Senandung Gunung Lumbung
Penulis:
Adhyatnika Geusan Ulun
ISBN: 978-623-99576-6-7
Editor:
Dhysa Humaida Zakia
Desain sampul:
Tim Editor
Tata letak:
Ruslan Abdulgani Lubis
Penerbit:
Mandatrama Grafika
Jl. Bojong Koneng Atas No 57, Bandung
email: ruslanbuku74@gmail.com
Website: https://mandatramagrafika.com/
Sang Adipati
_________
“Aku hanya bisa termenung di sudut malam yang kelam. Hanya orang yang teguh pendirian yang akan kuat menghadapi kenyataan….”
“Berhentilah sebentar anak-anakku!” perintah Dipati Ukur kepada prajuritnya dengan suara parau. Semua prajurit yang terlihat letih itu pun menghentikan langkah gontainya. Mereka semua menarik nafas lega. Namun, tidak sedikit yang bertanya-tanya, mengapa harus berhenti di tengah hutan yang tidak tahu kondisi keamanannya.
“Ada apa gerangan? Mengapa harus berhenti di tengah hutan?” tanya salah seorang prajurit kepada temannya. “Entahlah. Mungkin Kanjeng Adipati terlalu lelah…” sahutnya. “…kita sendiri juga begitu letih setelah dua hari dua malam tidak istirahat,” sambungnya.
***
Sang Adipati turun dari kuda hitamnya. Disandarkan tubuhnya di pohon beringin besar dikelilingi para penasihat dan sisa prajuritnya sekira seratusan orang. Nyi Gedeng Ukur, istrinya, ikut duduk di samping Sang Adipati. Keadaan mereka sangat memprihatinkan. Semua kaki diselenjorkan. Ada juga yang terus berbaring sambil menatap kosong langit hitam tak berbintang di gelapnya hutan.
Semua tidak ada yang berbicara. Hanya suara binatang kecil dan semilir angin yang menerpa dedaunan hutan. Para umbul dan penasihat sang Adipati turut larut dalam keheningan suasana. Tampak Dipati Ukur tertunduk dibanjiri keringat yang membasahi pakaian kebesarannya sebagai panglima tempur. Terlihat, tangannya melipat di atas kakiknya yang ditekuk. Semua terlihat lelah. Dalam pikirannya tetap bekecemuk, namun dirinya berpegang pada pendirian, Aku hanya bisa termenung di sudut malam yang kelam. Hanya orang yang teguh pendirian yang akan kuat menghadapi kenyataan….
***
Dipati Ukur memejamkan matanya. Pikirannya terus disibuki dengan berbagai peristiwa yang telah terjadi. Masih terngiang ucapan Bahureko, Adipati Kendal yang memakinya. Masih terlintas sumpah serapah Bahurekso yang mengatakan dirinya sebagai penyebab kalahnya pasukan Mataram di Batavia.
Kaulah penyebab kekalahan Mataram! Mengapa kamu tidak sabar menunggu pasukanku barang sehari dua hari saja! Cirebon ke Karawang kan hanya berjarak sehari perjalanan! – kembali terngiang kata-kata Adipati Bahurekso memaki dirinya.
Kalau sudah begini apa tindakanmu?! Kanjeng Sultan pasti murka. Kita pasti akan dieksekusi mati! Dan, aku tidak mau mengambil resiko. Akan kuceritakan pembangkanganmu atas titah Kanjeng Sultan!- terus dan terus menerus suara itu menggema di pikiran Dipati Ukur.
Bukan tidak membela diri. Dipati Ukur terus menjelaskan susahnya mendapatkan kepastian informasi keberadaan pasukan Kendal. Sementara waktu semakin mendesak untuk menutup pasukan Batavia yang tengah maju ke arah selatan. Namun, sia-sia. Segala pembelaan Dipati Ukur tetap tidak diterima Bahurekso. Dan, Adipati Kendal itu terlanjur mengutus orang kepercayaannya untuk melaporkan kegagalan perang melawan pasukan Kompeni kepada Sultan Agung.
***
Adalah Dipati Ukur sang penguasa Tatar Ukur Priangan. Wilayahnya meliputi Sumedang Larang, Karawang, Sukapura Tasikmalaya, Subang, dan Priangan. Daerah itu diberikan Sultan Agung setelah Pangeran Dipati Rangga Gede penguasa sebelumnya dipenjarakan Mataram akibat gagal menahan serangan Kesultanan Banten, seteru Mataram lainnya.
Dipati Ukur memiliki nama asli Wangsanata atau Wangsataruna. Kanjeng merupakan putra dari Pangeran Adipati Cahyana yang merupakan bangsawan keturunan dari Pangeran Cahya Luhur penguasa Jambu Karang Purbalingga. Ayahnya tidak dapat menjadi raja dikarenakan Jambu Karang ditaklukan oleh Mataram Islam di bawah Panembahan Sutawijaya. Akhirnya, untuk menyelamatkan keturunannya, Pangeran Cahya Luhur menitipkan Wangsanata kepada Raden Wangsa Jaya bergelar Adipati Ukur Agung, seorang penguasa Timbanganten Tatar Ukur yang masih trah Pajajaran, Kerajaan Sunda yang sudah sirna seiring berdirinya Kesultanan Banten dan Cirebon.
***
Sejak kecil, Wangsanata yang memiliki darah Arab dari buyutnya, Syarif Abdurahman al-Qadri, senang belajar agama dan bela diri. Kesehariannya dihabiskan di Padepokan Silat Rangga Gede miliki Adipati Priangan saat itu.
Adipati Ukur Agung, sang ayah angkat, sangat menyayanginya. Paduka senang berdiskusi dengan ksatria pinunjul ini. Bakat ilmu agamanya sangat luar biasa. Walaupun masih kecil, Wangsanata telah menguasai sejumlah bidang keilmuan. Tidak mengherankan, karena sang Pangeran adalah turunan seorang Syarif.
Begitupun dengan ilmu kanuragaan. Wangsanata berhasil menguasai ilmu itu dalam tempo singkat. Bahkan, teman-teman paguronnya yang lebih dulu belajar mengakui keunggulan bela diri sang Pangeran muda ini. Termasuk, kemahirannya dalam berkuda benar-benar di atas rata-rata orang dewasa.
Wangsanata sangat disegani siapapun. Baik kawan, maupun lawan. Tutur katanya halus, tidak pernah marah-marah jika tersinggung. Budi pekertinya luhur, selalu menghormati orang tua, menyayangi yang lemah.
Namun, di balik kelebihannya, Wangsanata memiliki kelemahan yang selalu menyudutkannya di posisi sulit ketika menghadapi masalah. Sang Ksatria selalu mengikuti nasihat orang lain, tanpa berpikir baik atau buruk akibat yang ditimbulkannya. Itulah yang senantiasa menjadi kekhawatiran Adipati Ukur Agung, ayah angkatnya.
Dalam sebuah peristiwa. Wangsanata pernah memutuskan sebuah perkara yang merugikan salah seorang rakyat jelata yang dituduh telah mencuri tanaman Tuan Tanah. Akibat pengaruh orang suruhan Tuan Tanah, Wangsanata memutuskan dengan memberikan hukuman cambuk. Namun, setelah mendapatkan laporan dari salah seorang sahabat, si pencuri ternyata terpaksa mengambil hak orang lain untuk menolong keluarganya yang kelaparan.
Atas peristiwa tersebut, lebih dari seminggu Wangsanata menyendiri di atas bukit belakang pendopo kadipaten. Rasa penyesalan yang teramat dalam menghantui dirinya. Dipukuli tubuh dan kepalanya saat teringat keputusan gegabah itu. Menangis semalaman tanpa mau ditengok oleh siapapun. Baru mau keluar setelah Adipati Ukur Agung memintanya untuk turun.
Rasa percaya yang terlalu berlebihan itu mengakibatkan kejadian demi kejadian yang merugikan orang tak bersalah sering terulang. Hal ini sangat merisaukan Adipati Ukur Agung. Kanjeng khawatir, kelemahan putra angkat kesayangannya itu akan menjadi bumerang di kemudian hari. ***