Oleh: Salman Alfarisi, S.Pd
Guru Prakarya SMP Darul Falah Cihampelas
Setiap kebijakan atau keputusan akan selalu memiliki sisi positif dan negatif. Namanya juga keputusan ada kata “putus” yang mana tentu ada yang diputus atau dikorbankan. Kalau semua sempurna tak akan pernah ada celah untuk kita belajar dan berevaluasi. Setiap orang akan memiliki “benar” menurut versinya masing-masing. Termasuk tentang sistem zonasi pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun 2019.
Seperti yang sudah diketahui, penerapan sistem zonasi ini mengharuskan para calon siswa baru menempuh pendidikan di sekolah yang memiliki radius terdekat dari domisilinya masing-masing, sebagaimana yang termaktub dalam Permendikbud No.51/2018 tentang PPDB tahun pelajaran 2019/2020.
Dengan tujuan pemeratan kualitas pendidikan, sistem zonasi PPDB ini justru menuai polemik di masyarakat. Pemerintah pun mendapat banyak keluhan. Pada sisi lain, ada pula sebagian masyarakat yang diuntungkan. Dikutip dari laman tribunjabar.id, Rabu, (19/6/19), mengenai banyaknya yang mengeluhkan sistem zonasi PPDB SMA; seorang ibu bernama Yulia (43) satu dari orang tua calon peserta didik baru ini justru bersyukur dan merasa beruntung. Yulia bersyukur sebab tempat tinggalnya memiliki jarak yang dekat dengan sekolah. Oleh sebab itu Yulia juga merasa beruntung lantaran saat mendaftar ia tidak perlu repot mengunakan jalur lainnya selain sistem zonasi.
Pada sisi lain, tidak sedikit pula yang menganggap sistem zonasi adalah pembatas, yang mengotak-ngotakkan kebebasan para siswa dalam memilih sekolah idamannya. Akibatnya, dijumpai banyak sekolah yang kekurangan siswa dikarenakan kuota yang telah ditetapkan sekolah belum terpenuhi. Akibat lainnya adalah membuka peluang oknum-oknum internal maupun eksternal yang tidak bertanggung jawab. Oknum internal misalnya dari pihak sekolah yang meloloskan siswa yang sebetulnya tidak sesuai dengan ketentuan agar dapat diterima dengan ‘membayar biaya’ sesuai yang mereka inginkan. Sedangkan oknum eksternal adalah orang tua calon siswa dari kalangan ekonomi mampu melaukan manipulasi data dengan melampirkan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM); selain itu munculnya Kartu Keluarga (KK) “siluman” atau keluarga “nempel” yang menjadi salah satu ‘kreativitas’ dari orang tua siswa dalam mengakali persoalan sistem zonasi ini.
Belum lagi sistem zonasi ini memandang hasil Ujian Nasional (UN) hanya sebagai gambaran prestasi siswa. Pada hakikatnya kemampuan siswa tidak bisa diukur oleh sebatas ‘takaran gelas’, kemampuan mereka seumpama lautan yang berombak bebas. Memang UN menjadi pengukur akademis siswa, tetapi itu bukan segala-galanya. Banyak faktor yang mempengaruhi hasil UN siswa. Beberapa diantaranya mungkin kesehatan/tidak fit ketika pelaksanaan. Termasuk masalah-masalah lain yang secara personal atau internal keluarga turut mempengaruhi psikologis siswa. Pada kenyataan banyak siswa yang secara akademis biasa-biasa saja dan hasil UN-nya pun rata-rata, tapi mereka cukup memukau dengan talenta lain dimiliki; yang mungkin saja tidak dilampaui oleh siswa yang smart and clever itu.
Pada sisi lain, walaupun nilai UN tidak menjadi tolok ukur kelulusan, tetapi sudah menjadi parameter keberhasilan siswa yang tidak terbantahkan. Nilai UN memang hanyalah deretan angka-angka yang sudah menjadi bagian dari persaingan, juga gengsi. Sesungguhnya, nilai yang hakiki terdapat pada nurani dan budi pekerti. So, we have to aware; nilai itu penting tapi skill dan attitude juga mendukung. Hal tersebut berkaitan dengan tugas guru sebagai pendidik yang selanjutnya perlu lebih diperhatikan, bahwa; “profesi ini mengahasilkan produk hidup yang harus dijaga kualitasnya baik secara ilmiah maupun amaliah”.
Kembali pada persoalan sistem zonasi. Setiap keputusan atau kebijakan akan memiliki sisi positif dan negatif. Hal ini perlu menjadi perhatian pemerintah, khususnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam menerbitkan setiap Permendikbud agar lebih disiapkan secara matang. Tentu kita akan berasumsi bahwa orang-orang yang duduk di kursi kementerian adalah visioner-visioner yang mestinya peka terhadap kebutuhan masyarakat di bidang pendidikan, dengan demikian setiap peraturan yang diterbitkan tidak lahir secara prematur. *
Editor Newsroom: Adhyatnika GU
Profil Penulis
Salman Alfarisi, guru mata pelajaran Bahasa Inggris, Bahasa Sunda dan Prakarya di SMP Darul Falah Cihampelas Kabupaten Bandung Barat. Tumbuh dalam keluarga yang sederhana. Menjadi anak bungsu tidak lantas membuat guru yang memiliki hobi memasak ini menjadi manja, kemandirian sudah dibiasakan sejak kecil.
Kecintaannya pada memasak membawanya untuk bersekolah di SMKN 3 Cimahi pada jurusan Tata Boga. Menjuarai beberapa kompetisi memasak membuatnya terpikir untuk mengikuti ajang Master Chef Indonesia. Namun nasib membawanya untuk menjadi seorang pendidik, dengan niat ingin mewujudkan harapan orang tua yang ingin melihat anaknya menjadi seorang guru; maka keputusan yang diambil adalah dengan melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu pendidikan Siliwangi Bandung pada Program Studi Pendidikan Bahasa Ingris.
Semasa kuliah anak ke 6 dari enam bersaudara ini menyibukan diri dengan berbagai aktivitas kampus, salah satunya menjadi the Chief of English Student Associaotion atau Ketua Himpunan Mahasiswa Bahasa Inggris. Pengalaman berorganisasi membuatnya lebih percaya diri dalam menjalani profesinya sebagai seorang guru. Pecinta kucing yang lahir pada 20 September 1995 ini, juga sedang menyenangi kegiatan membaca dan menulis, harapannya ingin melahirkan karya dari hasil pemikiran dan perasaannya.
Sebagai penulis pemula, tulisanya sudah sangat baik, dan sudah punya ciri. Luar biasa . Lanjutkan
Topik yang sangat fresh utk dibahas, dan membuat para pembaca menjadi sadar bahwa keputusan yg dibuat oleh pemerintah memiliki dampak positif dan negatif.