mindset penulis. Bagaimana kita mewujudkan pendidikan yang berpihak pada murid dengan cara-cara yang lebih humanis? dan root cause analysis. Penulis tidak pernah mengatakan cara penerapan disiplin “tradisional” seperti menghukum itu salah. Tapi paradigma pendidikan selalu berubah sesuai dengan zamannya.
Anak-anak dan kita sebagai guru bukanlah malaikat. Bila sifat utama malaikat adalah ketaatan dan ketundukan, maka sifat manusia kebalikannya. Dalam Alquran disebutkan bahwa sifat manusia itu suka membantah, lalai, pelupa, tergesa-gesa, dan suka mengeluh. Karena itulah, tugas guru bukanlah mengubah siswa menjadi layaknya “malaikat bersayap” Restitusi lebih terfokus pada tugas guru untuk membimbing siswa mempelajari tanggung jawab dan memperbaiki kesalahan yang mereka timbulkan sebagai sarana untuk belajar dan berkembang. Dalam segitiga restitusi guru membimbing siswa mengembangkan keterampilan kesadaran diri dan pengendalian diri melalui konseling. Kita jangan terjebak dalam ilusi bahwa guru dapat mengontrol murid sehingga dampak penguatan positif akan langsung terasa dan terlihat.
Mendidik tentu saja bukan sulap, butuh waktu untuk melihat hasilnya. Yang kita lakukan adalah membangkitkan motivasi internal dari dalam diri siswa dalam membuat rencana untuk memperbaiki kesalahannya sehingga mereka menjadi orang yang mereka inginkan. Motivasi internal yang tertanam dalam diri siswa akan terbawa hingga mereka dewasa.
Ada banyak hal yang bisa kita maknai dari sayap malaikat. Sayap malaikat menggambarkan kemampuan terbang dan menggapai tujuan. Kewajiban kita sebagai guru membantu anak didik kita mengepak sayap-sayap kebajikan agar mereka mengembangkan kemampuan dan potensinya untuk mencapai tujuan hidup dan kesuksesan di masa depan. Sayap malaikat juga menggambarkan perlindungan dan bimbingan. Konotasinya kita sebagai pendidik harus memberikan perlindungan dan arahan kepada anak didik kita agar tumbuh dengan baik.
Penulis akhiri tulisan ini dengan sebuah peribahasa sunda “Cikaracak ninggang batu, laun-laun jadi legok”. Mendidik tidak berbatas waktu. Namun, harus konsisten hingga hasilnya dapat terlihat. Kita dan anak-anak sama-sama penuntut ilmu, pembelajar sepanjang hayat. Dan malaikat meletakkan sayapnya untuk para penuntut ilmu. **